Prof Dr Subanindyo Hadiluwih SH
(Guru Besar Ilmu Sosiologi)
Beberapa mahasiswa datang mengeluh kepada saya. Konon tiba-tiba mereka tidak bisa kuliah lagi. ''Lho kenapa?'' Saya mencoba bertanya menyelidik. ''Perguruan tingginya dijual,'' jawab mereka serempak. ''Dijual? Emangnya?'' ''Habis yang menjual pemiliknya,'' masih jawaban beruntun. Terus terang, meski saya mulai mengerti persoalannya, akan tetapi tetap tidak jelas dalam implementasinya. Perseteruan antara yayasan dan tenaga fungsional struktural, rektor berikut stafnya memang sudah sering terdengar. Hampir pada berbagai kota di Indonesia. Pada umumnya, pihak rektorat berada pada posisi yang lemah. Mereka harus tunduk pada kemauan Yayasan. Oleh karena itu, perlu diperkuat oleh Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI), juga Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (KOPERTIS). Sayang, oleh karena peran mereka tidak mampu menjangkau secara imperatif kepada yayasan, posisi tidak juga berubah. Berdasarkan undang-undang yang berlaku, pengadilan bahkan tak berwenang turut campur dalam urusan yayasan.
Perseteruan tidak selalu oleh karena masalah jual beli, memang. Di Sumatra Utara, persoalan Universitas Islam Sumatra Utara (UISU), misalnya. Mereka bertelingkah bukan karena jual beli, melainkan lebih banyak oleh karena perebutan pihak-pihak yang dianggap dan/atau merasa lebih patut menjadi pengurus yayasan, yang tentu saja berdampak pada jabatan rektor dan sebagainya. Tak heran kalau sempat ada yayasan, rektorat, dekan kembar. Berikut ratusan, bahkan ribuan mahasiswa masing-masing. Manakala ke dua yayasan tak juga berhasil melakukan islah (perdamaian), sudah terbayang bahwa sekelompok mahasiswa dipastikan akan menjadi korban karena ijazahnya tak diakui, dengan demikian tidak dapat digunakan untuk mencari pekerjaan. Meski harus dipahami bahwa di belakang masalah yang tampil ke permukaan, tetap saja ada masalah yang berkaitan dengan perputaran uang yang meliputi jumlah miliaran rupiah setiap tahunnya.
Bukan hanya yang dihimpun dari mahasiswa (SPP), melainkan juga beasiswa serta bantuan dari pemerintah dalam berbagai bentuk ataupun bantuan dari berbagai pihak lain. Konon, di Sumatra Utara, masih ada beberapa perguruan tinggi yang kondisinya bak api dalam sekam. Sewaktu-waktu sangat potensial meledak menjadi 'UISU-UISU' berikutnya. Mereka berlindung di balik wibawa rektornya. Sementara itu, pihak-pihak yayasan sesungguhnya sudah bersiap-siap untuk 'baku tembak'. Dengan kata lain, manakala rektornya habis masa jabatannya, pertempuran tak terelakkan lagi. Suatu kondisi yang layak diantisipasi oleh pihak yang berwenang, sebelum menjadi masalah yang sulit terselesaikan. Memang, istilah jual-beli sebagai layaknya komoditas atau jasa lainnya, tidak dipakai di dunia perguruan tinggi. Istilahnya mungkin lebih santun : 'alih kelola'. Alasannya juga dibuat lebih masuk akal. Alih kelola dilakukan oleh pihak lain karena pengelola lama dianggap impoten. Tidak mampu lagi meneruskan tugasnya. Penyebabnya juga macam-macam.
Salah satu contoh adalah Universitas Karo (UKA) yang beroperasi di Kabanjahe Tanah Karo, dialihkelolakan dan dengan nama lain kini beroperasi di Kota Medan. Syukur, jual beli ini tidak bergejolak.
Namun cerita Universitas Trikarya (UNITRA), juga di Medan, malah berbeda nasibnya. Lembaga pendidikan tinggi yang semula sukses berfokus pada Ilmu Perbankan dengan nama PERBANAS itu, kemudian berubah menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Trikarya. Belakangan berkembang menjadi Universitas Trikarya dengan 12 program studi (prodi) dalam berbagai disiplin ilmu.
Keberhasilan era Perbanas ternyata tidak dapat dipertahankan - sudah menjadi universitas. Di samping pemiliknya, Prof Dr Djanius Djamin terlalu sibuk dan sempat menjadi rektor UNIMED. Ternyata, tenaga pelaksana yang dipercayainya tak mampu pegang amanah. Akhirnya, dilepas dengan nilai tak sampai satu miliar rupiah. Layaknya jual beli, setelah berbenah sana-sini, Trikarya dilego ke Kalimantan dengan harga sekitar tiga miliar rupiah. Merasa tak ada hubungan dengan pelaksana universitas, pengelola segera angkat kaki meninggalkan utang biaya operasional, berupa gaji dosen dan pegawai, biaya ujian, beasiswa, wisuda, serta pelaksana universitas, rektor, dekan, dosen, dan staf serta beberapa ratus mahasiswa yang tinggal.
Bagaikan anak ayam yang ditinggalkan induknya, para mahasiswanya bertebaran ke mana-mana. Tidak semua perguruan tinggi lain menerimanya dengan kondisi dan status sebagaimana di Tri-karya. Demikian pula, dengan biaya kuliah serta beasiswa yang sebelumnya telah diterima. Maklum, untuk memperoleh beasiswa baru, barang tentu memerlukan status yang jelas serta waktu perkuliahan tertentu.
Tinggallah rektor dan staf menanggung utang, sedangkan gajinya sendiri tak dibayarkan. Mengapa hal ini bisa terjadi? Ternyata yayasan menjanjikan akan menggantikan Universitas Trikarya dengan Universitas baru yang sedang diurus izinnya, bernama Universitas Sutomo. Bahkan, gedungnya pun sudah dijanjikan dalam bentuk kampus megah dengan peralatan dan kelengkapan representatif di Jalan Brigjen Katamso. Rektor dan para dekan segera menyabarkan para mahasiswanya, yang sempat berdemonstrasi, karena merasa tidak diajak bicara ihwal jual beli universitasnya, untuk bersabar menunggu terbitnya izin universitas yang baru serta menempati kampus yang lebih megah dengan posisi yang lebih strategis di tengah kota. Namun, apa yang terjadi? Ternyata 'kampus' tersebut digunakan untuk SMA yang dianggap break event point-nya lebih cepat menguntungkan, di samping investasinya tak sebesar membuat universitas.
Barang tentu fungsionaris Universitas Trikarya tak diperlukan lagi. Ketika mereka mencoba menghubungi pihak yayasan, dipersilakan untuk mengoperasikan Universitas Sutomo tanpa subsidi! Logika yang sesungguhnya aneh, akan tetapi mungkin dianggap wajar oleh seorang pedagang.
Opini Republika 2 Februari 2010
02 Februari 2010
Jual Beli Universitas
Thank You!