17 November 2009

» Home » Kompas » Berkaca pada KPK Hongkong

Berkaca pada KPK Hongkong

Pada tahun 1970-an, korupsi menjadi masalah krusial di Hongkong. Mengakarnya budaya korupsi membuat sopir ambulans enggan membawa pasien kritis sekalipun tanpa mendapatkan ”uang teh”.
Tradisi ”uang pelicin” juga mengakar di tubuh kepolisian. Bahkan, saat itu mafia Triad seolah menjadi pengendali institusi kepolisian karena hampir semua polisi bisa dibeli. Puncaknya, Kepala Kepolisian Hongkong Peter Godber dinyatakan terlibat. Godber menyembunyikan 4,3 juta dollar Hongkong dan 600.000 dollar AS di rekeningnya di luar negeri. Godber lalu memanfaatkan statusnya sebagai polisi, kabur meninggalkan Hongkong, bersembunyi di London.


Kasus Godber memicu kemarahan masyarakat Hongkong. Lebih dari 1 juta orang turun ke jalan menuntut pembentukan komisi antikorupsi. Desakan ini mendorong lahirnya ICAC (Independent Commission Against Corruption), 15 Februari 1974.
Awalnya banyak kalangan meragukan keberhasilan komisi ini dalam memberantas korupsi. Bahkan, tak sedikit yang menyebutnya tak mungkin dilakukan. Namun, komisi ini menunjukkan tajinya melalui keberhasilan menyeret Godber kembali ke Hongkong dan mengadilinya.
Bukan hanya ”menyapu” pucuk pimpinan, komisi juga tak segan-segan melibas polisi di tingkat bawah. Padahal, institusi kepolisian sendiri menempatkan ratusan personel dalam ICAC.
Gebrakan komisi itu membuat polisi di Hongkong marah. Puncaknya, tiga tahun setelah ICAC berdiri, sejumlah polisi menyerbu kantor ICAC, melemparinya dengan batu. Inilah kerusuhan massal yang dipicu upaya pemberantasan korupsi.
Kerusuhan berhasil diredam setelah ICAC mengumumkan amnesti bagi korupsi skala kecil yang dilakukan sebelum 1977. Meski demikian, ICAC tetap menjerat beberapa unsur pimpinan teras Kepolisian Hongkong sebagai tersangka korupsi. Selain itu, 119 polisi Hongkong, termasuk seorang petugas Bea dan Cukai, diadili dan 24 polisi dikenai tuduhan konspirasi. Ratusan aparat pemerintahan yang korup juga dilaporkan diringkus.
Korupsi turun
Sejak itu, korupsi di tubuh polisi turun hingga 70 persen. Dari 1.443 laporan pada 1974, menjadi 446 laporan pada 2007. Hongkong menjelma menjadi negara terbersih kedua di Asia berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (CPI). ICAC terus beroperasi hingga kini. Bahkan, pemerintahnya menggunakan slogan ”The Competitive Advantage of Hong Kong is the ICAC” untuk menarik minat investor asing agar menanam modalnya di Hongkong. Investor pun berduyun-duyun menanamkan uang di negara bekas jajahan Inggris ini. Kini di Hongkong berdiri tak kurang dari 7.500 gedung pencakar langit yang membuat negara itu dikenal sebagai kota ”terjangkung” di dunia.
Menurut Tony Kwok Man-wai, mantan Kepala Operasi ICAC, keberhasilan komisi tidak lepas dari dukungan politik yang kuat dari pemerintah. ICAC diposisikan sebagai lembaga yang langsung bertanggung jawab terhadap pemimpin pemerintahan tertinggi dan menjadi lembaga yang benar-benar independen. Hal itu meyakinkan ICAC bebas dari campur tangan dalam melakukan penyelidikan.
Dukungan politik yang kuat juga diartikan sebagai dukungan finansial. ICAC mungkin merupakan badan antikorupsi paling mahal di dunia. Pada tahun 2002, ICAC ”menghabiskan biaya” 90 juta dollar AS. Meski terlihat besar, jika dibandingkan dengan anggaran belanja Hongkong, nilainya tak lebih dari 0,3 persen. Nilai itu amat kecil jika dibandingkan dengan hasil yang didapat, yakni masyarakat bersih dari korupsi yang berimbas pada derasnya arus investasi ke Hongkong.
Empat pilar
Mr Ambrose Lee Siu-kwong, Komisioner ICAC, mengatakan, ada empat pilar keberhasilan Hongkong dalam perang melawan korusi. Pertama, komitmen pemerintah untuk memberantas korupsi. Kedua, ICAC beroperasi secara independen. Ketiga, ICAC memiliki tim yang bekerja profesional. Keempat, dukungan kuat komunitas dalam pemberantasan korupsi.
Atas pengalaman Hongkong, apa yang kini dialami Indonesia, kurang lebih serupa. Jika akhirnya Hongkong berhasil mengatasi konflik yang melibatkan aparatur penegak hukum, sudah saatnya Indonesia belajar dari pengalaman itu dan memberi ruang bagi KPK untuk membuktikan dirinya.
Didi Irawadi Syamsuddin, Anggota Komisi III DPR
Opini KOMPAS-Selasa 17 November 2009