17 November 2009

» Home » Kompas » Polisi dan Mafia Hukum

Polisi dan Mafia Hukum

Publik kembali menyorot tajam Polri. Saking kerasnya, Kapolri menyatakan, citra polisi sedang diuji publik.
Sorotan tajam merupakan sesuatu yang alami bagi kepolisian. Mengapa? Karena polisi adalah birokrasi penegakan hukum yang ada langsung di tengah masyarakat (Prof Dr Satjipto Rahardjo, Polisi Sipil dalam Perubahan Sosial di Indonesia). Polisilah yang hari demi hari berurusan langsung dengan aktivitas pembersihan ”kotoran” masyarakat. Konsekuensinya, tugas polisi selalu mengandung dua hal. Kadar sensitivitas yang tinggi dan titik persinggungan yang luas dengan publik.

Tiap negara
Sorotan tajam publik yang menuding adanya mafia hukum di tubuh Polri sebenarnya tidak perlu membuat tipis telinga. Karena hampir setiap negara maju dan berkembang pernah terlibat dalam kontroversi pemberantasan mafia hukum. Australia, misalnya, tidak luput dari persoalan yang satu ini. Begitu akutnya belitan mafia hukum di tubuh kepolisian hingga akhirnya parlemen Australia tahun 1994 membentuk komisi investigatif reformasi kepolisian di New South Wales. Komisi yang diketuai seorang hakim senior, James Roland Thomson Wood, bertugas membongkar dan memberi rekomendasi solusi bagi maraknya praktik mafia hukum di tubuh kepolisian New South Wales. Kehadiran komisi investigatif diperlukan karena perilaku menyimpang itu ditengarai melibatkan para detektif senior dan perwira tinggi kepolisian.
Komisi yang lalu dikenal dengan nama Komisi Wood (Wood Commission) mampu merampungkan tugasnya setelah bekerja hampir tiga tahun (Janet Chan and David Nixon, The Politics of Police Reform, Criminology and Criminal Justice Journal, 2007).
Pintu keberhasilan mulai terbuka saat Wood pada Juni 1995 merekrut Trevor Haken, detektif senior yang bertobat sekaligus bersedia membelot dan menjadi informan bagi Komisi Wood. Trevor yang telah dibekali alat penyadap canggih diperintahkan Wood untuk menyusup dan beraktivitas seperti biasa dalam jaringan mafia hukum. Hasilnya amat mencengangkan.
Rekaman video dan audio menyuguhkan data masif adanya kegiatan mafia hukum yang sistematis dan mengakar dalam tubuh kepolisian New South Wales. Dimensi pelanggaran yang terjadi amat luas. Kegiatan mafia hukum dimulai dari penyalahgunaan kekuasaan, pemerasan, perlindungan terhadap jual beli narkoba, permintaan uang untuk melindungi bisnis judi dan pelacuran, penyuapan untuk menggagalkan proses penyidikan yang sedang berlangsung, fabrikasi berita acara pemeriksaan, penyuapan massal, bahkan rencana pembunuhan bagi siapa pun yang berkhianat.
Identik dengan yang telah dilakukan Mahkamah Konstitusi, Komisi Wood juga membeberkan temuan secara terbuka ke depan publik. Bisa dibayangkan apa yang terjadi saat rekaman pembicaraan dan video hasil penyadapan ditayangkan ke publik. Kemarahan dan ketidakpuasan publik atas lembaga kepolisian menyebar cepat. Kemarahan itu pula yang diakumulasi menjadi modal dasar pemicu reformasi besar-besaran di tubuh kepolisian New South Wales. Belajar dari sepak terjang komisi Wood, umumnya penggiat reformasi sektor keamanan mensyaratkan perlunya pembentukan tekanan opini publik agar mafia hukum dapat diberantas dari tubuh institusi penegak hukum. Hal ini tepat, tetapi tidak utuh.
Dua langkah strategis
Perlawanan terhadap mafia hukum tidak akan utuh bila tidak dilengkapi dua langkah utama.
Pertama, penguatan institusi penegakan hukum. Hal ini perlu dilakukan agar tekanan opini bertubi-tubi tidak mengarah pada demoralisasi. Tekanan publik perlu dilakukan agar ada pemicu perubahan yang sistematik. Namun, tekanan tanpa langkah penguatan institusi akan menghasilkan demoralisasi yang berujung pada pelemahan lembaga.
Cara utama penguatan lembaga yang harus dilakukan ialah penguatan mekanisme koreksi internal. Komisi Wood, misalnya, menekankan urgensi transparansi dan monitoring dalam setiap proses investigasi internal atas dugaan penyelewengan yang dilakukan oknum petugas.
Di tubuh Polri, Divisi Propam (Pertanggungjawaban Profesi dan Pengamanan Internal) yang dikomandani seorang Irjen harus menjadi ujung tombak pembersihan aktivitas mafia hukum di tubuh kepolisian. Propam harus mampu membuktikan bahwa mekanisme investigasi internal justru tidak menjadi mekanisme perlindungan atau cuci badan bagi para oknum atas nama kesetiakawanan korps. Ini berarti, mekanisme penindakan internal yang dijalankan Divisi Propam tidak boleh pandang bulu. Seberapa pun tinggi pangkat sang oknum, bila ada indikasi kuat terlibat praktik mafia hukum, mekanisme investigasi internal harus dilakukan dan dibuka seluas-luasnya.
Pengadilan
Kedua, yang sering luput dari perhatian, rekomendasi Komisi Wood tidak berhenti pada sensasi opini publik. Ini penting karena kebenaran tidak ditemukan melalui mekanisme penggiringan opini. Pengadilanlah satu-satunya lembaga tempat menyelesaikan seluruh persoalan pidana dan pembukaan kebenaran.
Seluruh oknum yang diduga terlibat harus diajukan ke pengadilan. Ini berarti demi keadilan, tidak boleh ada proses yang dihentikan karena tekanan publik dan politik. Siapa pun oknum yang diduga melakukan tindak pidana harus diproses sesuai hukum. Dalam konteks kekinian, tidak peduli apakah berasal KPK, kepolisian, maupun kejaksaan, tiap oknum petugas hukum yang diduga terlibat dalam pelanggaran hukum harus diproses dalam pengadilan.
Ini menjadi penting agar masyarakat tidak berpaling pada solusi extra judicial yang justru akan mengacaukan mekanisme penegakan hukum. Kedua langkah itu mutlak diperlukan agar hiruk pikuk akhir-akhir ini memiliki penyelesaian yang jelas.
Rico Marbun, Pengajar Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian
Opini KOMPAS 18 November 2009