17 November 2009

» Home » Kompas » Pilihan Hukum untuk SBY

Pilihan Hukum untuk SBY

Hari Senin (16/11), Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum atas Kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah (Tim 8) menyelesaikan mandatnya.
Rekomendasi final itu khusus untuk Presiden. Namun, sudah banyak hal yang diungkap Tim 8 berikut analisis tambahan yang dapat menuntun kita untuk menarik kesimpulan tentang kasus ini.

Empat opsi
Secara hukum, ada empat jalan keluar. Pertama, apabila perkara masih ditangani kepolisian, kepolisian dapat mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
Kedua, kalau perkara sudah dilimpahkan ke kejaksaan, kejaksaan dapat mengeluarkan surat keputusan penghentian penuntutan (SKPP) ”demi hukum” berdasarkan Pasal 140 Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1981 (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana/KUHAP).
Ketiga, pengesampingan perkara oleh Jaksa Agung demi kepentingan umum. Pengesampingan perkara ini dikenal dengan nama deponeering. Dasarnya adalah Pasal 35 Huruf (c) UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.
Keempat, Presiden dengan pertimbangan DPR bisa memberikan abolisi atau penghentian penuntutan berdasarkan Pasal 14 Ayat (2) UUD 1945. Penting untuk dicatat, abolisi berdasarkan UUD pasca-amandemen ini pernah dilakukan SBY dengan mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2005 tentang Pemberian Amnesti Umum dan Abolisi kepada Setiap Orang yang Terlibat dalam Gerakan Aceh Merdeka.
Opsi kedua, ketiga, dan keempat pernah dibahas ketika kasus mantan Presiden Soeharto sedang ditangani kejaksaan pada 2006. Ketika itu, SKPP dikeluarkan oleh kejaksaan. Dikatakan, meski biasanya dikeluarkan bila tersangka atau terdakwa sudah meninggal dunia, dalam kasus Soeharto SKPP dikeluarkan karena sakitnya dianggap sudah tidak bisa disembuhkan lagi. Sedangkan abolisi tidak dipilih karena nilai politisnya amat besar. Ditambah lagi, menurut kejaksaan, deponeering lebih luas menyangkut kepentingan umum yang waktu itu sulit ditunjukkan.
Jalan tengah
Dalam kasus Bibit-Chandra kali ini, idealnya SP3 atau SKPP yang dikeluarkan. Sebab, berdasarkan rekomendasi sementara Tim 8, Bibit dan Chandra sebenarnya tidak mempunyai kasus hukum apa pun. Sementara mengeluarkan deponeering atau abolisi berarti mengakui adanya pelanggaran hukum.
Namun, agaknya SKPP atau SP3 sulit dipilih karena ada wibawa institusi yang ingin dipelihara kepolisian dan kejaksaan. Hal ini terlihat dari gelagat dua lembaga ini yang pagi-pagi sudah mengatakan mereka tidak bisa diintervensi.
Sementara itu, melihat ”drama” di DPR belakangan ini, abolisi juga bukan pilihan terbaik. Lagi pula, bila SBY memilih opsi abolisi, ia akan tampak seperti ”mencuci tangan” dalam kasus ini.
Karena itu, jalan tengahnya adalah agar SBY mendorong Jaksa Agung untuk melakukan deponeering. Di sini, ada dua aspek kepentingan umum yang jelas terlihat.
Pertama, apabila kasus ini dilanjutkan, friksi di antara aparat penegak hukum akan semakin besar. Akibatnya, penegakan hukum secara umum terhambat dan proses reformasi penegakan hukum akan jalan di tempat. Padahal, justru kebutuhan reformasi institusi penegak hukum semakin nyata.
Kedua, untuk mengembalikan stabilitas politik dan hukum yang sedang guncang beberapa minggu belakangan ini.
Bila SBY menindaklanjuti rekomendasi Tim 8 dengan meminta Jaksa Agung melakukan deponeering, apakah ini artinya SBY mengintervensi penegakan hukum? Dalam cara pandang hukum formal yang sempit, deponeering bisa dilihat sebagai intervensi. Namun, kita harus mendekati polemik ini dari aspek keadilan substansial, yang tidak hanya bisa diukur dari besarnya gelombang dukungan publik di jalan-jalan maupun di dunia maya, tetapi juga dengan adanya proses verifikasi yang sudah dilakukan oleh Tim 8. Apalagi, frase ”demi kepentingan umum” dalam undang-undang juga membuat aspek keadilan yang substansial menjadi alasan yang sah secara formal.
Politik hukum yang mahal
Harga politik hukum yang harus dibayar oleh bangsa ini sudah teramat mahal. Kita bisa menghitung, sudah empat produk hukum yang dikeluarkan Presiden untuk menjaga citranya tanpa mau mengambil tindakan tegas. Tiga produk hukum untuk pimpinan, sementara KPK berupa satu peraturan pemerintah pengganti undang-undang dan dua keppres masing-masing untuk menunjuk Tim 5 yang memilih pimpinan sementara KPK serta untuk mengangkat pimpinan sementara KPK. Ditambah satu keppres untuk menunjuk Tim 8.
Keempatnya bukan sekadar kumpulan teks, tetapi langkah hukum yang mempunyai biaya ekonomi dan politik, di antaranya kebingungan di kalangan masyarakat, berbagai demonstrasi, dan kontroversi seputar sidang Komisi III DPR. Bahkan, semuanya berujung pada semakin tidak percayanya publik terhadap pemerintah dan wakil rakyat.
Opsi mana pun yang dipilih, inilah saatnya SBY mengambil tindakan tegas. Jika pada titik ini SBY tidak juga mengambil langkah konkret, bisa jadi ada harga lebih mahal yang harus dibayar: gerakan untuk menjatuhkan pemerintahan ini.
BIVITRI SUSANTI, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia; Kandidat PhD pada University of Washington School of Law, Seattle, AS
Opini KOMPAS 18 November 2009