18 Maret 2010

» Home » Lampung Post » Teroris dan Paradoks Terorisme

Teroris dan Paradoks Terorisme

Muhammadun A.S.
Analis sosial, Peneliti Cepdes Jakarta
Semua mencoba menafsir terorisme. Teori dan analisis dijabarkan dengan ragam tulisan yang berdatangan. Semua tafsir dan tanggapan sah. Catatan penting, tafsiran itu semua ditulis dan diurai para pengamat dan akademikus saja. Bukan dari sang pelaku (teroris) yang mengetahui dan menyelami dengan penuh khidmat. Sajian analisis para akademikus pastilah lahir lewat fakta di media dan lapangan saja, bukan hasil penjelajahan personal yang membekas dan penuh emosional.
Di sinilah, teroris dan terorisme menjadi objek tulis yang terus "dipersalahkan". Kaum teroris selalu menjadi objek yang kaku, mendekam, dan tak bisa bernapas. Suara publik selalu "membabtis" kaum teroris dengan nada yang sinis, kejam, bahkan juga anarkis. Walaupun publik juga menilai wajar atas itu semua.


Coba kita lihat yang dilukiskan Imam Samudera lewat bukunya, Aku Melawan Teroris (2004). Imam Samudera coba membela yang dilakukan bersama kawan-kawannya dalam berbagai isu teror yang dialamatkan kepada mereka sebagai tertuduh. Terlepas kita setuju atau tidak, dari balik jeruji besi, sembari menunggu proses eksekusi atas ganjaran pidana mati, ia bersungguh menorehkan sebuah pembelaan lewat catatan harian yang kritis, bernas, dan penuh gugatan.
Karena merasa tertuduh dengan segenap bukti, catatan kritis bukunya ini coba mengkritik balik logika terorisme yang salah kaprah dipahami publik. Ia menolak dicap teroris, karena baginya, teroris sejati adalah Amerika Serikat (AS) yang banyak melukai warga sipil tak berdosa di berbagai belahan negara, khsusunya di Afghanistan dan di Irak.
Ia tidak rela dengan perlakuan kasar AS yang menyengsarakan saudara muslimnya di dunia. "Ini aku saudaramu. Ini aku, datang dengan secuil bombing. Kan kubalaskan sakit hatimu. Kan kubalaskan darah-darahmu. Darah dengan darah. Nyawa dengan nyawa. Qishah!" tuturnya.
Terlepas dari tafsir agama atas doktrin keyakinan yang diuraikan Imam Samudera, tetapi goresan tulisan ini jelas sebuah gugatan yang amat kuat dilandasi keyakinan yang teguh akan sebuah lelaku hidup yang sedang dijalani. Keberanian memaklumkan dirinya membela keyakinan yang dipegang, patutlah menjadi catatan pembaca bahwa ia dan kawan-kawannya sedang menjalani lelaku, yang mungkin sangat berbeda dengan lelaku yang kita jalani.
Selantang apa pun gugatan mereka, tetapi gaya bicara yang mengembang dalam psikologi mereka adalah wajah senyum yang tak lekang. Terlebih Amrozi yang sejak pertama kali sudah menebar senyum. Publik pasti menilai jengkel dengan wajah senyum mereka karena dibalik senyum itu ada ratusan nyawa melayang. Tetapi bagi mereka, justru senyum itulah wujud kekuatan yang akan terus ditebarkan. Iya, dalam diri mereka memnag ada pribadi paradoks secara umum. Tetapi keyakinan yang teguh dalam diri mereka, justru menjadikan semua tantangan itu sebagai motivasi untuk berjuang lebih keras. Inilah yang terekam dalam sajian pengakuan Imam Samudera dan kawan-kawannya.
Kalau analisis mereka kita benturkan dengan pendapat kaum agamawan-moderat, pastilah berseberangan jauh sekali. Ambil saja sosok seperti K.H. Hasyim Muzadi dan Din Syamsuddin. Keduanya mengutuk kaum teroris. Keduanya juga melihat bahwa pemahaman ajaran yang digunakan kaum teroris sebagai tafsir yang sempit dan sepihak. Dengan mengatasnamakan institusi masing-masing (NU dan Muhammadiyah), teks ajaran agama mereka suguhkan dengan gaya moderat, damai, dan sejuk.
Tafsir kaum moderat dan liberal, bukan saja dalam orasi pidato, melainkan lebih dari itu, juga dalam berbagai buku, majalah, buletin, dan sebagainya. Bahkan, sebagaimana yang saya ungkap didepan, tulisan mereka seolah juga ekstrem menghakimi kaum teroris. Karena jumlah mereka yang sangat besar, bahkan diekspose sedemikian rupa, tafsir yang mereka suguhkan "memenangkan pertarungan" atas pemberitaan media.
Perlu kiranya menghadirkan tafsir yang seimbang dan sepadan. Sudah selayaknya kaum teroris juga menerbitkan buku, majalah, buletin, dan selebaran dengan jumlah yang besar, sehingga terjadi pertarungan wacana publik yang hangat. Bukan saling menghakimi secara sepihak.
Dalam konteks pewacanaan, tafsir yang melimpah dan gagasan yang diterbitkan pastilah menjadi arena pergulatan yang mengasyikkan. Tetapi darah, pembunuhan, dan kematian adalah sesuatu yang mencekam. Jangan dikobarkan karena akan menjadi api dalam sekam. n

Opini Lampung Post 19 Maret 2010