Oleh COKI AHMAD SYAHWIER
SEJAK Orde Lama hingga era reformasi, Bank Indonesia (BI) selalu saja dirundung masalah. Salah satu kasus yang cukup fenomenal saat ini adalah kasus Bank Century. Hampir semua media massa cetak dan elektronik menempatkan kasus ini sebagai salah satu topik pemberitaan utama. Bahkan berbagai ulasan disajikan dengan gamblang dan terbuka. Tanpa disadari hal tersebut perlahan-lahan berimplikasi luas sehingga mendorong terbentuknya bermacam opini dan persepsi publik.
Tabir kasus Bank Century semakin tersingkap ketika Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membentuk panitia khusus (pansus). Berbagai data dan fakta terus diselidiki dan digali dalam rapat-rapat pansus yang sesekali panas. Namun, publik hanya bisa menunggu dengan seksama dan penuh tanda tanya, apa gerangan hasil akhir kesimpulan pansus nantinya?
Apabila mencermati perkembangan sesi-sesi penyelidikan yang dilakukan pansus selama ini, diperkirakan setidaknya ada dua kemungkinan. Pertama, memang terbukti terdapat kesalahan penafsiran atas ketentuan fasilitas pendanaan jangka pendek atau dana talangan terhadap Bank Century. Kedua, hanya kesalahan prosedur belaka. Akan tetapi, kesimpulan yang autentik tentu saja adalah kesimpulan yang akan dikemukakan oleh Pansus Kasus Bank Century di DPR dalam beberapa pekan ke depan.
Dalam beberapa kasus yang terungkap di era reformasi selama ini, kesalahan prosedur dinilai masuk ke dalam kategori sebagai perbuatan melanggar hukum. Konsekuensinya adalah perbuatan tersebut harus diselidiki dan dilakukan penyidikan yang kemudian dibawa ke proses pengadilan. Jadi, kita tunggu saja bagaimana akhir episode tragedi kasus perbankan kali ini yang kebetulan menimpa BI dan Bank Century.
Di balik itu semua, sebenarnya mengapa kasus BC yang sekarang berubah menjadi Bank Mutiara begitu banyak menyita perhatian publik ? Boleh jadi kasus tersebut sama menariknya dengan peristiwa pemotongan nilai rupiah (sanering) pada masa Orde Lama. Bahkan sama pentingnya dengan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang belum juga kunjung tuntas, ataupun kasus penyimpangan dana yayasan BI yang dulu sempat menghebohkan. Jangan-jangan misteri yang sama juga masih tetap terjadi. Benarkah dana bailout Rp 6,7 triliun benar-benar untuk menyelamatkan Bank Century sekaligus menyelamatkan perekonomian nasional? Atau ada muatan motif lain?
Apapun jawabannya kelak, nyaris banyak orang tidak percaya, mengapa BI sebagai bank sentral selalu saja mengalami rentetan masalah struktural yang silih berganti. Apa sebetulnya yang terjadi dengan BI? Sejauh mana sebenarnya integritas moralitas dan budaya kehati-hatian dalam pengelolaan bank sentral? Bukankah salah satu syarat fundamental ekonomi suatu negara yang kuat adalah apabila bank sentralnya juga kuat dan kredibel?
Tampaknya kasus Bank Century mampu menyadarkan kita betapa bank sentral membutuhkan pengawalan yang ketat terutama dari publik. Sebab, bank sentral bukanlah institusi yang tidak dapat disentuh, sakral, dan tidak dapat dikritisi hanya karena alasan prinsip independensi. Bank sentral adalah lembaga publik, yang dipimpin pejabat publik dengan nama jabatannya gubernur bank sentral.
Peran pengawasan yang diperankan publik sangatlah berarti dan penting. Sebab, pengawasan publik akan lebih efektif karena tidak memiliki kepentingan struktural. Pengawasan publik sangat berpotensi memengaruhi tugas pengawasan yang diemban bank sentral. Apalagi pengawasan merupakan domain yang sangat melekat pada fungsi lembaga bank sentral. Dengan demikian, menyertakan peran pengawasan publik dapat membantu bank sentral memperbaiki kelemahan-kelemahan yang dialami selama ini.
Kelemahan
Setidaknya terdapat sembilan kelemahan bank sentral suatu negara. Pertama, masih belum cukup kuat membentengi diri dari pengaruh faktor-faktor di luar kebanksentralan. Kedua, budaya perilaku dan budaya korporasi yang terkesan kurang fleksibel bahkan terkesan feodalistik. Ketiga, membatasi diri dari komunikasi publik yang intens. Keempat, ragu-ragu dalam bertindak terutama menyangkut faktor ketidakpatuhan bank terhadap aturan main dan standardisasi perbankan. Kelima, terlalu percaya diri yang berlebihan atas kemampuan dalam pengelolaan bank sentral. Keenam, karena terlalu besar dan luasnya otorisasi bank sentral terhadap pengeleloaan sistem pembayaran dan pengendalian nilai tukar menyebabkan lembaga ini selalu overestimate. Ketujuh, regulasi perbankan yang sering menimbulkan penafsiran yang berbeda (discretion). Kedelapan, struktur organisasi yang cukup besar sehingga melemahkan arus koordinasi dan menciptakan terjadinya tumpang tindih operasional. Kesembilan, kurang respons terhadap kondisi perekonomian dengan memberlakukan kondisi moneter yang ketat dan membiarkan tingkat bunga pada tingkat yang kurang kondusif bagi sektor riil.
Sembilan kelemahan tersebut seharusnya tidak perlu terjadi terlebih bila berlangsung berulang-ulang. Sebab kesalahan yang berulang-ulang membawa dampak terhadap citra dan kewibawaan bank sentral yang jauh dari ukuran ideal. Kelemahan yang tidak segera diatasi dapat membuat setiap keputusan menjadi tidak efektif dan cenderung tidak produktif. Dalam membuat keputusan apalagi menyangkut hal yang penting dan berimplikasi luas bagi perekonomian, sebaiknya bank sentral mengambil suatu tindakan yang terintegrasi dan searah dengan instansi-instansi terkait.
Kembali ke jati diri
Keintegrasian persepsi intansi atas kebijakan, keputusan, dan tindakan merupakan langkah yang seharusnya diambil. Sasarannya adalah suatu keputusan yang kredibel dan memperoleh dukungan yang luas dari para pemangku kepentingan. Dalam kasus Bank Century, jelas terlihat ada kegamangan dalam bertindak. Terutama menyangkut faktor pengawasan dan penghindaran multitafsir atas sejumlah ketentuan. Kasus Bank Century menunjukkan refleksi suatu tindakan berorientasi ke depan yang belum cukup memenuhi akurasi keterukurannya.
Akibatnya, sebagian besar pemangku kepentingan mempertanyakan tindakan bailout yang berarti kredibilitas dan pembenaran keputusan diragukan. Terlepas bagaimana hasil kesimpulan Pansus Bank Century dan implikasinya atas hukum yang berlaku, seyogianya bank sentral kembali saja ke jati dirinya. Bagaimanapun bank sentral harus tetap melakukan perubahan dan penyesuaian atas dinamika sosial dan ekonomi yang terjadi. Bank Indonesia sebagai bank sentral juga diharapkan terus-menerus melakukan reevaluasi dan reorientasi serta revitalisasi peran dan fungsinya. Semua itu tidak lain agar eksistensi BI benar-benar memperlihatkan jati dirinya.
Setidaknya ada lima hal yang diperlukan untuk membangun jati diri suatu bank sentral. Pertama, bank sentral tetap konsisten sebagai institusi pengatur sistem perbankan nasional. Kedua, menjauhkan setiap kebijakan dari kooptasi politik praktis. Ketiga, menyusun formulasi standardisasi tindakan pegawai bank sentral dari perbuatan penyimpangan moral (moral hazard). Keempat, rasionalisasi realisasi penggunaan dana operasional secara terukur. Kelima, konsisten membangun komunikasi publik yang intens.
Sejalan dengan momentum kasus Bank Century, hendaknya BI mengambil pelajaran yang sangat berharga terutama dalam mempertahankan jati diri bank sentral yang tidak mudah goyah. Apa pun tantangan dan hambatan yang merintangi, BI harus konsisten dengan dirinya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari citra atmosfer kebanksentralan yang baik. Apalagi persaingan ekonomi dunia dalam kerangka liberalisasi perdagangan dan investasi terus bergulir dengan deras. BI harus mampu menjadi simbol pencitraan bagi perekonomian nasional yang tangguh, sekaligus sebagai institusi yang turut berkontribusi mendorong peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat tertinggal. Semoga!***
Penulis, salah seorang responden Survei Persepsi Pasar (SPP) Bank Indonesia sejak 2002 hingga sekarang, salah seorang Ketua Bidang ISEI Bandung, Sekretaris LP3E Kadin Provinsi Jawa Barat, dan Wakil Ketua DPE Kota Bandung.
Opini Pikiran Rakyat 3 Februari 2010