17 November 2009

» Home » Solo Pos » Menunggu babak akhir kasus Bank Century

Menunggu babak akhir kasus Bank Century

Kasus Bank Century yang berawal dari kebangkrutan sebuah bank yang gagal dalam investasi, akhirnya menjadi polemik politik yang tidak kunjung selesai. DPR saat ini sedang menggodok usulan hak angket untuk membahasnya.

Kasus ini menjadi semakin besar dan rumit karena memicu perseteruan antarlembaga penegak hukum di Indonesia, yaitu Polri-Kejaksaan Agung melawan KPK.
Kasus Bank Century ini menjadi rumit karena kelambatan pemerintah dalam mengantisipasinya. Ketidakjelasan penggunaan dana bailout senilai Rp 6,7 triliun itu menjadi pertanyaan besar bagi sebagian rakyat Indonesia. Kebangkrutan Bank Century dari sisi perbankan adalah sebuah kesalahan manajemen internal perbankan dalam melakukan investasi, namun mengapa pemerintah memaksakan untuk melakukan bailout dalam jumlah yang besar.



Krisis ekonomi 1998 memberikan pelajaran pada kita tentang pentingnya sektor perbankan. Salah satu penyebab memburuknya situasi perekonomian di Indonesia pada waktu itu karena kinerja perbankan di Indonesia sangat buruk.

Pemberian kredit pada kelompok usaha sendiri sangat tinggi, padahal pemberian kredit pada grup usaha sama semakin mempertinggi risiko kredit macet. Saran IMF pada waktu itu untuk menutup 11 bank yang bermasalah justru semakin memperburuk keadaan.

Alasan yang sama dipergunakan oleh pemerintah dan otoritas moneter untuk menyelamatkan bank Century. Namun demikian, mengapa langkah yang seharusnya tepat menurut pandangan ekonomi menjadi dianggap salah oleh masyarakat? Bagaimana duduk perkara sebenarnya dari kasus bailout Bank Century?
Pemahaman tentang keputusan memberikan bantuan likuiditas (bailout) pada Bank Century harus memperhatikan konteks situasi pada saat bantuan itu dikucurkan. Proses pengucuran dana bantuan likuiditas itu dilakukan karena pemerintah khawatir kebangkrutan Bank Century akan memicu gelombang ketidakpercayaan masyarakat terhadap perbankan.

Pada tahun 2008, pemerintah Indonesia dikejutkan dengan dampak gelombang krisis keuangan di Amerika Serikat yang mempunyai dampak menular (contagious effect) pada negara-negara yang mempunyai ketergantungan ekonomi dengan negara itu. Indonesia adalah salah satu negara yang mempunyai ketergantungan ekonomi dengan AS.

Sebenarnya sejak tahun 2006, Bank Century tidak sehat. Dalam laporan keuangan Bank Century pada bulan Desember 2006 tercatat Non-Performing Loan (NPL) atau rasio kredit macet mencapai 5,88 persen. Angka ini merupakan angka NPL kritis yang ditetapkan Bank Indonesia (BI). Pada tahun yang sama, Rasio Kecukupan Modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) dari Bank Century mencapai 11,66 persen. Angka ini sedikit di atas batas minimal CAR yang ditetapkan BI sebesar 10 persen.

Pada tahun 2007, kinerja Bank Century mulai pulih dengan turunnya angka NPL menjadi 3,46 persen dan angka CAR meningkat menjadi 15,66 persen. Namun demikian, dalam praktik perbankan ini ada niat komisaris untuk melakukan penipuan dan investasi yang tidak hati-hati. Bank Century disinyalir juga mengalami kerugian dalam investasi di pasar keuangan AS karena krisis finansial global.

Kondisi Bank Century pada 2008 kembali memburuk dan bahkan semakin buruk karena kesalahan dalam investasi. Pemerintah akhirnya memutuskan memberikan bantuan likuiditas dengan dua pertimbangan utama. Pertama, melindungi kepentingan nasabah dan investor. Pemerintah dan otoritas moneter merasa perlu mengambil langkah-langkah proaktif untuk melindungi kepentingan nasabah.

Kedua, menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional. Pemerintah mengantisipasi terulangnya dampak krisis ekonomi tahun 1998 terhadap perbankan nasional. Rusaknya kepercayaan pada perbankan membutuhkan pemulihan yang panjang dan pemerintah serta otoritas moneter tidak menghendaki hal itu. Pemberian bailout bagi Bank Century sebenarnya berupa pinjaman yang wajib dikembalikan oleh bank bersangkutan. Bailout itu akan diganti dengan aset dari Bank Century.

Pertanyaannya adalah mengapa jumlah bailout mencapai Rp 6,7 triliun padahal kebutuhan Bank Century hanya berkisar Rp 2 triliun? Pertanyaan berikutnya, jika kebijakan bailout dilakukan untuk menyelamatkan kepentingan nasabah, mengapa sampai saat ini masih banyak nasabah yang belum menerima uangnya, padahal dana bantuan sudah dikucurkan? Apakah aset bank itu cukup untuk mengganti bailout sebesar itu?

Skenario pesimistis
Ada banyak rumor tentang ke mana uang bailout Bank Century. Hampir semuanya bermuara pada kepentingan para politikus Indonesia. Hal ini sangat sulit dibuktikan karena dengan skema akuntansi tertentu maka dana itu bisa disamarkan, misalnya dengan membuat perusahaan fiktif dan lain sebagainya. Namun, publik masih mempunyai harapan untuk melihat penyelesaian kasus ini yaitu dengan menunggu hasil audit BPK terhadap aset Bank Century.

Berdasarkan audit tersebut bisa diputuskan apakah kasus ini bisa diusut tuntas. Penyelesaian politik melalui hak angket sebenarnya tidak bisa diharapkan karena bisa berujung pada deal antarpolitikus di lembaga legislatif. Maka, harapannya adalah penyelesaian hukum. Masalahnya aparat hukum di negara ini sedang dalam kondisi kehilangan kepercayaan publik sehingga kemampuan dan kemauan mereka diragukan.

Hal yang paling memungkinkan untuk menjadi akhir dari kasus Bank Century adalah dana bailout tidak kembali, atau jika kembali maka jumlahnya pasti tidak utuh Rp 6,7 triliun karena nilai aset yang dijaminkan rendah. Dalam sebuah diskusi dengan seorang pengamat politik terkemuka di Indonesia, penulis dikejutkan dengan pertanyaan dia, mengapa setiap menjelang Pemilu ada bank yang dibobol?

Menjelang Pemilu 2004, BNI dibobol dan hasilnya Komjen Pol Suyitno Landung dihukum, menjelang Pemilu 2008, giliran Bank Century yang dibobol dan Kabareskrim Polri Komjen Pol Susno Duadji harus dinonaktifkan. Apakah keduanya berhubungan? Penulis tidak berani berspekulasi dengan sebuah teori konspirasi.

Anton A Setyawan, Dosen FE & Program Pascasarjana UMS


Gagasan Solo Pos-Selasa 17 November 2009