18 Maret 2010

» Home » Suara Merdeka » Aspek di Balik Keberadaan Baliho

Aspek di Balik Keberadaan Baliho

KEBERADAAN baliho dan spanduk mengundang perhatian masyarakat kota Purwokerto. Saat musim hujan tiba, ada saja baliho yang roboh karena diterjang angin. Sampai saat ini memang belum terdapat korban jiwa, namun kejadian itu cukup meresahkan warga.

Purwokerto sebagai ibu kota Kabupaten Banyumas memang mengalami perkembangan relatif pesat dibanding Cilacap, Pur-balingga, atau Banjarnegara.


Meski sesungguhnya keberadaan baliho di Purwokerto belum sebanyak dan semrawut seperti halnya di kota-kota besar lain di Jawa, kasus baliho tumbang yang nyaris terjadi setiap tahun menjadikan masyarakat merasa cemas melintasi jalan saat angin kencang di musim hujan.


Baliho, spanduk, poster, dan billboard adalah media luar ruang (outdoor media) yang digunakan untuk promosi produk. Jalan di tengah kota acapkali menjadi ruang yang menarik bagi pemasangan baliho karena dianggap strategis dan punya daya tarik untuk dilihat.

Tidak mengherankan bila di sepanjang jalan protokol dan perempatan di kota Purwokerto, seperti Jalan Jenderal Soedirman, Jalan Gerilya, dan Jalan HR Bunyamin bertebaran spanduk dan baliho. 

Kota di mana pun adalah milik bersama warganya. Jalan yang berada di tengah kota dengan demikian bukan hanya milik pemerintah dan pengusaha, namun juga milik rakyat. Karena itu keberadaan dan pemanfaatan jalan di tengah kota menjadi tanggung jawab bersama.

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyumas mendapat keuntungan ekonomis dari keberadaan jalan melalui retribusi parkir dan pajak reklame baliho ataupun spanduk. Untuk itu Pemkab punya kewajiban mengatur pemasangan baliho agar tertib, indah, dan aman.
Sesungguhnya setiap kota memiliki aturan tentang pemasangan spanduk dan baliho.

Fakta di lapanganmenunjukkan teknis pemasangannya sering diserahkan kepada perusahaan periklanan, sehingga banyak spanduk yang membentang di jalan atau baliho yang tidak memenuhi standar keamanan.

Gagasan untuk mengeluarkan peraturan bupati (perbup) perlu didukung agar Purwokerto tidak menjadi kota yang semrawut. Jika perlu pengaturan pemasangan baliho dimasukkan dalam peraturan daerah (perda) karena menyangkut pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor reklame.

Perda baliho juga dapat mengatur tentang zona peruntukan dan larangan serta mekanisme pengawasan, penertiban, dan sanksi yang dapat dilakukan oleh Pemkab. Standar pemasangan baliho yang aman dapat diatur dalam perda tersebut.

Dalam beberapa kasus robohnya baliho, masyarakat yang menjadi korban tidak memperoleh ganti rugi dan santunan. Padahal masyarakat juga telah membayar pajak kepada pemerintah sehingga punya hak untuk melintas di jalan dengan nyaman dan aman.

Siapa sesungguhnya yang harus bertanggung jawab bila baliho tumbang menimpa bangunan dan rumah warga di dekatnya atau menimpa orang yang sedang melintas di jalan? Apakah Pemkab yang telah memungut pajak reklame, ataukah pengusaha yang memasang iklan produk di baliho?
Ciri Metropolis Kalangan pengusaha kurang begitu antusias menanggapi wacana pengaturan pemasangan baliho. Bagi mereka, baliho tetap merupakan media promosi produk yang efektif. Bahkan ada pengusaha yang justru menganggap baliho sebagai ciri kota metropolis. Artinya, semakin banyak baliho berdiri kokoh di kota Purwokerto, akan membuat Purwokerto mempunyai daya tarik bisnis.

Ada yang dilupakan kalangan pengusaha, bahwa perkembangan kota tidak hanya diukur dari capaian ekonomisnya. Kota memerlukan keharmonisan antara lingkungan ekonomis (econosphere) dan lingkungan sosial (sociosphere ).

Apalah artinya kota yang sarat dengan baliho, jika tingkat kesejahteraan masyarakatnya rendah dan angka pengangguran masih tinggi. Kerawanan sosial akan menjadi ancaman bagi kota metropolis yang mengabaikan lingkungan sosialnya.

Hasil penelitian Urban Graffiti sebagai-mana diungkap Newsweek, 9 September 1991, misalnya menunjukkan betapa kota-kota metropolitan di beberapa negara tidak menampakkan gambaran ideal. Sebanyak 32 % penduduk Amerika Serikat tinggal di kota, tetapi hanya 13% yang menganggap kota sebagai tempat hunian yang diinginkan.

Oleh sebab itu, Frederick Gibberd menyatakan, kalau kita melihat kota-kota jangan hanya melihat jalan yang mulus, gedung-gedung atau baliho di sepanjang jalan.

Banyak penduduk yang diam di kawasan kumuh yang akan me-warnai kehidupan kota.(lihat: Urbanisasi, Pembangunan, dan Kerusuhan Kota, He-lianto, 1997:33)
Purwokerto memang tidak sebesar Jakarta, apalagi metropolitan seperti New York.

Purwokerto hanyalah kota kecil yang sedang tumbuh berkembang. Namun jika keberadaan baliho tidak diatur dengan baik maka akan menjadi kota yang carut-marut.(10)

— Chusmeru, dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Unsoed


Wacana Suara Merdeka 19 Maret 2010