TANPA terasa kita telah meninggalkan dasa warsa pertama milineum ketiga. Gerak maju sang waktu ternyata masih menyisakan ketidakpastian. Uncertainty still happens. Mari kita tengok kembali apa berlangsung di negeri tercinta ini selama 1-2 tahun terakhir. Ingatan kolektif kita nyaris sepenuhnya diisi oleh rentetan bencana, baik bencana moral maupun bencana alam.
Indonesia dalam ingatan kolektif warganya adalah negeri dengan wajah penuh goresan kesedihan dan keculasan. Harus diakui, meskipun dengan sedih, berita dan liputan media berhasil membentuk wacana publik yang sarat kepedihan. Manifestasi pameo a bad news is a good news tak terelakkan lagi, dan kita harus rela menerimanya karena wajah media adalah bayangan cermin masyarakatnya.
Untuk menyebut beberapa, negeri ini telah dihantam oleh serentetan bencana moral. Perpaduan antara bencana moral tadi dan sejumlah bencana alam yang dahsyat benar-benar tidak memberi celah bagi menyeruaknya kabar baik.
Dihantam gelombang kabar buruk ternyata tidak menyurutkan langkah masyarakat untuk terus menggulirkan kehidupan. Life goes on. Apakah ini wujud resiliensi manusia Indonesia? Atau masyarakat justru sudah jenuh dan akhirnya masa bodoh menyikapi rentetan kabar buruk itu.
Terlepas dari itu semua, kita masih patut bersyukur bahwa bela-rasa, solidaritas, kesetiakawanan masih selalu lahir spontan ketika menyikapi bencana alam. Yang menjadi tantangan adalah bagaimana menghimpun kekuatan bela-rasa, solidaritas, dan kesetiakawanan, bukan hanya saat didera bencana alam, menjadi sebuah kekuatan besar untuk mengubah wajah negeri ini. Siapa yang harus mengambil prakarsa?
Dalam pandangan saya, universitas (civitas academica) wajib menjadi salah satu penggeraknya. Universitas harus tampil di depan sebagai pembawa kabar baik.
Nilai penting universitas dalam sebuah masyarakat sama sekali bukan karena muridnya disebut sebagai mahasiswa atau sebagian gurunya disebut sebagai mahaguru melainkan karena kemampuannya menyampaikan kabar baik kepada masyarakat. Universitas harus mampu senantiasa membaca tanda-tanda zaman dan mengabarkannya kepada masyarakat. Inilah kabar baik yang diharapkan dari kehadiran universitas di tengah masyarakat yang melahirkannya.
Pemicu Krisis
Terima kasih pada Suara Merdeka yang menyediakan halaman untuk warga universitas berwacana tentang apa yang tengah terjadi di dunia nyata masyarakat.
Terlebih dari itu, tulisan opini mahasiswa dan dosen yang mengkritik hal-hal yang patut dikoreksi di negeri ini adalah juga kabar baik. Tugas komunitas intelektual, terutama intelektual kampus, adalah memotret keadaan masyarakatnya dan mengusulkan bagaimana memperindah potret itu.
Tersedianya halaman khusus ‘’Edukasia’’ juga menjadi lahan persemaian kabar baik tentang perkembangan dan kemajuan universitas. Jangan-jangan, hanya halaman inilah yang menampilkan berita membesarkan hati, seperti keberhasilan penelitian, dosen dan mahasiswa berprestasi, peran serta universitas kita di aras global —untuk menyebut beberapa. Meskipun belum berjaya secara mondial, universitas-universitas kita masih senantiasa mampu menyampaikan kabar baik bagi masyarakat.
Dalam menghadapi arus kuat globalisasi dan gairah kebendaan yang luar biasa dahsyat saat ini, universitas mau tidak mau harus berada di garda depan. Universitaslah lahan persemaian para pemimpin masyarakat yang nantinya diharapkan mampu mengarungi arus deras globalisasi dan meredam gairah kebendaan itu. Tetapi suka tidak suka sangat boleh jadi seluruh pelaku atau pemicu krisis kemasyarakatan adalah produk universitas juga.
Meminjam ungkapan Albert Enstein, memang biang keladi semua krisis adalah pikiran manusia sendiri. ‘’The world we have created is the product of our thinking. It cannot be changed without changing our thinking,’’ tulis Albert Einstein. Mengubah wajah dunia yang buram ini hanya dmulai dari perubahan pemikiran. Di dalam pemikiran tentu saja melekat nilai dan etika.
Dalam hal ini universitas adalah salah satu dapur pemikiran terpenting dalam masyarakat. Dengan kata lain, mandat universitas adalah membentuk dan mengasah pemikiran dosen, mahasiswa, dan alumninya (civitas academica) agar senantiasa memihak, berpikir, dan bertindak demi kemaslahatan dan masyarakat sekitarnya. (10)
— Prof Dr Budi Widianarko, Rektor Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang
Indonesia dalam ingatan kolektif warganya adalah negeri dengan wajah penuh goresan kesedihan dan keculasan. Harus diakui, meskipun dengan sedih, berita dan liputan media berhasil membentuk wacana publik yang sarat kepedihan. Manifestasi pameo a bad news is a good news tak terelakkan lagi, dan kita harus rela menerimanya karena wajah media adalah bayangan cermin masyarakatnya.
Untuk menyebut beberapa, negeri ini telah dihantam oleh serentetan bencana moral. Perpaduan antara bencana moral tadi dan sejumlah bencana alam yang dahsyat benar-benar tidak memberi celah bagi menyeruaknya kabar baik.
Dihantam gelombang kabar buruk ternyata tidak menyurutkan langkah masyarakat untuk terus menggulirkan kehidupan. Life goes on. Apakah ini wujud resiliensi manusia Indonesia? Atau masyarakat justru sudah jenuh dan akhirnya masa bodoh menyikapi rentetan kabar buruk itu.
Terlepas dari itu semua, kita masih patut bersyukur bahwa bela-rasa, solidaritas, kesetiakawanan masih selalu lahir spontan ketika menyikapi bencana alam. Yang menjadi tantangan adalah bagaimana menghimpun kekuatan bela-rasa, solidaritas, dan kesetiakawanan, bukan hanya saat didera bencana alam, menjadi sebuah kekuatan besar untuk mengubah wajah negeri ini. Siapa yang harus mengambil prakarsa?
Dalam pandangan saya, universitas (civitas academica) wajib menjadi salah satu penggeraknya. Universitas harus tampil di depan sebagai pembawa kabar baik.
Nilai penting universitas dalam sebuah masyarakat sama sekali bukan karena muridnya disebut sebagai mahasiswa atau sebagian gurunya disebut sebagai mahaguru melainkan karena kemampuannya menyampaikan kabar baik kepada masyarakat. Universitas harus mampu senantiasa membaca tanda-tanda zaman dan mengabarkannya kepada masyarakat. Inilah kabar baik yang diharapkan dari kehadiran universitas di tengah masyarakat yang melahirkannya.
Pemicu Krisis
Terima kasih pada Suara Merdeka yang menyediakan halaman untuk warga universitas berwacana tentang apa yang tengah terjadi di dunia nyata masyarakat.
Terlebih dari itu, tulisan opini mahasiswa dan dosen yang mengkritik hal-hal yang patut dikoreksi di negeri ini adalah juga kabar baik. Tugas komunitas intelektual, terutama intelektual kampus, adalah memotret keadaan masyarakatnya dan mengusulkan bagaimana memperindah potret itu.
Tersedianya halaman khusus ‘’Edukasia’’ juga menjadi lahan persemaian kabar baik tentang perkembangan dan kemajuan universitas. Jangan-jangan, hanya halaman inilah yang menampilkan berita membesarkan hati, seperti keberhasilan penelitian, dosen dan mahasiswa berprestasi, peran serta universitas kita di aras global —untuk menyebut beberapa. Meskipun belum berjaya secara mondial, universitas-universitas kita masih senantiasa mampu menyampaikan kabar baik bagi masyarakat.
Dalam menghadapi arus kuat globalisasi dan gairah kebendaan yang luar biasa dahsyat saat ini, universitas mau tidak mau harus berada di garda depan. Universitaslah lahan persemaian para pemimpin masyarakat yang nantinya diharapkan mampu mengarungi arus deras globalisasi dan meredam gairah kebendaan itu. Tetapi suka tidak suka sangat boleh jadi seluruh pelaku atau pemicu krisis kemasyarakatan adalah produk universitas juga.
Meminjam ungkapan Albert Enstein, memang biang keladi semua krisis adalah pikiran manusia sendiri. ‘’The world we have created is the product of our thinking. It cannot be changed without changing our thinking,’’ tulis Albert Einstein. Mengubah wajah dunia yang buram ini hanya dmulai dari perubahan pemikiran. Di dalam pemikiran tentu saja melekat nilai dan etika.
Dalam hal ini universitas adalah salah satu dapur pemikiran terpenting dalam masyarakat. Dengan kata lain, mandat universitas adalah membentuk dan mengasah pemikiran dosen, mahasiswa, dan alumninya (civitas academica) agar senantiasa memihak, berpikir, dan bertindak demi kemaslahatan dan masyarakat sekitarnya. (10)
— Prof Dr Budi Widianarko, Rektor Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang
Wacana Suara Merdeka 16 Desember 2011