17 November 2009

» Home » Media Indonesia » Bongkar Mafia Peradilan

Bongkar Mafia Peradilan

Indonesia kembali diguncang dugaan 'mafia peradilan'. Jika pada 2005 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor hakim di Mahkamah Agung (MA) terkait dengan dugaan suap Rp5 miliar dari Probosutedjo, kini Anggodo Widjojo mengaku telah menggelontorkan uang Rp6 miliar ke berbagai pihak terutama pimpinan KPK.


Markas Besar (Mabes) Polri menetapkan dua pemimpin KPK--Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah--sebagai tersangka pemerasan dan penyalahgunaan wewenang yang telah dilimpahkan kepada Kejaksaan Agung (Kejagung). Tapi, protes publik mencuat ketika kedua pemimpin KPK ditahan karena pembela mereka menuduh Mabes Polri merekayasa kasus kriminal.

Tangan-tangan mafia
Tuduhan rekayasa kriminal itu telah membangkitkan kecaman dan tekanan publik yang hebat terhadap Mabes Polri dan Kejagung. Persoalannya Mabes Polri belum dapat menjelaskan atau klarifikasi sampainya dana serta alibi keberadaan Bibit dan Chandra saat penyerahan uang. Itu disebabkan Ari Muladi mengaku bahwa ia bukan rantai terakhir yang berhubungan dengan pihak KPK.

Rekaman percakapan antara Anggodo Widjojo-–yang disebut-sebut sebagai bagian dari kelompok Surabaya–-dan sejumlah pejabat Kejagung serta Mabes Polri diperdengarkan dalam sidang Mahkamah Konstitusi pada 3 November lalu.

Rekaman itu memperkuat dugaan 'mafia peradilan' yang beroperasi di kedua lembaga penegak hukum itu. Sementara itu, Mabes Polri belum menunjukkan adanya rekaman sebaliknya mengenai adakah mafia yang sama di seputar KPK. Mabes Polri hanya mengemukakan perihal beberapa petunjuk.

Untuk meredam gejolak publik yang sudah muak terhadap busuknya perilaku aparat penegak hukum itu, Presiden Yudhoyono membentuk Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum atas Kasus Pimpinan nonaktif KPK atau lebih populer dengan sebutan Tim 8 kendati dipertanyakan independensi dan kewenangannya.
Setelah bertugas selama sepekan, Tim 8 menyampaikan hasil verifikasi berupa kesimpulan sementara. Kesimpulan ini memang agak meredakan gonjang-ganjing mengenai 'mafia peradilan'. Sebelumnya Presiden juga telah mengakomodasikan isu program 100 hari untuk memberantas mafia hukum.

Tapi belum lagi kehebohan itu berlalu, pada 10 November lalu kita kembali dipertontonkan busuknya perilaku penegak hukum berdasar kesaksian mantan Kepala Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan Kombes Wiliardi Wizard sebagai saksi mahkota di PN Jakarta Selatan dalam perkara pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, Direktur PT Putra Rajawali Banjaran.

Kesaksian itu mengungkapkan berita acara pemeriksaan (BAP) pertama adalah hasil suatu rekayasa penyidik Reserse Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya yang justru digunakan untuk menjerat atau menjebloskan mantan Ketua KPK Antasari Azhar atas dakwaan yang berat: pembunuhan.

Dua kasus itu menunjukkan bagaimana sistem peradilan pidana di Indonesia telah dilumuri oleh tangan-tangan mafia peradilan. Ia bersumber dalam aparat penegak hukum dan pengadilan. Mereka memeras atau menerima suap dari tersangka atau terdakwa, berperilaku sewenang-wenang, serta membentuk pengelompokan dengan melibatkan makelar kasus (markus) dan advokat.

Bongkar
Dengan beroperasinya tangan-tangan mafia peradilan dalam tubuh aparat penegak hukum dan pengadilan, etika profesi hukum mereka pun rontok. Mereka mengesampingkan sikap dan nilai-nilai profesional, kepatutan, serta lebih parah lagi melawan hukum seperti korupsi, pemerasan, dan suap.

Buruknya hubungan Mabes Polri dan Kejagung di satu pihak dengan KPK di pihak lain–-sebagaimana kita saksikan dalam dua bulan terakhir-–telah meledak dalam perang urat saraf yang meluas dan membongkar borok di tubuh tiap lembaga penegak hukum itu.

Pentas 'baku hantam' antarpimpinan lembaga serta rangkaian pertengkaran yang mengesampingkan akal sehat itu demi ambisi atau memupuk kekayaan pribadi sangat memprihatinkan. Beberapa kalangan sempat mengeluarkan anekdot, 'para koruptor pun tertawa' atau 'menari-nari di atas rontoknya kewibawaan para penegak hukum di mata publik'.

Dalam periode kedua pemerintahan Yudhoyono inilah 'mafia peradilan' menampakkan belangnya yang terkesan begitu perkasa seperti tak tersentuh (untouchable). Mereka juga sudah tak memiliki rasa malu lagi dengan mempertontonkan ekspresi bantah-bantahan, sumpah-sumpahan, dan berbagai adegan konyol lainnya di muka umum.

Mafia peradilan telah menjadi kebiasaan dalam tubuh penegak hukum dan pengadilan sejak rezim Orde Baru. Jaringan mafia itu justru berada dalam tubuh aparat penegak hukum dan pengadilan, bukan berasal dari suatu organisasi kriminal dan bisnis ilegal seperti mafia di AS, Triad di Hong Kong, atau Yakuza di Jepang.

Dengan rangkaian kejadian yang memalukan itu, sudah seharusnya pemerintah mengambil langkah berani dan meyakinkan untuk membongkar jaringan 'mafia peradilan' yang kuat tertanam di tubuh aparat penegak hukum, khususnya kepolisian dan kejaksaan.

Pemerintah perlu memperkuat Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Komisi Kejaksaan agar dapat berperan atau berfungsi lebih efektif baik menerima pengaduan maupun berinisiatif melakukan pendokumentasian dan riset mengenai perilaku petugas penegak hukumnya.

Selain itu, DPR--agar seiring dengan prioritas program 100 hari pemerintah dalam memberantas mafia hukum--juga perlu memprioritaskan pengawasannya terhadap perilaku aparat penegak hukum termasuk KPK sebagaimana yang telah ditunjukkan Komisi III dalam sepekan belakangan.

Begitu juga dengan partisipasi berbagai elemen masyarakat, sangat penting untuk ikut dalam membangun jaringan pengawasan terhadap perilaku penegak hukum. Tanpa kontrol sosial seperti ini kiranya jaringan 'mafia peradilan' atau mafia hukum hanya berada di lingkaran kekuasaan negara (the cycle of state power).


Oleh Hendardi, Ketua Badan Pengurus Setara Institute

Opini Media Indonesia 18 November 2009