18 Maret 2010

» Home » Media Indonesia » Menyikapi Kemitraan Trans-Pasifik

Menyikapi Kemitraan Trans-Pasifik

Barack Hussein Obama, Presiden Amerika Serikat (AS) ke-44 akan kembali menyambangi Indonesia pertengahan bulan Maret ini. Kedatangan pemimpin negara adi daya tersebut tentu bukan untuk sekadar wisata atau nostalgia mengenang 4 tahun masa kecilnya di Jakarta. Kunjungan kerja mantan anak Menteng ini membawa banyak agenda penting, salah satunya adalah tawaran kerja sama ekonomi dalam kerangka Kemitraan Trans-Pasifik (Trans-Pacific Partnership/TPP).

TPP adalah kerja sama perdagangan yang awalnya disepakati oleh Selandia Baru, Cili, Brunei Darussalam serta Singapura pada tahun 2006 dan kini tengah melibatkan Vietnam, Australia, Peru serta AS sendiri. Tidak puas dengan lambannya negosiasi pengurangan hambatan perdagangan dalam forum Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC), melalui TPP negara-negara tersebut memperluas cakupan kerja samanya menjadi lebih komprehensif, meliputi usaha pembebasan tarif untuk nyaris semua produk, kesepakatan dalam aspek standar keamanan, hambatan teknis, kebijakan tentang persaingan usaha serta hak atas kekayaan intelektual.
Obama bahkan berambisi untuk mendorong TPP lebih jauh, yaitu dengan melibatkan seluruh negara di Pasifik ke dalamnya, termasuk Indonesia. Dari sudut pandang AS rencana ini mudah dipahami. AS ingin mempertahankan dan menegaskan kepemimpinannya di wilayah ini. Meningkatnya peran China di Pasifik yang dipuncaki dengan bergulirnya China-ASEAN Free Trade Area (CAFTA) per 2010 bukan hanya mengancam dominasi AS tetapi juga berpotensi menggerus nilai perdagangan AS dengan China maupun dengan ASEAN.



Menyikapi tawaran AS

Lalu bagaimana seharusnya pemerintah RI menyikapi tawaran kerja sama ini? Bagian berikutnya dari tulisan ini akan mencoba memberikan suatu perspektif ekonomi terhadap TPP.

Dalam ilmu ekonomi terdapat prinsip bahwa perdagangan akan selalu menguntungkan kedua belah pihak. Dengan perdagangan kita tidak perlu memproduksi semua barang dan jasa yang kita butuhkan. Cukup kita berspesialisasi pada barang dan jasa yang dapat kita produksi secara efisien, menjualnya ke negara lain yang menghargainya dengan tinggi, dan kemudian menggunakan hasil penjualan untuk membeli apa saja yang kita tidak cukup cakap memproduksinya sendiri. Dengan demikian, perdagangan memungkinkan kita untuk mengalokasikan sumber daya secara optimal sekaligus mengembangkan skala usaha pada bidang-bidang yang menjadi andalan. Singkatnya, perdagangan adalah peluang untuk kemajuan ekonomi dan misi pengurangan hambatan perdagangan yang dibawa TPP adalah peluang yang lebih besar lagi.

Meskipun demikian, untuk memanfaatkan peluang ini bagi kepentingan dan kebaikan kita bersama, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian serius. Pertama, harus dipahami bahwa keuntungan dari perdagangan bersifat agregat di tingkat negara, tetapi distribusi keuntungannya belum tentu merata pada tingkat individu. Sebagai contoh, impor daging sapi dari AS atau Australia di satu sisi akan menguntungkan konsumen daging sapi, pedagang makanan berbahan daging sapi, dan importir daging sapi itu sendiri, tetapi di sisi lain memukul peternak sapi domestik. Tiga pihak diuntungkan, satu dirugikan. Secara agregat menguntungkan tetapi salah satu komponen bangsa menjadi korban.

Kedua, meskipun perdagangan saling menguntungkan, tidak berarti bahwa keuntungannya akan dibagi rata oleh kedua pihak. Petani kopi di Sumatera diuntungkan dengan terbukanya pasar ekspor ke AS, tetapi importir AS hampir pasti menikmati untung yang lebih besar. Keuntungan lebih besar lagi bahkan dinikmati oleh wirausahawan AS yang mengolah biji kopi tersebut menjadi produk-produk minuman lalu menjualnya kembali di Indonesia dengan harga tinggi.

Ketiga, perdagangan antarnegara umumnya mengikuti pola-pola tertentu. Pola klasik adalah perdagangan berdasarkan efisiensi produksi. Satu negara berspesialisasi dan mengekspor barang yang dapat diproduksinya secara efisien serta mengimpor barang lain yang tidak dapat diproduksinya secara efisien. Efisiensi dapat bersumber dari produktivitas tenaga kerja atau kelimpahan faktor produksi. Pola yang umum terbentuk dengan cara ini adalah perdagangan utara-selatan di mana negara maju mengekspor barang padat modal dan mengimpor barang padat karya.

Tetapi dewasa ini pola semacam itu telah semakin ditinggalkan. Saat ini sekitar 2/3 nilai perdagangan dunia didominasi oleh negara-negara maju dalam bentuk intra-industri. Tiap negara melakukan diversifikasi industri dan saling memperdagangkan produk yang nyaris sama jenisnya. Eropa mengimpor Toyota dan Nissan sementara Jepang mengimpor Volvo dan BMW. Hal ini dapat terjadi karena dua hal: dari sisi penawaran para produsen melakukan diferensiasi produk dengan menambahkan berbagai atribut pada produk; dari sisi permintaan selera konsumen juga semakin beragam dan tuntutan tiap segmen konsumen semakin spesifik. Hanya negara-negara yang mampu mengantisipasi pola inilah yang akan menikmati kue terbesar perdagangan dunia.

Dan keempat, tawaran kemitraan harus dirundingkan secara egaliter, bukan atas dasar pendiktean satu pihak pada pihak lainnya. Tidak juga dengan tekanan dan persyaratan dalam hal lain yang tidak terkait dengan perdagangan serta dapat mengganggu kedaulatan RI. Kemajuan ekonomi dapat menjadi tujuan, tetapi tidak jarang juga menjadi alat untuk memaksakan kepentingan politik yang lebih besar dan strategis. Persyaratan yang memang mengandung kebaikan seperti perbaikan iklim usaha dan penyelamatan lingkungan tentu harus menjadi agenda RI tanpa perlu desakan dari pihak asing. Sementara tuntutan yang dapat mengganggu kepentingan strategis seperti liberalisasi sektor pertanian dan sumber daya alam atau dukungan politis pada diplomasi internasional juga harus kita tentukan sendiri tanpa desakan dari pihak manapun.

Apa konsekuensi keempat hal di atas bagi kita? Pertama, sebelum liberalisasi perdagangan harus ada perhatian bagi komponen masyarakat yang berpotensi menjadi korban, baik dalam bentuk perlindungan, pengembangan atau bahkan transformasi usaha.

Kedua, Indonesia harus memiliki strategi industrialisasi yang jelas untuk dapat ambil bagian dalam kue perdagangan dunia yang bernilai besar, bukan sekedar penggembira yang hanya menikmati remah-remah. Melihat beragamnya karakteristik perekonomian negara-negara TPP; dari Brunei yang hanya mengandalkan energi, Australia yang bertumpu pada barang tambang dan pertanian, hingga AS yang memiliki begitu beragam industri, maka kemitraan ini memberi peluang bagi diversifikasi produk nasional. Syaratnya, industri nasional harus mampu menciptakan beragam produk dengan berbagai karakter, fitur dan atribut yang sesuai dengan tuntutan. Selain itu, tentu saja permasalahan klasik seperti ekonomi biaya tinggi serta lemahnya kemampuan manajerial para wirausahawan nasional harus tetap menjadi agenda pembenahan.

Dan ketiga, dalam perundingan kerja sama, pemerintah RI harus memposisikan diri sebagai negara berdaulat yang berdiri sama tegak dengan negara manapun. Butir demi butir kerjasama harus membawa kebaikan bagi seluas-luasnya lapisan masyarakat, bukan manfaat bagi segolongan orang apalagi semata-mata kepentingan asing.

Akhirnya, jika dan hanya jika pertimbangan-pertimbangan di atas telah diperhitungkan, maka kita dapat menyambut baik tawaran Kemitraan Trans-Pasifik.

Oleh Mohamad Dian Revindo Staf Pengajar Pasca Sarjana Universitas Indonesia
Opini Media Indonesia 19 Maret 2010