EFEK domino Revolusi Jasmine di Tunisia medio Januari lalu, yang memaksa Presiden Zine El Abidine Ben Ali meletakkan jabatan, akhirnya berimbas ke Mesir. Presiden Hosni Mubarak menyerahkan kekuasaannya yang hampir 30 tahun kepada Dewan Militer, setelah didemo rakyatnya selama 18 hari.
Mundurnya Mubarak disikapi positif oleh Amerika Serikat dan sekutunya di Eropa. Amerika, yang menjadikan Mesir sebagai sekutu utamanya di Timur Tengah sejak Anwar Sadat menandatangani Perjanjian Damai Camp David dengan Israel tahun 1979, awalnya bersikap mendua. Di satu sisi mendukung demokratisasi di Negeri Pharaoh itu tetapi di sisi lain menganggap penting untuk mempertahankan Mubarak. Sikap itu mulai berubah menjadi mendukung tuntutan demonstran, menjelang kejatuhan Mubarak.
Dalam pidatonya menanggapi mundurnya Mubarak, Barack Obama menyatakan bahwa pengunduran diri itu hanya awal dari transformasi Mesir. Masih banyak hal yang belum terjawab dalam situasi saat ini namun dia yakin rakyat Mesir akan menemukan jawabannya secara damai. Dia juga meminta agar militer Mesir, yang didanai Amerika 1,3 miliar dolar AS per tahun seusai Perjanjian Camp David, mencabut keadaan darurat dan mempersiapkan pemilu yang bebas dan adil. Obama memuji militer Mesir yang patriotik, bertanggung jawab, dan menolak menggunakan kekerasan terhadap pengunjuk rasa.
Sementara Israel yang menganggap Mubarak sebagai satu-satunya sekutu di Timur Tengah, berharap transisi di Mesir berjalan mulus. Dengan tumbangnya pemerintah Mubarak, Israel praktis kehilangan semua sekutunya di Timur Tengah. Sebelumnya, Israel kehilangan Turki, yang berbalik memusuhinya terkait dengan penyerangan kapal Mavi Marmara yang membawa bantuan kemanusiaan untuk rakyat Gaza, oleh tentara Israel akhir Mei 2010, dan menewaskan 9 warga Turki.
Mesir di bawah pemerintahan transisi militer kini dihadapkan pada pekerjaan rumah yaitu pencabutan UU Darurat dan persiapan pemilu presiden yang diperkirakan pada Agustus atau September mendatang. Perubahan rezim setelah pemilu itu akan menentukan peta politik di Timur Tengah.
Ada dua kemungkinan yang terjadi pada politik Mesir ke depan. Pertama; jika Partai Nasional Demokrat yang berkuasa selama pemerintahan Mubarak dibekukan maka partai-partai oposisi seperti Ikhwanul Muslimin, Partai Wafd, Partai Al-Ghad, dan partai kecil lainnya memiliki kesempatan berpartisipasi dalam pemilu. Di antara partai oposisi, Ikhwanul Muslimin, paling berpeluang memenangi pemilu, sesuatu yang tidak disukai Israel dan Amerika.
Pengaruh Besar Israel sejak awal khawatir kelompok Ikhwanul Muslimin mengambil alih kekuasaan, karena kelompok yang didirikan Hasan Al-Banna pada 1928 konsisten menolak perdamaian Mesir-Israel. Israel sangat mencemaskan stabilitas keamanannya yang dibangun bersama Mubarak selama 30 tahun berkuasa. Jika Ikhwanul Muslimin berkuasa, Israel merasa terkepung oleh musuh di utara (Hizbullah, Lebanon), barat (Hamas, Palestina), dan di selatan oleh Ikhwanul Muslimin.
Itulah sebabnya Israel sejak awal rakyat Mesir berdemonstrasi kelihatan gusar menyikapinya. Perdana Menteri Benyamin Netanyahu misalnya, memerintah diplomatnya di negara-negara Eropa dan Amerika untuk meyakinkan sekutunya tentang pentingnya mempertahankan Mubarak. Israel bahlkan mengirim 2 pesawat kargo berisi senjata dan berton-ton gas guna memerangi demonstran, juga membantu mematikan jaringan internet Mesir agar tidak digunakan demonstran menghimpun kekuatan.
Amerika, di lain pihak, tidak akan senang dengan munculnya dominasi partai Islam di Mesir. Munculnya kekuatan Islam bukan tidak mungkin menimbulkan efek domino bagi munculnya rezim serupa di Timur Tengah. Tampilnya kekuatan Islam bisa mengancam kepentingan Amerika mengingat kekuatan Islam memiliki persepsi buruk terhadap kebijakan luar negeri Amerika yang hegemonik.
Kedua; tidak menutup kemungkinan nantinya Mesir dipimpin figur nonagamais seperti Muhammad ElBaradei (mantan ketua Badan Tenaga Atom Internasional PBB), Amir Moussa (Sekjen Liga Arab), atau tokoh muda independen yang punya visi ke depan tentang demokrasi, keterbukaan, kesejahteraan, dan perdamaian. Bagaimanapun, perkembangan di Mesir akan berpengaruh besar terhadap masa depan kawasan Timur Tengah. (10)
— Dra Harmiyati MSi, dosen Hubungan Internasional di Timur Tengah Jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Pembangunan Nasional (UPN) ‘’Veteran’’ Yogyakarta
Mundurnya Mubarak disikapi positif oleh Amerika Serikat dan sekutunya di Eropa. Amerika, yang menjadikan Mesir sebagai sekutu utamanya di Timur Tengah sejak Anwar Sadat menandatangani Perjanjian Damai Camp David dengan Israel tahun 1979, awalnya bersikap mendua. Di satu sisi mendukung demokratisasi di Negeri Pharaoh itu tetapi di sisi lain menganggap penting untuk mempertahankan Mubarak. Sikap itu mulai berubah menjadi mendukung tuntutan demonstran, menjelang kejatuhan Mubarak.
Dalam pidatonya menanggapi mundurnya Mubarak, Barack Obama menyatakan bahwa pengunduran diri itu hanya awal dari transformasi Mesir. Masih banyak hal yang belum terjawab dalam situasi saat ini namun dia yakin rakyat Mesir akan menemukan jawabannya secara damai. Dia juga meminta agar militer Mesir, yang didanai Amerika 1,3 miliar dolar AS per tahun seusai Perjanjian Camp David, mencabut keadaan darurat dan mempersiapkan pemilu yang bebas dan adil. Obama memuji militer Mesir yang patriotik, bertanggung jawab, dan menolak menggunakan kekerasan terhadap pengunjuk rasa.
Sementara Israel yang menganggap Mubarak sebagai satu-satunya sekutu di Timur Tengah, berharap transisi di Mesir berjalan mulus. Dengan tumbangnya pemerintah Mubarak, Israel praktis kehilangan semua sekutunya di Timur Tengah. Sebelumnya, Israel kehilangan Turki, yang berbalik memusuhinya terkait dengan penyerangan kapal Mavi Marmara yang membawa bantuan kemanusiaan untuk rakyat Gaza, oleh tentara Israel akhir Mei 2010, dan menewaskan 9 warga Turki.
Mesir di bawah pemerintahan transisi militer kini dihadapkan pada pekerjaan rumah yaitu pencabutan UU Darurat dan persiapan pemilu presiden yang diperkirakan pada Agustus atau September mendatang. Perubahan rezim setelah pemilu itu akan menentukan peta politik di Timur Tengah.
Ada dua kemungkinan yang terjadi pada politik Mesir ke depan. Pertama; jika Partai Nasional Demokrat yang berkuasa selama pemerintahan Mubarak dibekukan maka partai-partai oposisi seperti Ikhwanul Muslimin, Partai Wafd, Partai Al-Ghad, dan partai kecil lainnya memiliki kesempatan berpartisipasi dalam pemilu. Di antara partai oposisi, Ikhwanul Muslimin, paling berpeluang memenangi pemilu, sesuatu yang tidak disukai Israel dan Amerika.
Pengaruh Besar Israel sejak awal khawatir kelompok Ikhwanul Muslimin mengambil alih kekuasaan, karena kelompok yang didirikan Hasan Al-Banna pada 1928 konsisten menolak perdamaian Mesir-Israel. Israel sangat mencemaskan stabilitas keamanannya yang dibangun bersama Mubarak selama 30 tahun berkuasa. Jika Ikhwanul Muslimin berkuasa, Israel merasa terkepung oleh musuh di utara (Hizbullah, Lebanon), barat (Hamas, Palestina), dan di selatan oleh Ikhwanul Muslimin.
Itulah sebabnya Israel sejak awal rakyat Mesir berdemonstrasi kelihatan gusar menyikapinya. Perdana Menteri Benyamin Netanyahu misalnya, memerintah diplomatnya di negara-negara Eropa dan Amerika untuk meyakinkan sekutunya tentang pentingnya mempertahankan Mubarak. Israel bahlkan mengirim 2 pesawat kargo berisi senjata dan berton-ton gas guna memerangi demonstran, juga membantu mematikan jaringan internet Mesir agar tidak digunakan demonstran menghimpun kekuatan.
Amerika, di lain pihak, tidak akan senang dengan munculnya dominasi partai Islam di Mesir. Munculnya kekuatan Islam bukan tidak mungkin menimbulkan efek domino bagi munculnya rezim serupa di Timur Tengah. Tampilnya kekuatan Islam bisa mengancam kepentingan Amerika mengingat kekuatan Islam memiliki persepsi buruk terhadap kebijakan luar negeri Amerika yang hegemonik.
Kedua; tidak menutup kemungkinan nantinya Mesir dipimpin figur nonagamais seperti Muhammad ElBaradei (mantan ketua Badan Tenaga Atom Internasional PBB), Amir Moussa (Sekjen Liga Arab), atau tokoh muda independen yang punya visi ke depan tentang demokrasi, keterbukaan, kesejahteraan, dan perdamaian. Bagaimanapun, perkembangan di Mesir akan berpengaruh besar terhadap masa depan kawasan Timur Tengah. (10)
— Dra Harmiyati MSi, dosen Hubungan Internasional di Timur Tengah Jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Pembangunan Nasional (UPN) ‘’Veteran’’ Yogyakarta
Wacana Suara Merdeka 14 Februari 2011