SALAH satu program Kementerian Hukum dan HAM dalam kurun 100 hari Kabinet SBY yang baru lalu adalah perubahan UU Hak Cipta. Kabarnya RUU ini sudah masuk program legislatif nasional. Namun sebetulnya, yang tak kalah mendesak bagi dunia usaha dewasa ini adalah pembuatan beberapa peraturan pelaksanaan (PP) yang dijanjikan dalam berbagai UU tentang hak kekayaan intelektual (HKI).
Satu yang termasuk penting ialah PP perihal perjanjian lisensi (PL). Bagi dunia usaha, lisensi merupakan hak yang tercatat sebagai aset, dan karena itu bisa dialihkan. Pasal 71(1) UU Paten 2001 menyatakan, 'Perjanjian lisensi tidak boleh memuat ketentuan....yang dapat merugikan perekonomian Indonesia atau memuat pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi....yang berkaitan dengan Invensi yang diberi Paten tersebut pada khususnya'.
Ketentuan dalam UU Paten ini mutatis mutandis juga terdapat dalam berbagai undang-undang tentang hak kekayaan intelektual (HKI) yang lain seperti UU Desain Industri 2000, UU Merek 2001 dan UU Hak Cipta 2002. Jadi ada dua pantangan alternatif: PL yang mengandung unsur merugikan perekonomian negara kita atau yang menghambat penguasaan teknologi.
Seperti dikatakan seorang tokoh Kadin dalam diskusi tentang RUU Merek November lalu, isi pasal UU Paten ini tidak jelas, yang pada gilirannya memberikan ketidakpastian usaha. Memang, karena itulah perlu dikeluarkan PP-nya. Selain itu seperti diatur dalam pasal lain, agar berlaku bagi pihak ketiga PL mesti dicatatkan, dan abc pencatatan termasuk yang akan diatur dengan PP itu. Kita maklum ketiadaan PP tentang PL ini memusingkan jajaran otoritas HKI dalam memberikan pelayanannya ke masyarakat–padahal otoritas itu sendiri pun sudah pernah menyiapkan satu naskah awal rancangan PP termaksud.
Yang jelas amanat UU Paten tentang PL ini amat mendasar. Diacu ke praktik bisnis internasional, PL kerap disusupi beberapa kewajiban ikutan yang memberatkan terlisensi, umumnya dari negara berkembang. Itulah sebabnya Pasal 40 Trade Related Aspects of Intelellectual Property Rights (TRIPs), lampiran WTO Agreement, mengingatkan negara anggota untuk memerangi perilaku demikian.
Misalnya terhadap praktik grant back. Katakan A, pelisensi, umumnya dari negara maju memberikan lisensi kepada B, warga negara berkembang atas patennya berkenaan dengan teknologi tertentu. Jika kemudian B atas kemampuannya sendiri menemukan hal-hal baru yang merupakan pengembangan teknologi itu, B harus memberikan hasil pengembangan tadi kepada A. Banyak contoh lain.
Inventarisasi United Nations Development Programme, badan khusus PBB untuk program pembangunan menyebut adanya ketentuan dalam PL yang melarang B, melakukan riset dan pengembangan terhadap teknologi yang dilisensikan A kepadanya. Atau yang mensyaratkan, jika B ingin mendapatkan teknologi tersebut dari A, B juga mesti menutup transaksi lain dengan A yang sebetulnya tak diperlukannya (tie-in clause).
Tak ada alih teknologi
Sebagai terlisensi, B secara individual mungkin tak akan rugi sebab dia dapat melakukan tawar menawar dikaitkan dengan kewajiban royaltinya ke A. Tapi ini tidak akan memajukan negara tempat B. Tak akan ada alih teknologi. Itulah sebabnya negara-negara anggota WTO, seperti dipesankan ketentuan TRIPs di atas, dapat memasukkan legislasi tentang HKI-nya larangan praktik bisnis restriktif semacam ini.
Jadi inilah peranan PP yang merupakan utang pemerintah yang sudah tahunan itu, karena sudah dari dulu termaktub dalam UU Paten dan undang-undang tentang HKI yang lain. Tapi berhakkah negara campur tangan dalam kontrak antara A dan B yang secara hukum merupakan UU bagi mereka? Tidakkah sikap pemerintah yang begini merusak asas kebebasan berkontrak? Tidak. Sebab asas kebebasan berkontrak tak boleh bertentangan dengan legislasi yang ada di negara itu sendiri.
Namanya utang, tentulah wajib dibayar. PP tentang PL ini–-seperti juga beberapa PP-lain di berbagai undang-undang-–saatnyalah untuk segera diterbitkan, dan pemerintah sangat punya potensi untuk itu. Ini demi kepastian hukum, dan khusus mengenai PL, sebagai anggota WTO. Kalau dihitung-hitung, penyusunan PP tentang PL ini rasanya lebih perlu diprioritaskan ketimbang perubahan undang-undang tentang HKI itu sendiri.
0leh Achmad Zen Umar Purba Dosen Pasca-FHUI dan Anggota Pembina Yayasan ABNR
Opini Media Indonesia 3 Februari 2010