Joko Riyanto
Koordinator Riset Pusat Kajian dan Penelitian Kebangsaan
(Puskalitba) Solo
RUPANYA Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mulai gerah oleh gejolak politik yang berkembang dalam sidang Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). SBY khawatir jangan sampai bola panas yang bergulir di Pansus terhadap skandal Bank Century menjadi liar yang berujung pada pemakzulan (pemberhentian).
Gerah karena wacana pemakzulan Oresiden berembus dengan kencang. Itulah sebabnya, pada Kamis (21-1), Presiden SBY mengumpulkan tujuh pemimpin lembaga negara. Dua lembaga negara yang paling penting dalam konteks pemakzulan adalah hadirnya Ketua Mahkamah Konstitusi dan Ketua MPR. Pertemuan selama empat jam di Istana Bogor itu tidak ada rujukannya dalam undang-undang. Tapi celakanya mereka resmi membicarakan perihal pilihan sistem ketatanegaraan, dan yang paling penting, mereka juga bersepakat bahwa sistem atau kultur mosi tidak percaya terhadap presiden dan wapres, sebagaimana dalam sistem parlementer, tidak berlaku di Republik ini.
Presiden menegaskan sistem ketatanegaraan di Indonesia harus kembali dijernihkan. Sistem yang diterapkan Indonesia adalah sistem presidensial di mana presiden tidak dapat membubarkan parlemen, sementara kalau terjadi pemakzulan, ada aturan yang mengikatnya. "Dalam sistem presidensial, parlemen juga tidak bisa memiliki cara pandang bahwa setiap saat dapat menjatuhkan pemerintah atau mengeluarkan mosi tidak percaya," kata Presiden.
Meski demikian, dalam sejarah ketatanegaraan kita, sudah dua presiden yang diberhentikan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yakni Soekarno (presiden pertama) pada 1967 dan K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (presiden keempat) pada 2001. Kejadian yang menimpa Bung Karno setelah MPRS menarik kembali mandatnya menyusul ditolaknya Nawaksara, pertanggungjawaban Soekarno. Sedangkan mandat Gus Dur dicabut setelah ia mengeluarkan dekrit pembekuan MPR dan pembubaran Partai Golkar serta percepatan pemilu.
Dua peristiwa itu membuktikan bahwa MPR dapat memberhentikan presiden dari jabatannya sewaktu-waktu. UUD 1945 memang tak mengatur mekanisme pemberhentian presiden secara perinci. Baru setelah diamendemen, aturan lebih detail mengenai mekanisme dan alasan-alasan pemakzulan diberikan.
Dalam konstitusi, aturan mengenai pemakzulan diatur pada Pasal 7A UUD 1945 (impeachment articles). Pasal 7A UUD menyebutkan bahwa presiden/wakil presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR dengan alasan, pertama, apabila terbukti telah melanggar hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, atau perbuatan tercela. Kedua, apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden/wakil presiden.
Namun, proses pemakzulan di Indonesia pascaperubahan konstitusi melewati tiga tahap. Pertama, dugaan penyimpangan presiden/wakil presiden diajukan DPR ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam hal ini, pasal 7B Ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa usul pengajuan permintaan DPR ke MK dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya dihadiri dua per tiga anggota DPR. Dari jumlah itu, dua per tiganya harus menyatakan setuju.
Kedua, MK menguji kesahihan pendapat DPR. Berdasarkan salinan Peraturan MK Nomor 21 Tahun 2009, tiga jenis amar putusan tersebut, antara lain, adalah permohonan tidak dapat diterima karena tidak memenuhi kelengkapan seperti tercantum dalam tata cara mengajukan permohonan.
Dua, MK membenarkan pendapat DPR bahwa presiden dan/atau wakil presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela. Tiga, permohonan ditolak MK apabila pendapat DPR terkait dugaan pelanggaran yang dilakukan Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak terbukti.
Ketiga, jika MK menyatakan bahwa presiden/wapres telah melanggar Pasal 7A UUD, DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemakzulan kepada MPR. Usai melalui proses persidangan di MK, usulan pemberhentian presiden dan atau wakil presiden bisa tidak disetujui oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan alasan tertentu. Proses di MPR ini adalah proses politik yang mengimbangi proses hukum sebelumnya di MK.
Maka, mekanisme hukum dan politik tercampurnya di MPR. Hal ini yang terjadi pada mantan Presiden AS, Bill Clinton. Meski Supreme Court sudah memutus Bill terbukti selingkuh dengan Monica Lewinsky dan berbohong, Kongres AS tidak mencopotnya dari kursi Presiden lantaran tidak satu suara.
Oleh karenanya, suara mayoritas dan suara kebenaran dalam proses pemakzulan harus bersinergi. Proses hukum tanpa proses politik dalam pemakzulan bisa mengabaikan suara rakyat. Hal ini yang terjadi pada Perdana Menteri Thailand, Samak Sundaravej, yang dicopot dari jabatannya setelah dinyatakan melanggar konstitusi karena terus menjadi pembawa acara memasak di stasiun televisi. Padahal Samak mengantongi dukungan mayoritas di parlemen.
Proses pemakzulan atau impeachment merupakan pembelajaran penting bagi masyarakat Indonesia untuk menghadapi pergolakan isu politik. Saya berharap masyarakat Indonesia sudah memahami apa makna hidup berdemokrasi sehingga kita tidak akan melakukan kesalahan dalam berpolitik, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Opini Lampung Post 3 Februari 2010