APA yang terjadi di Temanggung menunjukkan kemiripan dengan peristiwa di Banten, juga sederet kasus brutal sebelumnya. Motifnya adalah perusakan tempat ibadah dan kekerasan atas nama agama. Modusnya adalah amuk massa. Hukuman lima tahun penjara terhadap Antonius Richmond Bawengan dianggap ’’tak memuaskan’’.
Ketidakpuasan itu seolah menghalalkan tindak kekerasan. Inilah momen pelumpuhan otoritas hukum. Mungkin banyak yang menyangka, hukum lumpuh semata karena para penegaknya bertindak bak makelar. Namun, peristiwa di Temanggung menunjukkan perkara yang lebih mendasar. Kelumpuhan itu justru pertama-tama karena pengabaian dan pengingkaran terhadap hukum sebagai asas.
Dari kronologi kejadian, sulit menyangkal amuk massa ini semata-mata kebetulan. Sedemikian banyakkah orang berkepentingan, sehingga ratusan orang sudah berkerumun sejak pagi di pengadilan negeri? Mengapa pembacaan vonis hukuman maksimal justru langsung diprotes nyaris tanpa jeda? Mengapa ada bom molotov? Mengapa gereja dan sekolah Kristen diserbu dalam tempo nyaris serentak? Deret pertanyaan bisa diperpanjang.
Dalam sejumlah literatur baku keislaman (kutubul mu’tabarah) disebutkan, kekerasan tidak diizinkan kecuali dalam perang. Itupun dalam konteks membela diri (daf’un nafsi min al dlarar) dan bukan menyerang. Lebih mendasar lagi, kata Islam adalah salah satu derivasi dari kata dasar salaam yang antara lain bermakna perdamaian.
Salah satu dimensi makna dari kata Islam adalah menganjurkan kedamaian. Dengan demikian, kekerasan atas nama Islam sebagaimana terlihat dalam insiden di Temanggung sejatinya merupakan asumsi keliru sejak dalam pikiran.
Sebelum insiden itu, kehidupan antaragama di Temanggung tak pernah mengalami ketegangan. Perbedaan agama, keyakinan, hingga etnis menjadi kelumrahan yang tidak menghalangi tegur sapa satu sama lain, atau minimal tidak menjadi penyebab konflik horizontal. Malahan, jika dilihat dengan teliti, dalam relasi antaragama dan antaretnis banyak dijumpai keseharian yang menyejukkan.
Tetangga saya yang Nasrani bilang,’’ Idul Fitri memang hari raya milik orang Islam, tapi kita ini kan punya dosa sosial, mumpung lebaran justru salah kalau tak saling maaf-memaafkan.’’ Maka, tak sedikit keluarga nonmuslim menyediakan jajan dan penganan tiap kali lebaran tiba. Tak sedikit pula tabib berdarah Tionghoa melakukan praktik pengobatan alternatif. Kehadiran mereka menjadi oase di tengah-tengah mahalnya pengobatan medis konvensional.
Ada Kebersamaan
Contoh lain, pemeluk Buddha di Kecamatan Kaloran selama ini bisa hidup tenang menjalani aktivitas keagamaannya. Tiap tahun, air suci dalam peringatan Waisak di Borobudur diambil dan diarak dari mata air Jumprit yang jernih di Ngadirejo. Jika melewati Kandangan, mampirlah ke Desa Rowoseneng.
Di sana siapa saja bisa menyaksikan, Pertapaan Cisterciensis Santa Maria, dibangun Ordo Trappist lebih dari setengah abad lalu, berada di antara perkampungan warga yang memeluk bermacam keyakinan.
Pendek kata, kenyataan hidup umat beragama di Temanggung adalah bersandingan dan berdampingan. Inilah yang saya syukuri, lahir dan tumbuh di lereng Sumbing-Sindoro ini. Perbedaan keyakinan tak berkorelasi negatif dengan kesanggupan memesrai kebersamaan. Sementara para teolog dan akademisi mendiskusikan common ground, banyak orang di Temanggung sudah melampauinya dalam laku keseharian.
Citra buruk Temanggung yang dibingkai dalam skala nasional belakangan ini sungguh menyesakkan dada masyarakat lereng Sumbing-Sindoro. Ini mengingat banyak dari mereka tengah dihimpit kesulitan ekonomi akibat tata niaga dan undang-undang tembakau yang tidak adil, tidak memihak kesejahteraan petani.
Maka, ketika dari luar dirongrong terorisme dan kekerasan atas nama agama, Temanggung tengah mengalami proses pelapukan ganda dari luar, ibarat pelanduk yang digilas para gajah yang rakus kekuasaan. (10)
— Ahmad Musthofa Haroen, pengajar pada Pesantren Irsyadul Mubtadi-in Kecamatan Ngadirejo Kabupaten Temanggung, peneliti pada BPPM Balairung UGM
wacana suara merdeka 16 Februari 2010
15 Februari 2011
Energi Kesejukan dari Temanggung
Thank You!