15 Februari 2011

» Home » Kompas » Opini » Serbia, Patriotisme Besar di Balkan

Serbia, Patriotisme Besar di Balkan

Tanggal 15 Februari 2011 Serbia merayakan hari kenegaraannya yang ke-10, yang mulai diperingati sejak 2001.
Serbia menentukan 15 Februari sebagai hari kenegaraan karena pada tanggal itu, tahun 1804, terjadi peristiwa bersejarah menandai titik awal perjuangan kebebasan bangsa Serbia atas penjajahan Kekaisaran Ottoman Turki selama hampir lima abad.
Itu sebabnya tanggal ini juga menjadi Hari Ketentaraan Serbia. Pada tanggal yang sama, tahun 1835, juga merupakan hari bersejarah bagi bangsa Serbia dengan ditetapkannya konstitusi pertama pada masa Kerajaan Serbia di bawah kepemimpinan Pangeran Miloš Obrenovic, yang merupakan salah satu kerajaan paling liberal dan modern di Eropa saat itu.
Sejalan dengan konsep successor state yang diatur dalam Konvensi Wina tahun 1978, Serbia menjadi ahli waris sah dari Yugoslavia setelah Slovenia, Kroasia, Macedonia, Bosnia-Herzegovina, dan Montenegro memisahkan diri dari Yugoslavia. Dalam beberapa tahun terakhir, Serbia terus mengupayakan rekonsiliasi hubungan bilateral dengan negara–negara kawasan Balkan, terutama Kroasia dan Bosnia-Herzegovina.
Peringatan 50 tahun GNB
Serbia, sebagai ahli waris sah Yugoslavia, adalah salah satu negara pendiri Gerakan Nonblok (GNB) di bawah kepemimpinan Josip Broz Tito yang bahu-membahu bersama Presiden Indonesia Soekarno, Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser, PM India Pandit Jawaharlal Nehru, dan Presiden Ghana Kwarne Nkrumah. Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) GNB pertama di Beograd tanggal 1-6 September 1961, kelompok negara GNB mendeklarasikan visi dan keinginan mereka untuk tidak terlibat dalam konfrontasi ideologi Barat-Timur.
Kini, 50 tahun setelah momentum bersejarah di Beograd tersebut, Serbia dan Indonesia akan jadi tuan rumah yubileum—50 tahun—KTT GNB, yaitu pada Mei 2011 di Bali dan September 2011 di Beograd. Saat ini Serbia tidak lagi menjadi anggota GNB, tetapi berstatus observer karena keputusannya untuk berproses jadi anggota Uni Eropa.
Walau sudah lebih dari 20 tahun berlalu sejak perang saudara dan perpecahan Yugoslavia, saat ini masih sering didengar pembicaraan ataupun opini di kalangan masyarakat Serbia yang bersifat ”Yugo nostalgic”. Mereka menyesali perpecahan Yugoslavia yang seharusnya tidak perlu terjadi karena Yugoslavia merupakan satu negara termaju di kawasan Balkan dan Eropa Timur, yang mandiri secara politik dan ekonomi. Perpecahan itu melemahkan posisi kuat dan pengaruh yang telah dimiliki sejak dahulu kala.
Perpecahan Yugoslavia pada 1990-an merupakan salah satu masa suram terbesar dalam sejarah baru kawasan Balkan dan Serbia. Perang saudara yang memakan ratusan ribu korban, pengungsian massal, sanksi ekonomi berupa embargo selama delapan tahun (1992-2000), serangan udara NATO pada 1999, serta melemahnya ekonomi negara dan standar hidup penduduknya secara drastis adalah hal-hal yang tidak akan dilupakan oleh negara-negara eks Yugoslavia, khususnya Serbia.
Pengalaman pahit tersebut kini melahirkan gelombang patriotisme baru yang semakin menonjol dalam berbagai aspek, mulai dari kehidupan sehari-hari hingga ke capaian-capaian unggulan di berbagai bidang, khususnya di bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, dan olahraga. Gelombang patriotisme baru ini merupakan paduan dari beberapa karakteristik khas orang Serbia, yaitu rasa kebanggaan, kewibawaan, serta jiwa berjuang dan bertanding, yang secara tradisional selalu dirawat dan dipelihara bangsa ini sebagai salah satu dasar pokok dari tata nilai kehidupan bangsanya.
Belajar dari Serbia
Nilai-nilai keadilan sosial sangat dirasakan di bidang pendidikan dan jaminan perlindungan kesehatan dan sosial, yang hingga kini tetap jadi tanggungan negara. Perbedaan kualitas hidup antara penduduk kaya dan miskin tidaklah besar. Serbia tidak lekat dan memuja kebiasaan yang bersifat teatralisme atau seremonial belaka, Serbia lebih berpegang pada realisme, pada hubungan antarmanusia, sesuatu yang dewasa ini semakin jarang terlihat di belahan dunia yang disebut maju sekalipun. Harta tak ternilai Serbia masa kini bukanlah jumlah pusat-pusat belanja dan hotel-hotel mewah, melainkan rakyatnya sendiri; rakyat yang memiliki harga diri dan selalu memupuk patriotisme.
Fighting spirit mereka sebenarnya sudah terlihat sejak abad ke-12, di mana banyak cendekiawan Serbia telah menunjukkan keunggulannya di berbagai bidang, seperti Mihajlo Pupin (1854-1935), ahli fisika dan kimia fisik dengan kontribusinya di bidang komunikasi telepon jarak jauh; Milutin Milankovic (1854- 1935), pencipta teori siklus iklim; Nikola Tesla (1856-1943), ahli fisika dan insinyur listrik dengan teori daya listrik bolak-balik sebagai fondasi sejarah elektromagnetik, dan Ivo Andric (1892- 1975), sastrawan peraih Nobel pada tahun 1961 bidang sastra.
Patriotisme Serbia dapat dilihat dari berbagai peristiwa bersejarah yang menonjolkan kepatriotan rakyat dan para pejuangnya sejak masa lampau dalam berbagai sejarah peperangan besar di kawasan Balkan, Eropa, dan dunia. Dewasa ini, patriotisme dan fighting spirit Serbia terus tecermin dalam perjuangannya di panggung politik internasional untuk mempertahankan Kosovo, juga dalam pembangunan dan integrasi Eropa, serta di bidang olahraga dan ilmu pengetahuan.
Patriotisme adalah karakter Serbia, karakter bangsanya, dulu dan sekarang. Sejarah bangsa ini, jatuh dan bangun negara ini, telah membentuk karakter bangsa Serbia dan menjadikan patriotisme sebagai bagian dari tata nilai dan standar kehidupan yang normal bagi mereka. Serbia, perlahan tetapi yakin, telah membuktikannya di berbagai arena. Karena itu pula, Serbia dan Indonesia selalu berbagi kepentingan: dulu, sekarang, dan kelak.
Selamat Hari Kenegaraan yang ke-10 Serbia!
Semuel Samson Duta Besar RI untuk Serbia
Opini Kompas 16 Februari 2011