WALI KOTA Semarang kembali membuat gebrakan dengan mencanangkan kegiatan Resik-resik Kali (membersihkan sungai-Red) mulai saluran Pasar Dargo, dan seminggu kemudian diteruskan di Bubakan. Program yang digagas bersama Suara Merdeka dan beberapa mitra kerja, serta didukung berbagai elemen masyarakat itu layak diapresiasi.
Sampah di saluran, sungai, dan drainase merupakan persoalan pelik kota. Pertama; mengurangi daya tampung sungai, dan bahkan menjadi penghambat aliran air sehingga memicu banjir. Kedua; sampah yang kotor dan berbau menjadi sumber berbagai penyakit. Karena itu membersihkan sungai sesungguhnya menjadi keharusan secara rutin.
Gerakan Resik-resik Kali mengingatkan peristiwa besar di Amerika Serikat awal 1970-an ketika penduduk Negeri Paman Sam merasa gerah dengan kondisi lingkungan yang makin buruk. Hal itu mendorong masyarakat turun ke jalan membersihkan sampah di saluran dan jalan-jalan permukiman.
Kegiatan itu melahirkan kesadaran kolektif yang mampu menjadi gerakan sosial menyelamatkan lingkungan. Sampai sekarang gerakan itu diperingati sebagai Hari Bumi. Tidak mengherankan kalau community pressure (tekanan masyarakat) di Amerika itu menjadi kekuatan terwujudnya lingkungan yang baik dan bersih.
Akankah Resik-resik Kali di Semarang menjadi kekuatan besar? Pada kasus di Semarang memang bukan tumbuh spontan dari bawah melainkan dari atas dengan kekuatan birokrasi menggerakkan elemen di bawahnya, mulai SKPD, camat, lurah, RW, RT, hingga instansi terkait lainnya seperti jajaran Kodim. Inisiatif ini tetap membawa manfaat.
Pertama; mengingatkan kepada semua pihak tentang kondisi lingkungan yang makin buruk. Kedua; menjadi pemicu untuk ditindaklanjuti menjadi kegiatan rutin oleh masyarakat dan pihak terkait. Sejauh mana kegiatan pencanangan itu menjadi gerakan sosial, sangat bergantung pada kemampuan di tingkat RT memelihara momentum menggerakan masyarakat.
Dengan kata lain bagaimana mengubah ’’ritual’’ membersihkan sungai menjadi kultural (kebiasaan) yang dilakukan rutin. Pengalaman Singapura menunjukkan bahwa pendekatan dari atas, bahkan dalam bentuk aturan ketat, bisa menumbuhkan kultur disiplin. Semboyan menjadi Negara Taman (Park Country) ternyata bisa diwujudkan dan dinikmati masyarakatnya, bahkan menjadi daya tarik wisatawan mancanegara.
Memang tidak mudah mengubah perintah menjadi kebiasaan. Dalam pandangan sebagian besar orang, kali, saluran, atau drainase adalah tempat pembuangan. Sungai ibarat mal karena semua benda bisa kita temukan, mulai kantung plastik, kaus kaki, baju, kaleng, mainan, meja, kasur, sayur dan sebagainya.
Memilah Sampah
Orang tidak peduli biaya publik (public cost) yang muncul karena perilakunya yang memicu terjadinya banjir dan sumber penyakit. Menumpuknya sampah di sungai juga menjadi indikasi bahwa perda larangan membuang sampah di sembarang tempat hanyalah macan kertas yang tidak pernah diimplementasikan.
Untuk menjual ide Resik-resik Kali perlu terus dikampanyekan tentang konsekuensi membuang sampah di sungai, selain perlu pendekatan insentif dan disinsentif. Kelompok masyarakat yang berhasil membersihkan sungai selayaknya mendapatkan insentif, bisa bantuan alat-alat kebersihan, dan perlu diumumkan kepada publik melalui media massa. Bagi komunitas yang lingkungan sungainya buruk, juga perlu diumumkan untuk menumbuhkan budaya malu, yang kemudian mendorong berbuat lebih baik.
Program Pemkot itu harus dibarengi dengan tindakan proaktif masyarakat mulai hulu, tengah sampai hilir melalui program 3 R, yakni reduce (mengurangi), reuse (menggunakan kembali), dan recycle atau mendaur ulang. Demikian juga mendaur ulang sampah dengan memilah sampah organik menjadi kompos, dan sampah anorganik menjadi berbagai macam barang berguna, seperti tas dan suvenir dari bekas bungkus makanan kecil atau bekas sachet deterjen.
Gerakan 3 R yang dilakukan warga Sampangan dan Jomblang mampu mengurangi volume sampah yang dibuang ke TPS sampai 30%. Karena itu, gerakan Resik-resik Kali sudah selayaknya diintegrasikan dengan program pengolahan sampah. Daur ulang juga bisa dilakukan di pasar-pasar dengan mengolah sampah organik pasar menjadi kompos sebagaimana dilakukan di Sragen. (10)
— Sudharto P Hadi, dosen Manajemen Lingkungan Universitas Diponegoro
Sampah di saluran, sungai, dan drainase merupakan persoalan pelik kota. Pertama; mengurangi daya tampung sungai, dan bahkan menjadi penghambat aliran air sehingga memicu banjir. Kedua; sampah yang kotor dan berbau menjadi sumber berbagai penyakit. Karena itu membersihkan sungai sesungguhnya menjadi keharusan secara rutin.
Gerakan Resik-resik Kali mengingatkan peristiwa besar di Amerika Serikat awal 1970-an ketika penduduk Negeri Paman Sam merasa gerah dengan kondisi lingkungan yang makin buruk. Hal itu mendorong masyarakat turun ke jalan membersihkan sampah di saluran dan jalan-jalan permukiman.
Kegiatan itu melahirkan kesadaran kolektif yang mampu menjadi gerakan sosial menyelamatkan lingkungan. Sampai sekarang gerakan itu diperingati sebagai Hari Bumi. Tidak mengherankan kalau community pressure (tekanan masyarakat) di Amerika itu menjadi kekuatan terwujudnya lingkungan yang baik dan bersih.
Akankah Resik-resik Kali di Semarang menjadi kekuatan besar? Pada kasus di Semarang memang bukan tumbuh spontan dari bawah melainkan dari atas dengan kekuatan birokrasi menggerakkan elemen di bawahnya, mulai SKPD, camat, lurah, RW, RT, hingga instansi terkait lainnya seperti jajaran Kodim. Inisiatif ini tetap membawa manfaat.
Pertama; mengingatkan kepada semua pihak tentang kondisi lingkungan yang makin buruk. Kedua; menjadi pemicu untuk ditindaklanjuti menjadi kegiatan rutin oleh masyarakat dan pihak terkait. Sejauh mana kegiatan pencanangan itu menjadi gerakan sosial, sangat bergantung pada kemampuan di tingkat RT memelihara momentum menggerakan masyarakat.
Dengan kata lain bagaimana mengubah ’’ritual’’ membersihkan sungai menjadi kultural (kebiasaan) yang dilakukan rutin. Pengalaman Singapura menunjukkan bahwa pendekatan dari atas, bahkan dalam bentuk aturan ketat, bisa menumbuhkan kultur disiplin. Semboyan menjadi Negara Taman (Park Country) ternyata bisa diwujudkan dan dinikmati masyarakatnya, bahkan menjadi daya tarik wisatawan mancanegara.
Memang tidak mudah mengubah perintah menjadi kebiasaan. Dalam pandangan sebagian besar orang, kali, saluran, atau drainase adalah tempat pembuangan. Sungai ibarat mal karena semua benda bisa kita temukan, mulai kantung plastik, kaus kaki, baju, kaleng, mainan, meja, kasur, sayur dan sebagainya.
Memilah Sampah
Orang tidak peduli biaya publik (public cost) yang muncul karena perilakunya yang memicu terjadinya banjir dan sumber penyakit. Menumpuknya sampah di sungai juga menjadi indikasi bahwa perda larangan membuang sampah di sembarang tempat hanyalah macan kertas yang tidak pernah diimplementasikan.
Untuk menjual ide Resik-resik Kali perlu terus dikampanyekan tentang konsekuensi membuang sampah di sungai, selain perlu pendekatan insentif dan disinsentif. Kelompok masyarakat yang berhasil membersihkan sungai selayaknya mendapatkan insentif, bisa bantuan alat-alat kebersihan, dan perlu diumumkan kepada publik melalui media massa. Bagi komunitas yang lingkungan sungainya buruk, juga perlu diumumkan untuk menumbuhkan budaya malu, yang kemudian mendorong berbuat lebih baik.
Program Pemkot itu harus dibarengi dengan tindakan proaktif masyarakat mulai hulu, tengah sampai hilir melalui program 3 R, yakni reduce (mengurangi), reuse (menggunakan kembali), dan recycle atau mendaur ulang. Demikian juga mendaur ulang sampah dengan memilah sampah organik menjadi kompos, dan sampah anorganik menjadi berbagai macam barang berguna, seperti tas dan suvenir dari bekas bungkus makanan kecil atau bekas sachet deterjen.
Gerakan 3 R yang dilakukan warga Sampangan dan Jomblang mampu mengurangi volume sampah yang dibuang ke TPS sampai 30%. Karena itu, gerakan Resik-resik Kali sudah selayaknya diintegrasikan dengan program pengolahan sampah. Daur ulang juga bisa dilakukan di pasar-pasar dengan mengolah sampah organik pasar menjadi kompos sebagaimana dilakukan di Sragen. (10)
— Sudharto P Hadi, dosen Manajemen Lingkungan Universitas Diponegoro
Wacana Suara Merdeka 16 Desember 2010