02 Februari 2010

» Home » Kompas » Kerja Sama Militer RI-Rusia

Kerja Sama Militer RI-Rusia

Hubungan diplomatik RI-Rusia dimulai 3 Februari 1950. Rusia kala itu bernama Uni Soviet, merupakan sponsor diterimanya Indonesia menjadi anggota PBB dan telah mengakui Indonesia sejak tahun 1948. Selama ini Rusia belum pernah memberikan persenjataan bekas, justru alat perang yang diserahkan adalah terbaik di zamannya, terakhir Su-27 SK dan Su-30 MK, jenis yang belum dipakai di negaranya.

 

Dalam perjalanan yang berliku selama 60 tahun (1950–2010) sebagai sahabat dan teman malah sempat mencapai titik nadir manakala ada perintah dari ”penguasa” untuk mengisi tangki bahan bakar TU-16 milik AURI dengan air pascatragedi G-30S. Padahal, beberapa tahun sebelumnya pembom jarak jauh jenis TU-16 sempat memperkuat armada Angkatan Udara untuk menjadi yang terkuat di belahan bumi selatan.
Bukan hanya 26 unit bomber TU-16 yang dimiliki Angkatan Udara saat itu, lebih dari 100 unit pesawat tempur (MiG-15/17 19/21), dua lusin unit pembom taktis Ilyusin-28, dan puluhan unit helikopter termasuk helly terbesar di dunia jenis Mi-6 juga didatangkan dalam kurun waktu lima tahun. Dalam waktu yang sama Angkatan Laut juga memperoleh 104 unit kapal perang berbagai jenis termasuk 10 kapal selam kelas Whisky dan juga kapal penjelajah kelas Swerdlov yang dinamakan RI Irian, menjadikan armada Indonesia kekuatan terbesar Angkatan Laut di Asia setelah China.
Lapis kedua juga penuh persenjataan dari Rusia, termasuk puluhan pesawat angkut berat Antonov-12 dan Ilyusin 14 Avia, satu di antaranya dinamakan Dolok Martimbang sebagai pesawat Kepresidenan. Sementara arsenal militer kita dijejali senjata yang hanya dimiliki Uni Soviet, yaitu peluru kendali SA-75 untuk sasaran udara, peluru kendali sasaran permukaan jenis KC-1 Kometa, torpedo jenis SEAT-50 yang dapat mencari sasaran sendiri serta berbagai bom dan ranjau laut terbaik di zamannya, serta senapan legendaris AK-47.
Gejolak politik antara Rusia- Indonesia ikut memengaruhi kemampuan persenjataan militer kita. Meskipun sebelumnya Indonesia merupakan operator kedua semua jenis senjata ampuh keluaran Soviet, kali ini tidak. Pasca-G-30S semua alutsista eks Rusia dikandangkan, pengadaan suku cadang dibatalkan. Meskipun terseok, kedua negara tetap menjalin persahabatan lewat jalur diplomatik. Bahkan, Uni Soviet pada 9 Januari 1967 memutihkan sisa utang Indonesia sebesar 700 juta dollar AS, suatu keputusan yang sangat membantu di tengah kesulitan keuangan kala itu.
Era baru semangat lama
Selama kepemimpinan Bung Karno, tiga kali beliau berkunjung ke Rusia dalam periode 1956-1964, dibalas kunjungan Nikita Khrushchev pada tahun 1957. Dalam pemerintahan Orde Baru, Pak Harto berkunjung pada tahun 1989 yang meletakkan dasar persahabatan baru. Tiga hari pasca-runtuhnya Uni Soviet pada tanggal 25 Desember 1991, kedua pemerintah bersepakat untuk tetap melanjutkan persahabatan, bila mungkin ditingkatkan. Kali ini Indonesia tanpa beban selepas bayang-bayang paham komunis yang menjadi resistensi.
Tonggak sejarah penting saat Bu Megawati pada bulan April 2003 berkunjung ke Rusia. Kali ini Indonesia mendapat empat unit Sukhoi terbaru, konon jenis yang belum dioperasikan oleh Angkatan Udara Rusia. Adapun SBY pada Desember 2006 juga melawat ke Rusia, sinyal yang baik dan disambut positif oleh Rusia. Kunjungan balasan Vladimir Putin ke Indonesia (September 2007) dengan membawa pinjaman lunak satu miliar dollar AS ditandatangani kedua kepala negara untuk pembelian persenjataan saja. Bantuan yang sangat besar dan belum direalisasi hingga kini, perbedaan sistem menjadi kendala.
Sahabat lama ini memang mempunyai sistem perawatan pesawat yang sangat unik dan tidak cocok bila diterapkan dengan sistem Barat yang kita kenal selama ini. Sistem kita menyebutkan bahwa harus ada pengajuan suku cadang yang rusak, lalu dianggarkan dan ditenderkan, baru dibeli bila sudah ada alokasi dana. Butuh waktu dan birokrasi, kita menyebutnya lead time yang berlangsung sekitar dua tahun. Rusia mengenal direct maintenance system serta penyediaan ”apotek”, semua suku cadang tinggal ambil di apotek dan dibayar sesuai penggunaan, mudah disebut, tetapi sulit dijabarkan di lapangan.
Akibatnya, saat ini, hanya karena kekurangan satu suku cadang yang bernama KBY (time delay unit 0,5 detik), ada pesawat Sukhoi kita tidak laik terbang. Suku cadang seharga 5.000 dollar AS sebesar kelingking baru pada tahap UP (usulan pemesanan), jadi masih butuh waktu dua tahun lagi. Kalau saja sistem ”apotek” diberlakukan, besok pagi pesawat Sukhoi sudah dalam status laik terbang lagi.
Persahabatan selama 60 tahun cukup waktu untuk memahami keduanya kalau kita ingat pepatah Rusia yang menyatakan ”Net druga-ishi, a nashol-beregi” yang bermakna ”tak kenal, maka tak sayang”.
F Djoko Poerwoko
Marsekal Muda TNI (Purn)
Pemerhati Militer
Opini Kompas 3 Februari 2010