ERA otonomi daerah yang sangat luas meniscayakan anggaran pembangunan di daerah diatur menurut sistem block grant yang secara leluasa dapat dipakai oleh pemerintah daerah untuk membangun daerahnya. Misalnya, berapa anggaran untuk pembangunan sektor X dan berapa untuk sektor Y sangat bergantung kepada anggota DPRD dan pemerintah daerah untuk mengatur dan menentukannya.
Karena itu, cara pandang mengenai alokasi anggaran mana yang penting dan mana yang tidak penting sepenuhnya terserah kepada para pejabat dan para politikus kita di daerah-daerah itu untuk mengaturnya sendiri. Tetapi yang menjadi masalah adalah ketidaksamaan cara pandang serta arah kecenderungan sikap dan apresiasi para elite di daerah itu mengenai pentingnya pendidikan.
Kalaupun secara kognitif tahu bahwa pendidikan itu mahapenting, ada kekhawatiran bahwa tuntutan-tuntutan mendesak mengenai berbagai sektor yang bersifat fisik dan proyek-proyek yang menyangkut kepentingan jangka pendek jauh lebih menarik dan akan menyita perhatian lebih banyak di kalangan para pengambil kebijakan di daerah-daerah dewasa ini ketimbang soal pendidikan. Dengan alasan ingin menggenjot pendapatan asli daerah (PAD), misalnya, masih banyak daerah yang kurang banyak menyentuh pentingnya pendidikan di daerah.
Karena itu, perlu dipikirkan sungguh-sungguh bahwa sektor pembangunan pendidikan di daerah-daerah di era otonomi daerah ini tidak menjadi terbengkalai. Hal itu menjadi penting karena bangsa kita telah mencanangkan pelaksanaan program wajib belajar dalam pengertian universal education untuk sembilan tahun.
Karena itu, pendidikan dasar yang mencakup pendidikan tingkat sekolah dasar (SD) dan tingkat SLTP mau tidak mau harus dijamin oleh pemerintah, termasuk pemerintah daerah. Meskipun kita menganut kebijakan civil society yang mengutamakan prinsip pemberdayaan masyarakat, sukses tidaknya pelaksanaan agenda pendidikan dasar sembilan tahun itu tidak bisa diserahkan bulat-bulat kepada masyarakat. Pemerintah harus dipahami wajib menyediakan anggaran yang cukup.
Untuk itu, sesuai dengan prinsip 'negara pengurus' (welfare state) yang menjadi latar belakang pemikiran ketika para pendiri bangsa kita merumuskan UUD 1945, peran pemerintah untuk mengupayakan sekuat tenaga bagi terdongkraknya pendidikan menjadi keniscayaan. Apalagi, secara imperatif anggaran pendidikan sudah dijamin dengan pagu 20% tiap tahun sesuai dengan amanat konstitusi.
Memang, jika dibandingkan dengan negara yang secara ekstrem sangat mengutamakan pendidikan, persentase yang termaktub dalam konstitusi kita masih lebih kecil. Taiwan, misalnya, secara akumulatif mematok porsi anggaran pendidikan sebesar 35% dari total anggaran pembangunan mereka di tingkat daerah. Di tingkat provinsi, anggaran pendidikan diberi porsi 25%, sedangkan di tingkat pusat 15%. Karena itu, tingkat pertumbuhan dan pemerataan pembangunan rakyat di Taiwan luar biasa berhasil.
Pembangunan milenium
Pentingnya persoalan pendidikan tidak bisa dipisahkan dari keinginan untuk menghapus penduduk miskin setengah dari jumlah penduduk dunia, sebagaimana telah diikrarkan di dalam Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals/MDGs). Detailnya dinyatakan bahwa pada 2015, lebih dari 500 juta orang akan terbebas dari kemiskinan yang parah. Lebih dari 300 juta orang tidak akan menderita kelaparan. Juga akan ada kemajuan dalam kesehatan anak. Tidak kurang dari 30 juta anak tidak akan meninggal sebelum mencapai ulang tahun kelima karena telah terselamatkan.
Demikian juga pada kehidupan lebih dari dua juta ibu. Tidak itu saja. Dengan tercapainya MDGs, akan berkurang 350 juta orang yang tidak memiliki air minum bersih dan berkurangnya 650 juta orang yang hidup tanpa sanitasi dasar sehingga mereka hidup secara lebih sehat dan bermartabat.
Ratusan juta anak perempuan dan perempuan dewasa akan bersekolah, memperoleh akses ekonomi dan peluang politik, memiliki jaminan hidup dan keamanan yang lebih besar. Singkat kata, keberhasilan pencapaian tujuan MDGs berimplikasi pada peningkatan kesejahteraan penduduk, baik dalam arti pendapatan, berkurangnya kelaparan, penyakit, dan tersedianya tempat tinggal yang layak di satu pihak.
Negara-negara anggota PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), termasuk Indonesia, telah berkomitmen untuk melaksanakan Education for All (EFA) di Jomtien (1991) dan Dakar (2000). Ikrar itu berisikan enam tujuan utama, yakni memperluas pendidikan untuk anak usia dini, menuntaskan wajib belajar untuk semua (2015), mengembangkan proses pembelajaran/keahlian untuk orang muda dan dewasa, meningkatnya 50% orang dewasa--khususnya perempuan--yang melek huruf (2015), menghapuskan kesenjangan gender, dan meningkatkan mutu pendidikan.
Tetapi, nyatanya, komitmen sering berbanding terbalik dengan fakta di lapangan. Banyak negara dan lembaga donor yang saat awal didengungkan EFA 'bersumpah' memajukan pendidikan secara amat heroik, ternyata tidak terlalu menggembirakan ketika ditagih pendanaannya. Fakta menunjukkan, pada 1990-an, hanya sekitar 8% dari bantuan bilateral diberikan untuk pendidikan. Pada 2000, kondisinya justru makin parah, yakni hanya 1,5% dari bantuan bilateral dikomitmenkan untuk pendidikan dasar.
Pengalaman riil
Karena itu, komitmen para pemangku kepentingan dan kebijakan, khususnya di daerah, mestinya tidak terlalu berharap dari lembaga donor dan bantuan bilateral untuk memajukan pendidikan. Yang paling penting adalah apakah sikap menjadikan pendidikan sebagai agenda prioritas sudah ada atau masih sekadar mimpi. Penulis ingin berbagi sedikit ihwal bagaimana penulis mengelola pendidikan di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah.
Upaya pembangunan pendidikan dasar dan menengah di Kotawaringin Barat meningkat pesat sejak 2006 dengan diluncurkannya layanan sekolah gratis bagi SD/MI dan SMP/MTs untuk level dasar, dan layanan sekolah gratis sampai ke jenjang SMA/MA dan SMK. Arah pengembangan infrastruktur juga ditujukan untuk mengembangkan infrastruktur sekolah. Karena itu, jumlah sekolah SMP/MTs meningkat dari 43 sekolah pada 2006 menjadi 52 sekolah pada 2009. Jumlah sekolah tingkat SMA/MA, SMK juga meningkat dari 23 sekolah pada 2006 menjadi 26 sekolah pada 2009.
Menjadikan pendidikan sebagai agenda utama daerah ternyata juga mampu mengatrol angka partisipasi sekolah anak usia 7-12 tahun, dari 110,11% pada 2006 menjadi 111,70% pada 2008. Angka partisipasi sekolah anak usia 12-15 tahun juga meningkat, dari 79,20% pada 2006 menjadi 86,33% pada 2008. Untuk anak usia 15-18 tahun meningkat dari 43,5% pada 2006 menjadi 59,12% pada 2008.
Semua capaian tersebut bermula dari tekad mengubah mindset pemangku kebijakan, dan yang tak kalah penting adalah proses dialog terus-menerus. Model bottom up untuk meningkatkan angka partisipasi pendidikan tentu saja menjadi resep awal tercapainya segala tekad tadi.
Negeri ini memang telah beberapa dekade terkejar oleh bangsa-bangsa lain. Kita sering kalah ketika sudah berbicara ihwal daya saing dengan negeri jiran. Tidak lain dan tidak bukan, itu karena kita meletakkan pendidikan di halaman belakang republik ini. Tekad menaruh pendidikan di garda depan pembangunan lebih banyak berhenti pada tataran seruan, tapi masih minim pelaksanaan.
Saatnya berubah, karena kita bukan bangsa kuli dan bangsa--meminjam istilah sosiolog Gunnar Mirdal--lembek. Dengan pendidikan, kita akan menjadi bangsa yang maju, berdaulat, dan berkepribadian. Semoga.
Oleh Ujang Iskandar, Doktor bidang ilmu pemerintahan UGM Yogyakarta dan Bupati Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah
Opini Media Indonesia 3 Februari 2010
02 Februari 2010
» Home »
Media Indonesia » Mengubah Nasib Pendidikan di Daerah
Mengubah Nasib Pendidikan di Daerah
Thank You!