RENCANA kunjungan Presiden Amerika Serikat Barack Obama ke Indonesia pada 21-23 Maret 2010 memantik reaksi beragam dari sejumlah elemen masyarakat. Sebagian kalangan tidak mempersoalkan kunjungan itu, tetapi sebagian lagi menolak. Mereka terbelah dalam sikap pro dan kontra.
Kelompok pro beranggapan kunjungan Obama bakal mampu meningkatkan citra Indonesia di mata internasional. Kelompok kontra menilai kunjungan Obama hanya akan membawa Indonesia sebagai negara ''yes man" yang selalu mendukung segala kebijakan AS.
Kontroversi tersebut seolah mengulangi kontroversi sebelumnya dalam setiap lawatan presiden AS ke Indonesia. Kasus terakhir, ketika George W. Bush melawat ke Indonesia pada 20 November 2006, protes juga mengalir dari sejumlah organisasi keagamaan. Bush dianggap sebagai presiden perang yang menindas negara-negara muslim karena kebijakannya menginvasi Afghanistan (2001) dan Iraq (2003).
Seiring dengan pro-kontra yang mengitari kunjungan Obama, tulisan ini menganalisis kedua pandangan yang bertolak belakang itu agar kita bisa merumuskan sikap strategis dalam menyikapi kedatangan presiden ke-44 AS tersebut.
Kelompok Pro
Organisasi keagamaan moderat seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah termasuk dalam kelompok yang pro-kunjungan Obama. Ada tiga alasan yang setidaknya mendasari dukungan itu.
Pertama, sebagai negara beradab, Indonesia harus menyambut kedatangan setiap tamu negara dengan keramahan. Obama harus diperlakukan sama dengan tamu negara lain yang pernah berkunjung ke Indonesia, yaitu disambut secara terhormat sesuai dengan tradisi yang telah berkembang lama di negeri ini.
Kedua, sebagai negara yang cinta damai, Indonesia harus memanfaatkan semaksimal-maksimalnya prestasi Obama sebagai peraih Nobel Perdamaian 2009 untuk mempromosikan nilai-nilai perdamaian khas Indonesia. Seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, salah satu tujuan dasar kebangsaan kita adalah menciptakan perdamaian dunia. Kepada Obama, kita harus menyampaikan pemikiran itu agar menjadi nilai universal yang dianut semua bangsa.
Ketiga, sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia bisa menawarkan solusi perbaikan hubungan AS dengan negara-negara muslim yang kini sedang dirajut kembali oleh Obama setelah diporakporandakan Bush. Obama menyadari peran penting Indonesia dalam komunitas muslim dunia. Karena itu, dia ingin Indonesia berperan sebagai mitra strategis AS dalam berhubungan dengan negara-negara muslim. Mengingat AS masih tetap memiliki pengaruh global terbesar, keinginan Obama harus bisa dimanfaatkan untuk semakin meningkatkan peran Indonesia di panggung global.
Kelompok Kontra
Kelompok yang kontra-kunjungan Obama berasal dari organisasi-organisasi keagamaan yang selama ini aktif mengkritisi politik belah bambu AS terhadap dunia Islam seperti Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Mereka menolak Obama karena empat perkara.
Pertama, Obama adalah pemimpin dari sebuah negara yang selama ini menjajah negara-negara muslim. Tindakan AS memerangi terorisme dengan menduduki Afghanistan dan Iraq sangat bertentangan dengan sikap politik Indonesia yang anti-penjajahan.
Kedua, Obama hingga kini belum merealisasikan janjinya untuk menarik seluruh pasukan AS dari Iraq. Sebaliknya, dia justru mengirim 30 ribu pasukan tambahan ke Afghanistan. Kebijakan ini melukai perasaan sebagian umat Islam di Indonesia.
Ketiga, kedatangan Obama dicurigai untuk menyeret Indonesia dalam pusaran kekuasaan AS sehingga Indonesia akan menuruti begitu saja semua kemauan AS di masa depan. Untuk mencapai tujuan ini, iming-iming bantuan luar negeri ditawarkan kepada Indonesia. Celakanya, Indonesia selalu tidak kuasa menolak bantuan itu.
Keempat, Obama memiliki agenda terselubung untuk mengukuhkan penjajahan ekonomi AS atas kekayaan alam Indonesia melalui perusahaan-perusahaan multinasional AS seperti Freeport dan Exxon. Setiap pejabat tinggi AS berkunjung ke Indonesia, isu ini pasti mencuat dalam agenda pembicaraan antara kedua negara. Ketika Menteri Luar Negeri AS Condoleezza Rice mengunjungi Indonesia pada 14 Maret 2006, beberapa waktu kemudian Exxon mendapatkan hak eksplorasi minyak di Blok Cepu.
Sikap Strategis
Reaksi pro-kontra atas kunjungan tamu negara merupakan hal biasa dalam alam demokrasi. Meski demikian, sikap strategis tetap perlu diambil bangsa ini dalam menanggapi kunjungan Obama.
Menolak kunjungan Obama bukanlah sikap strategis karena sikap itu berarti mengasingkan diri dari pergaulan internasional. Negeri ini sedang bertengger di papan atas forum diplomasi internasional melalui keanggotaan aktif di organisasi internasional berpengaruh seperti G-20. Oleh sebab itu, menolak Obama merupakan sikap kontraproduktif karena bisa meruntuhkan citra Indonesia di mata internasional.
Namun, menerima Obama dengan pengamanan ekstraketat yang melibatkan 2.000 personel polisi dan 9.000 pasukan TNI yang dilengkapi tujuh kapal perang, agaknya, sangat berlebihan. Pengamanan luar biasa tersebut terasa menyesakkan dada sebagian elemen masyarakat yang masih mempertanyakan kontribusi Obama bagi Indonesia dan perdamaian dunia. Apalagi, pengamanan semacam itu jelas mengeluarkan dana tidak sedikit. Akal sehat rakyat pasti berkata, daripada dihambur-hamburkan untuk orang asing, lebih baik diberdayakan untuk kesejahteraan rakyat.
Karena itu, kedatangan Obama semestinya disikapi biasa-biasa saja seperti halnya yang sering ditunjukkan kepada tamu negara lain. Sebagai seorang tamu, Obama harus tetap diterima secara terhormat sesuai dengan prinsip-prinsip moral keberadaban yang dianut bangsa ini. Indonesia harus mampu memainkan diplomasi strategis dengan memanfaatkan kunjungan Obama untuk kepentingan nasional. Sebagai sebuah bangsa, posisi kita setara dengan AS. Maka, jika AS menawarkan poin-poin kesepakatan yang berpotensi menindas kita, kita harus berani berkata ''no, thank you". (*)
*). A. Safril Mubah, dosen Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Airlangga
Opini JawaPos 18 maret 2010
18 Maret 2010
Sikap Strategis Sambut Obama
Thank You!