02 Februari 2010

» Home » Suara Merdeka » Kalibrasi Mengiblatkan Masjid

Kalibrasi Mengiblatkan Masjid

Menyikapi banyaknya perbedaan besaran sudut penunjuk arah kiblat, perlu ada pengecekan ulang dengan mengukur kembali (kalibrasi)

PERBINCANGAN mengenai arah kiblat masjid dan mushala, akhir-akhir cukup hangat. Bahkan pejabat terkait dalam hal ini Menteri Agama, Direktur Urusan Agama Islam Depag, anggota Komisi VIII DPR yang membidangi masalah agama membahas serius. Hal ini karena disinyalir di Indonesia tidak sedikit masjid yang kiblatnya salah, bahkan terdata 320 ribu masjid (running text Metro TV, 23 Januari 2010). Pembicaraan mengenai kiblat makin mencuat dengan temuan bahwa gempa akibat pergerakan lempeng bumi dapat menggeser muka bumi hingga 7 cm per tahun (Doktor Amien Widodo, ITS Surabaya, 21 Desember 2009). 


Guru besar arsitek Undip Totok Roesmanto dalam kolom ‘’Kalang’’  Suara Merdeka, 1 Juni 2003 , menuliskan  banyak ditemukan masjid dan mushala yang arah kiblatnya berbeda-beda, bahkan di satu daerah. Dia mencontohkan sumbu bangunan Masjid Menara Kudus 25 derajat ke arah utara, Masjid Kotagede  yang menempati lahan bekas dalem Ki Ageng Pemanahan 19 derajat, Masjid Mantingan di Jepara hampir 40 derajat, Masjid Agung Jepara 15 derajat, Masjid Tembayat Klaten 26 derajat, dan sumbu bangunan Masjid Agung Surakarta bergeser 10 derajat.

Data tersebut berarti memperkuat hasil pengamatan Ditbinbapera Islam Depag yang menyimpulkan selama ini masih ada perbedaan arah kiblat. Bahkan ada yang perbedaannya lebih dari 20 derajat.

Penulis ketika mengukur arah kiblat di Masjid Agung Jawa Tengah Jalan Gajah Raya Semarang saat proses pembangunan, bertemu konstruktor yang menyatakan, bahwa ia sering mengukur arah kiblat di Semarang hanya 14 derajat dari titik barat ke utara. Padahal menurut perhitungan astronomi akurat 24,5 derajat.

Melihat hal itu, wajar bila masih banyak ditemukan masjid maupun mushala yang perlu diluruskan atau dikalibrasi arah kiblatnya. Apalagi kajian ahli kebumian dari BPPT dan LIPI menemukan terjadi pergeseran permukaan bumi rata-rata 3 cm per tahun  Kalibrasi perlu dilakukan agar dapat memberikan keyakinan dalam beribadah secara ainul yaqin, paling tidak mendekati atau bahkan sampai haqqul yaqin kita benar-benar menghadap kiblat (Kakbah).

Pasalnya, perbedaan per derajat saja sudah memberikan perbedaan kemelencengan arah seratusan kilometer. Bagaimana kalau perbedaannya puluhan derajat, bisa-bisa  arah kiblatnya melenceng jauh di luar Masjidil Haram, tidak  hanya jauh di luar dari Baitullah (Kakbah).
Ujian Ketaatan Sebetulnya Baitul Maqdis dan Baitullah di sisi Allah adalah sama. Penunjukan ke arah kiblat hanyalah ujian ketaatan manusia kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang penting dilakukan dalam shalat adalah ketulusan hati menjalankan perintah-Nya, dengan kerendahan hati mohon petunjuk jalan yang lurus - shirathal mustaqim.

Berdasarkan asbabun nuzul ayat-ayat arah kiblat dengan didukung hadis qauli amr Muhammad maka para ulama sepakat — ijma’ — bahwa menghadap ke Baitullah hukumnya wajib bagi orang shalat.

Apakah harus persis menghadap ke Baitullah atau boleh hanya ke arah taksirannya? Dalam hal ini perlu kita memahami bahwa Islam bukanlah agama yang sulit dan memberatkan, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah (2) Ayat 286. Apalagi dalam soal kiblat ini kita diperintahkan menghadap kiblat dengan lafaz syathrah yang berarti arah. Karena itu, sudah barang tentu bagi yang langsung dapat melihat Kakbah maka wajib baginya  menghadap persis. Sedangkan orang yang tidak langsung dapat melihat Kakbah, karena terhalang atau jauh, hanya wajib menghadap ke arahnya dengan pertimbangan yang terdekat arahnya.

Untuk mendapatkan keyakinan dan kemantapan amal ibadah  ainul yaqin, paling tidak mendekati atau bahkan sampai pada haqqul yaqin, kita perlu berusaha agar arah kiblat yang kita anut mendekati persis ke Baitullah. Jika arah tersebut telah kita temukan berdasarkan hasil ilmu pengetahuan misalnya, maka kita wajib mempergunakan arah tersebut selama belum memperoleh hasil yang lebih teliti lagi.

Hal ini relevan dengan firman Allah Surat Az-Zumar 17-18: ”sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal”.

Sehingga sudah barang tentu kita perlu mencari kesimpulan arah  mana yang paling mendekati kebenaran pada arah kiblat sebenarnya. Menyikapi banyaknya perbedaan dalam besaran sudut penunjuk arah kiblat, perlu adanya pengecekan ulang dengan mengukur kembali (kalibrasi) arah kiblat. Banyak sistem penentuan arah kiblat yang dapat dikategorikan akurat, seperti  menentukan azimuth kiblat dengan scientific calculator atau dibantu alat teknologi canggih semacam theodolite dan global position system (GPS).

Bisa juga dengan cara tradisional yakni melihat bayang-bayang matahari pada waktu tertentu (rashdul kiblat)  setelah mengetahui data lintang dan bujur tempat serta mengetahui lintang dan bujur Kakbah.

Bagaimana dengan kompas? Kompas yang selama ini beredar di masyarakat memang dapat digunakan untuk menentukan arah kiblat namun masih sebatas ancar-ancar yang masih perlu dicek kebenarannya. Berbagai model kompas, termasuk kompas kiblat,masih mempunyai kesalahan bervariasi sesuai dengan kondisi tempat (Magnetic Variation). Apalagi untuk mengukuran di daerah yang banyak baja atau besinya, yang pasti mengganggu penunjukkan utara ñ selatan magnet.

Secara garis besar arah kiblat berdasarkan perhitungan astronomi untuk daerah Jawa Tengah sekitar 24 derajat 10 menit sampai 25 derajat dari titik barat sejati ke arah utara sejati.  Jadi, dapat dicek dengan sudut busur tersebut setelah mengetahui arah utara ñ selatan sejati. Satu cara tradisional yang dapat menghasilkan hasil akurat adalah dengan bayang-bayang matahari sebelum dan sesudah kulminasi matahari lewat sebuah lingkaran. Atau dengan cara yang sangat sederhana yakni rashdul kiblat pada setiap tanggal 28 Mei pukul 16.18 WIB atau pada setiap tanggal 16 Juli pukul 16.27 WIB, semua benda tegak lurus adalah arah kiblat.

Pada dasarnya rashdul kiblat dapat dihitung dalam setiap harinya dengan mengetahui deklinasi matahari. Hanya saja penetapan dua hari rashdul kiblat tersebut adalah atas pertimbangan matahari benar-benar di atas Kakbah.(10)

— H Ahmad Izzuddin MAg, Ketua Umum Asosiasi Dosen Falak Indonesia (ADFI), Sekretaris Program Khusus Ilmu Falak IAIN Walisongo, staf ahli Badan Hisab Rukyah Depag
Wacana Suara Merdeka 3 Februari 2010