02 Februari 2010

» Home » Suara Merdeka » Menu Baru: Calon Perseorangan

Menu Baru: Calon Perseorangan

DARI 17 kabupaten/ kota di Jateng yang tahun ini menggelar pilkada mulai April mendatang ada beberapa kepala daerah yang secara terbuka mencalonkan kembali, misalnya Wali Kota Pekalongan Basyir Ahmad dan Wakil Wali Kota Abu Almafachir, Bupati Blora Yudi Sancoyo, Bupati Rembang M Salim, Wakil Wali Kota Semarang Mahfudz Ali, pasangan Wali Kota Surakarta Joko Widodo dan wakilnya,  FX Rudyatmo.


Bagaimana mempersiapkan, menyongsong perhelatan tersebut? Apakah kecenderungan perilaku memilih, peran partai politik dan faktor-faktor keterpilihan calon pada pilkada  2005-2008 masih berlaku untuk tahun ini? Belajar dari hasil penelitian Pusat Kajian Otonomi Daerah dan Kebijakan Publik (Puskodak) Undip 2005-2008, ketiga hal tersebut perlu dicermati dan mungkin masih relevan dibicarakan, terutama bagi pihak yang terkait dengan pilkada.
Bagi kalangan pemilih, terutama strata sosial menengah ke bawah, pilkada masih dimaknai sebagai pesta rakyat, pilkades dalam skala luas, ‘’kapal pecah, perhelatan akbar’’ dimana pemilih akan memperoleh sedekah politik dari calon kepala daerah.

Bagi calon kepala daerah atau peminat calon kepala daerah, pilkada dianggap sebagai ajang untuk memoles diri, bahwa dirinya adalah satu-satu tokoh yang paling membela kepentingan orang kecil, paling populer (biasanya menyewa lembaga survei) di mata publik, sehingga paling layak dipilih. Sedangkan bagi elite parpol, pilkada, terutama pada tahap bakal calon, dimaknai sebagai cara untuk memperkuat gizi partai, selain  faktor keterpilihan bakal calon.

Secara teoritis, peran partai politik seharusnya memegang peran utama kawah candradimuka, yang menjalankan fungsi artikulasi kepentingan (penyambung lidah rakyat), agregasi kepentingan (memberi solusi), sosialisasi politik (memiliki visi dan misi, platform ideal), rekrutmen politik (menyiapkan kader terbaik) sebagaimana terjadi d negara-negara yang mempraktikkan demokrasi (Almond, 1978).
Sangat Terbatas Namun, tampaknya peran partai dalam pilkada masih sangat terbatas, sebagaimana hasil penelitian Puskodak Undip. Mengutip hasil penelitian tahun 2005 pada Pilkada Kota Semarang, kabupaten Rembang, dan Blora, mengisyaratkan bahwa peran parpol hanya sebatas meloloskan bakal calon menjadi calon, setelah itu yang menentukan keterpilihan  adalah figur kuat, jaringan luas, dan dana yang melimpah.

Di Kota Semarang, Wali Kota Sukawi Sutarip yang sebelumnya adalah kader PDIP, pada masa jabatan kedua (2005-2010) diusung oleh aliansi partai-partai Islam (PKB, PPP, PAN, PKS), begitu lolos menjadi calon kepala daerah, maka mesin politik yang paling berperan adalah Sukma Center dan tim sukses siluman yang dimotori oleh keluarga besar Sukawi, sedang mesin aliansi parpol pendukung tidak terlalu signifikan. Dan tragisnya, satu tahun setelah menjabat, Sukawi menjadi Ketua Partai Demokrat Jateng.

Demikian halnya, di Kabupaten Rembang, M Salim yang semula diusung oleh Aliansi Rembang Bangkit (aliansi partai-partai yang tidak memperoleh kursi di DPRD) dan menjelang detik-detik terakhir didukung oleh PKB, ternyata faktor keterpilihannya juga didukung oleh Figur Salim yang rajin memberi ‘’sedekah’’,  mesin politik dari karyawan perusahaannya, dan mesin politik siluman yang dimotori penuh oleh keluarga besar M Salim dan istrinya yang asal Lasem, Rembang.

Sama halnya dengan Sukawi, pada pertengahan masa jabatannya, Salim menjadi Ketua Partai Demokrat Rembang. Yang juga menarik, di Kabupaten Blora, Ir Basuki  Bupati Blora 2000-2005, calon incumbent dan kader PDIP dikalahkan oleh Tommy (anggota DPRD PDIP Blora) dalam konvensi PDIP yang menentukan calon kepala daerah,  dan kemudian diusung oleh Partai Golkar berpasangan dengan Yudi Sancoyo  ternyata dapat terpilih kembali pada Pilkada 2005, mengalahkan pasangan Tomy-Susilo yang diusung PDIP.
Ternyata, keterpilihannya karena figur incumbent yang dikenal sukses, jaringan birokrasi dari lurah desa sampai kecamatan, dan fanatisme masyarakat Cepu, karena Ir Basuki berasal dari Cepu.

Belajar dari pilkada tahun 2005 di 3 kabupaten/kota itu,  ternyata parpol tidak berperan sebagai kawah candradimuka, hanya sebatas mengantar bakal calon menjadi calon dan partai malah sering mendukung calon yang tidak berasal dari kadernya sendiri, dengan alasan kalah dalam survei atau alasan membesarkan ‘’gizi’’ partai. Jadi, tidak ada salahnya sekiranya ada bakal calon atau peminat bakal calon kepala daerah menggunakan ‘’perahu sewa’’ calon perseorangan/ dukungan publik, asal peminat tersebut memiliki figur kuat, jaringan luas, dan dana yang cukup.

Berdasarkan sumber yang kami peroleh, ongkos politik bakal calon menjadi calon kepala daerah lewat parpol berkisar antara Rp 1 miliar dan Rp 5 miliar.
Biaya sebesar itu dipakai untuk rapat-rapat pertemuan, konvensi partai, sosialisasi partai sampai memperoleh restu dari pimpinan partai yang ada di atasnya (DPD/DPW, DPP). Sedangkan kalau bakal calon menggunankan kendaraan lewat nonkepartaian/perseorangan biayanya relatif murah. Sebagai contoh, di Kota Semarang, syarat calon perseorangan adalah mengumpulkan tanda tangan dukungan disertai  50.785 fotokopi KTP, atau dibulatkan 51.000 (3% dari penduduk Kota Semarang). Jika 1 pendukung membutuhkan biaya Rp.20.000 maka biaya yang dikeluarkan untuk lolos sebagai calon kepala daerah hanya Rp 1,2 miliar rupiah.

Persoalan yang muncul barangkali bagaimana mengelola pemerintahan jika calon perseorangan ini terpilih, padahal dia tidak memiliki kaki di DPRD ? Pengalaman di Kabupaten Rembang dan di Kota Semarang meskipun mereka bukan calon perseorangan, ternyata calon terpilih sangat menarik minat partai-partai yang memiliki kursi signifikan di DPRD. M Salim seorang pengusaha, nonpartai ternyata dipinang oleh Partai Demokrat, Sukawi yang nota bene kader PDIP, kemudian diusung oleh partai-partai Islam, dan akhirnya di pinang oleh Partai Demokrat Jawa Tengah.

Tampaknya perilaku parpol selama ini ibaratnya seperti ada gula ada semut, ada kekusaan (terpilih) ada (dukungan) partai. Untuk itu, bagi bakal calon dan peminat calon kepala daerah, yang kesulitan memperoleh sewa kendaraan politik atau kader  partai politik yang tidak diusung oleh partainya sendiri, ada baiknya mencoba dan yakin bahwa calon perseorangan memiliki peluang yang sama dalam keterpilihan, asal memiliki dan menguasai 3 lini keterpilihan: figur kuat, jaringan luas, dan dana kampanye yang cukup. Selamat mecoba dan menikmati menu baru pilkada. (10)          

— Susilo Utomo, dosen FISIP Undip
Wacana Suara Merdeka 3 Februari 2010