02 Februari 2010

» Home » Lampung Post » Undangan Takziah 100 Hari

Undangan Takziah 100 Hari

Sudjarwo
Guru Besar FKIP Unila
Beberapa hari lalu saya mendapat undangan dari tetangga dengan acara memperingati 100 hari meninggalnya sang Ayah. Keluarga ini keluarga Jawa yang dalam memperingati orang meninggal menggunakan pakem tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, setahun, seribu hari atau sering disebut mendak. Semua perhelatan ini menjadi semacam kewajiban sosial bagi yang hidup kepada yang meninggal untuk mendoakan almarhum.


Sekalipun dalam ajaran agama yang saya anut doa anak yang saleh kepada orang tuanyalah yang dijanjikan Allah swt. untuk mendapat prioritas. Namun karena ini adalah urusan sosial kemasyarakatan, saya harus hadir dalam majelis itu, perkara doa diterima oleh Yang Mahakuasa, itu biarkan Allah yang menentukan segalanya, yang penting ikhlas kita melakukannya.
Persoalan menjadi menghangat saat sebelum acara dimulai ada tetangga yang berkomentar bagaimana kalau masih hidup harus punya program 100 hari dan itu pun diperingati dengan demo di mana-mana. Saya dimintai pendapat tentang ini, walaupun saya agak sungkan karena tidak pada tempatnya. Saya akhirnya larut juga dalam pembicaraan serius.
Bagaimana program akan berjalan dengan baik jika pencitraan diri atau partai dinodai dengan salah seorang anggota terhormat yang berkelakuan tidak pada tempatnya di panggung terhormat. Rapat terhormat dianggap panggung sinetron karena yang bersangkutan sebagai artis, hanya karena nasib menjadi anggota pansus. Belum lagi kebiasaan buruk yang memproklamasikan diri akan program singkat seratus hari. Padahal kita semua mengetahui bahwa menanam jagung yang umurnya seratus hari harus berproses disiangi selama dua kali, dipupuk minimal satu kali, kemudian disemprot pestisida jika ada serangga pemangsa.
Bagaimana mengurus bangsa yang beragam keinginan dan kemauan dalam waktu seratus hari. Kalaulah ada itupun hanya dalam dongeng Bandung Bondowoso dan Loro Jonggrang dalam episode Candi Sewu, karena kecurangan Loro Jonggrang, patung keseribunya beliau sendiri yang ditulahkan oleh Bandung Bondowoso.
Mestinya kita juga semua menyadari kemustahilan itu, cara memperingatkan pun tidak perlu harus dengan berunjuk rasa dengan cara yang tidak santun, apalagi harus mendongkel segala. Coba kita bertanya dengan hati nurani, mengapa kita dahulu memilihnya, sementara sekarang membencinya. Begitu cepatkah kita berbalik arah hanya karena kepuasaan sesaat. Atau justru memang tidak kebagian tempat duduk di perahu sehingga harus menenggelamkan perahu. Jika alasan terakhir ini yang menjadi referensi, habislah sudah nasib bangsa ini karena sepanjang sejarah akan terjadi saling telikung di tengah jalan. Bahkan akan menjadi Kerajaan Singasari II, yang karena tulah keris Empu Gandring maka korban yang tidak perlu menjadi berjatuhan.
Demikian juga bagi para pemimpin, rasanya tidak perlu mencanangkan diri akan adanya program 100 hari segala, karena hal itu tidak rasional. Di samping juga menjadi sangat congkak karena pemimpin bukanlah malaikat yang datang dari langit, akan tetapi sesuatu yang berproses dari bawah. Dalam perjalanannya memerlukan waktu dan irama yang berbeda. Oleh sebab itu, kehati-hatian serta keikhlasan adalah modal besar utama dan pertama.
Pencitraan diri memang diperlukan, akan tetapi pencitraan diri bukanlah segala-galanya. Karena yang lebih utama adalah bagaimana kita mendorong semua potensi dan enargi yang ada untuk menyatu dalam satu visi ke depan membangun bangsa. Kemandirian dan kebebasan adalah dua hal yang harus ada dalam membangun bangsa, tetapi kebebasan bukan berarti tanpa batas, lalu menjamah kebebasan orang lain juga. Akan tetapi kebebasan dalam koridor menghargai kebebasan orang lain adalah merupakan rujukan yang amat utama.
Seratus hari bukanlah apa-apa, jika dibandingkan dengan seribu hari. Namun seratus hari itu menjadi begitu bermakna dalam berjalanan hidup yang berproses, jika momen itu bukan diberi label, tetapi dimaknai sebagai suatu pertanda akan permulaan atau fondasi dari suatu perjalanan panjang. Kemampuan memberi makna inilah yang tidak ada sekolahannya di dunia ini. Hal tersebut hanya dapat ditangkap oleh pancaindra metafisik oleh para pemimpin, yang kemudian diejawantahkan kepada perilaku kepemimpinannya. Pengejawantahan ini tidak juga dapat dilihat dari formulasi-formulasi fisik, seperti rencana pembangunan jembatan terpanjang, atau memindahkan gunung. Akan tetapi lebih kepada langkah-langkah konkret yang menyentuh kepentingan rakyat banyak, dari kalangan termiskin sampai terkaya.
Menemukan kedua kutub yang berbeda ini diperlukan suatu kearifan yang sangat bijak, karena tidak mudah memadukannya menjadi irama yang harmoni. Kita bertamsil pada alat musik. Bagaimana satu dengan yang lain suaranya berbeda. Namun di bawah seorang dirigen yang piawai, maka perbedaan itu menjadi harmoni yang sangat indah. Oleh sebab itu, pemimpin dituntut untuk memiliki rasa untuk menangkap gerak hati dari yang dipimpinnya.
Kemampuan kita untuk menunjukkan ketidaksukaan atau ketidakcocokan juga memerlukan perilaku yang dewasa. Zaman dahulu rakyat boleh protes dengan raja, caranya pada saat Pasewakan Agung, rakyat yang protes cukup tidak pakai baju berdiri mematung di alun-alun kerajaan. Para sentana kerajaan yang melihat akan langsung melapor kepada raja, dan raja akan langsung turun tangan menuntaskan persoalan demonstran tanpa baju ini. Pemimpin yang bijak akan menangkap hakikat dari mengapa sang rakyat tidak memakai baju, dan berdiri membisu di tengah alun-alun.
Semoga heboh seratus hari cepat berakhir. Mari kita menata negeri ini dengan tidak melihat mereka dari partai mana, karena semenjak kita lahir tidak pernah mengenal penggolongan manusia atas partai, yang kita kenal adalah derajat ketakwaan umat di mata Sang Pencipta.

Opini Lampung Post 3 Februari 2010