18 Maret 2010

» Home » Kompas » Ilusi-ilusi Demokrasi

Ilusi-ilusi Demokrasi

Ingar-bingar pernyataan, argumentasi, persuasi, demonstrasi, performance, bahkan cercaan dan makian yang disampaikan dalam aneka diskursus di gedung parlemen, media massa, dan ruang publik beberapa tahun terakhir ini menunjukkan mulai terbangunnya spirit ”kebebasan individu” (individual freedom), sebagai satu spirit utama demokrasi.
Isunya mulai dari wacana pemilu dan pilkada, kasus Prita, kasus Antasari Azhar, kasus Bibit-Chandra, hingga terakhir Bank Century. Namun, kebebasan individu yang diperoleh itu harus dibayar dengan tergerusnya aneka pilar dan perekat sosial (social cohesion), yang selama ini jadi pengikat nation-state, yang ditunjukkan oleh semangat kesatuan, kebersamaan, persaudaraan, dan kebangsaan. Kebebasan itu juga merongrong landasan ”etika sosial” yang melandasi dunia kehidupan politik, sosial, dan ekonomi, seperti tata krama, kesantunan, kejujuran, integritas, tenggang rasa, dan rasa hormat (honour).

 

Pendulum demokratisasi yang bergerak ke arah perayaan kebebasan individu cenderung menumbuhkan watak ”individualisme”: egoisme, selfishness, narsisisme, dan hedonisme. Elite-elite politik cenderung mengembangkan ”etika individualis”, di mana pandangan individu jadi ukuran segala kebenaran, kebaikan, dan keutamaan (virtue). Akibatnya, ukuran nilai, kebenaran, moral, dan keutamaan kolektif yang berasal dari adat, mitos, tradisi bahkan agama terpinggirkan.
Pendulum demokrasi juga bergerak ke arah ”penampilan luar” (surface), dengan mengabaikan substansi atau esensi sehingga spirit demokrasi lebih diperlihatkan melalui ”pertunjukan demokrasi” (democratic performance) melalui aneka event. Karena sifat ”performativitas” inilah, demokrasi perlu aneka panggung pertunjukan (ruang sidang, media massa), yang di dalamnya ”citra demokrasi” ditampilkan. Namun, terobsesi oleh citra, ”refleksi politik” tak lagi punya tempat.
J F Lyotard dalam The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1989) membedakan ”kebenaran politik” yang dicari lewat proses substansial-ilmiah, dengan yang dihasilkan melalui performance. Pencarian kebenaran melalui ”pertunjukan”—di layar televisi atau ruang sidang—menuntut ”kegenitan penampilan” dan performance. Hasrat dan motif performativitas lama-kelamaan menyingkirkan kehendak akan ”kebenaran”. ”Momen ”kebenaran” digantikan ”momen citra”.
Politik tanpa refleksi—dan kini didominasi performativitas—menyebabkan dominannya peran ”permainan bahasa” dalam merumuskan ”kebenaran”, melalui aneka trik, manipulasi, dan tipuan tanda. Dalam dominasi performativitas, ”modal sosial” lebih dirayakan ketimbang modal intelektual; modal ekonomi ketimbang modal kultural. Pertunjukan (penampilan, gaya bicara, retorika) jadi keutamaan politik ketimbang pikiran, kecerdasan, dan karya. ”Retorika politik” mengambil alih ”rasionalitas politik”.
Kontradiksi demokrasi
Demokrasi selama ini dipercaya sebagai jalan ”pencerahan” (Aufklärung), emansipasi sosial, sine qua non perkembangan manusia, yang tanpanya tak ada kemakmuran, kesejahteraan, dan kebahagiaan. Demokrasi menjadi semacam ”jalan Tuhan” merealisasikan utopia. Karena itu, ”demokratisasi” dianggap sebuah proses positif-konstruktif absolut dalam mencapai tujuan emansipatif, seakan sejarah emansipasi manusia tak lebih dari manifestasi logis ”esensi demokrasi” itu sendiri.
Namun, yang tak pernah disadari—bahkan oleh elite politik sendiri—adalah bahwa demokrasi dapat menjadi sebuah jalan ”penghancuran diri sendiri” bila dipakai dengan formula tidak pas. Demokratisasi memang dapat membawa pada ”kemajuan” dan ”kebebasan”, tetapi ia harus dibayar dengan ”ongkos sosial” dengan direnggutnya segala hal berharga yang dimiliki, melalui sebuah proses penghancuran budaya sendiri (cultural self destruction).
Joseph V Femia (Against the Masses, 2001) melihat ”demokratisasi” sebagai sebuah proses yang harus mendapatkan kritik memadai, sebelum diputuskan apakah akan diterapkan sebagai landasan ideologis atau tidak, karena ada beberapa watak demokrasi yang mungkin bertentangan dengan ”karakter bangsa” sehingga ia dapat menjadi sebuah ancaman ketimbang harapan. Setidaknya ada tiga bentuk ”ancaman” demokrasi:
Pertama, kondisi ”perversitas” (perversity), di mana tindakan bertujuan apa pun dalam meningkatkan kualitas tatanan politik, sosial, atau ekonomi hanya ”memperburuk” kondisi yang ada. Demokratisasi yang bertujuan menciptakan kesejahteraan bangsa malah memperlebar jurang kesenjangan sosial, menciptakan masyarakat politik cerdas malah menggiring pada banalitas dan kitsch politik, menciptakan tatanan ekonomi dan industri, malah menciptakan situasi fluktuatif, turbulensi, dan chaos ekonomi.
Kedua, kondisi ”kesia-siaan” (futility), di mana upaya transformasi politik, sosial, atau ekonomi hanya berujung nihilisme. Perubahan apa pun hanya bersifat permukaan, kulit luar, kosmetik, dan ilusif karena struktur dasar politik, sosial, ekonomi (deep structure) tetap tak tersentuh. Debat politik-hukum di gedung parlemen atau media televisi yang tampak ”canggih”, nyatanya hanya kecanggihan penampilan, performatif, dan permainan bahasa, yang tidak menambah akumulasi ”pengetahuan politik” warga, karena lebih merupakan ajang permainan citra dan popularitas.
Ketiga, kondisi ”ancaman bahaya” (jeopardy), di mana perubahan melibatkan ”ongkos” atau ”konsekuensi” yang tak dapat diterima secara sosio-kultural. ”Kemajuan” yang dijanjikan demokrasi hanya berujung pada hancurnya struktur kohesi sosial. Nilai ”kebebasan individu” yang dirayakan hanya berujung pada tergerusnya nilai-nilai adat, moralitas, dan agama. Demokrasi individualis ”melawan” kehendak Tuhan, meruntuhkan nilai dan praktik tradisi, menentang hukum dan hierarki alam (natural law), dengan merayakan egoisme, selfishness, dan narsisisme.
Demokrasi dalam kekerasan
Bila dalam proses demokratisasi ada tindak penggusuran, perusakan, peminggiran, atau penghancuran baik eksplisit maupun implisit, konkret atau abstrak, internal atau eksternal artinya, di dalamnya inheren sebuah skema ”kekerasan”. Demokratisasi dapat berlangsung bila ada struktur, bentuk, nilai, atau makna yang dikorbankan. Artinya, proses demokratisasi menuntut ”korban” (victim).
Slavoj Zizek, (Violence, 2008) melihat sangat dominannya praktik ”kekerasan” (violence) dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan keagamaan dewasa ini. Ia lalu menjelaskan tiga bentuk ”kekerasan” yang dapat terjadi dalam aneka proses sosial, politik, dan ekonomi, termasuk proses demokratisasi:
Pertama, ”kekerasan subyek” (subjective violence), yaitu kekerasan yang dilakukan oleh agen-agen (sosial, politik, ekonomi) tertentu, baik kekerasan fisik maupun nonfisik. Bentuk kekerasan ini bisa berupa pemaksaan, intimidasi, ancaman, gertakan, atau teror terhadap aktor-aktor lain di dalam medan sosial, politik, dan ekonomi. Kekerasan macam ini tampak dalam aneka wacana, debat, atau tindakan elite-elite politik maupun massa politik di gedung parlemen, kampus, atau ruang publik lainnya.
Kedua, ”kekerasan simbol” (symbolic violence), yaitu kekerasan pada tingkat bahasa dan simbol, sebagai konsekuensi perayaan individualisme dalam politik. Inilah penggunaan bahasa dan simbol yang merendahkan, menghina, dan menyakitkan berdasarkan ukuran kesantunan sosial. Bahasa dan simbol itu tidak merusak tubuh atau fisik, tetapi melukai hati, menghancurkan keluhuran dan harga diri manusia. Kekerasan simbol macam ini dilakukan oleh elite-elite politik di ruang sidang, ataupun oleh massa rakyat di ruang-ruang demonstrasi jalanan.
Ketiga, ”kekerasan sistem” (systemic violence), yaitu kekerasan yang bersifat sistemik, yang merusak tatanan paling dalam, esensial, atau fundamental dari sistem sosial, kultural, atau spiritual. Misalnya, ”kebebasan berpendapat” individualistik yang diusung di dalam sistem demokrasi (liberal) telah merongrong tatanan dan sistem etika sosial yang ada yang berbasis komunal. Semangat ”individualisme” dan ”narsisisme” yang dirayakan oleh demokrasi liberal merongrong sistem ”persaudaraan” dan ”asketisme” yang dibawa oleh ajaran agama.
Bila demokrasi harus dibangun dengan ongkos ”kekerasan” macam ini, bukankah ia hanya akan menggiring pada sebuah kontradiksi kultural (cultural contradiction of democracy)? Kesejahteraan dan kemakmuran yang ingin dicapai melalui demokratisasi harus dibayar dengan rusaknya tatanan moral, sosial, kultural, dan spiritual. Tantangan ke depan adalah dapatkah kita membangun ”spirit” demokrasi tanpa merusak tatanan fundamental yang ada? Bila tidak, proses demokratisasi hanya menggiring pada kontradiksi antara tujuan dan capaian sebuah contradiction in terminis.
Yasraf Amir Piliang Direktur YAP Institute; Pemikir Forum Studi Kebudayaan (FSK) FSRD, Institut Teknologi Bandung

Opini Kompas 19 Maret 2010