APAKAH mundurnya Hosni Mubarak akan melapangkan jalan revolusi ke depan bagi bangsa Mesir, dalam arti menuju demokratisasi segala bidang kehidupan yang lebih baik? Jawabnya tidak. Sejumlah kesulitan kini tengah mengadang.
Pertama; polarisasi kekuatan politik di negeri itu. Polarisasi setelah mundurnya Mubarak tampak lebih beragam dan kompleks ketimbang sebelumnya. Sebelumnya hanya ditandai tiga kekuatan utama (incumbent, oposisi, dan militer).
Sekarang lebih dari itu, di samping karena terdapat cukup banyak gerakan rakyat yang bergerak di luar partai, seperti Gerakan 6 April, juga karena partai-partai oposisi dipastikan terpecah-belah. Perbedaan ideologi partai (liberal seperti Partai Wafd), sosialis (semisal Nasseris), dan agama (Ikhwanul Muslimin) menjadi sumber perpecahan.
Tentu perpecahan tersebut bisa teratasi bilamana muncul tokoh pemersatu. Masalahnya, akankah tampil tokoh pemersatu yang dibutuhkan itu? Mampukah misalnya, pemimpin Perhimpunan Nasional untuk Perubahan (Mohamed ElBaradei) mempersatukan mereka? Sejauh ini Baradei belum memperlihatkan kemampuannya yang memadai untuk mempersatukan kekuatan-kekuatan tersebut.
Jika kevakuman tokoh pemersatu di kubu oposisi tak segera teratasi, kondisi itu memungkinkan bekas partai incumbent (Partai Nasional Demorat / NDP) melakukan konsolidasi maksimal guna kembali tampil menjadi partai dominan dalam pemilu mendatang.
Di luar itu, militer yang kejatuhan sampur (mendapat limpahan kekuasaan) dari Mubarak menjadi truf yang paling menentukan lapang terjalnya jalan demokratisasi ke depan. Jika militer bijak, Wapres Omar Suleiman ataupun petinggi lain militer Mesir tulus mengemban limpahan kekuasaan tentu mereka mau mencegah kekuatan-kekuatan politik sipil untuk tidak berebut kekuasaan, sebelum penyelenggaraan pemilu demokratis pertama sepanjang sejarah Mesir.
Intervensi Luar
Namun jika sebaliknya, dalam arti mereka tidak bijak, tergoda bermain politik maka militer tak segan memanfaatkan kesempatan kejatuhan sampur sekarang ini sebagai momentum strategis menancapkan kembali taring kekuasaannya. Jelas, hal ini tak diinginkan oleh siapapun.
Kedua; tarik-menarik kepentingan pihak luar terhadap Mesir. Pihak luar yang sudah menonjol memperlihatkan kepentingannya adalah Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE), khususnya terkait upaya mengamankan proses perdamaian Timur Tengah (Timteng), terutama Israel-Palestina. Mesir selama ini jadi mediator yang sangat menguntungkan bagi AS dan UE (di samping Israel) dalam menjaga stabilitas politik dan keamanan Timteng umumnya, dan jalannya perundingan damai Israel-Palestina khususnya.
Karena itu, AS dan UE sangat berkepentingan dalam proses penentuan orang nomor wahid Mesir setelah Mubarak mundur. Tentu, AS dan UE menginginkan penggantinya adalah tokoh yang kebijakan politik luar negerinya pro-AS, UE, dan Israel, persis seperti yang selama ini dipraktikkan Mubarak.
Di luar itu, ada Iran dan Qatar yang kini disebut-sebut sangat bernafsu menjadikan Mesir sebagai mitra strategis membangun kekuatan baru berpengaruh di Timteng. Dengan kemampuan nuklir, batu bara, gas dan minyaknya, kedua negara itu mencoba ikut bermain dalam penentuan pemimpin Mesir ke depan.
Jelas, bermainnya negara-negara tersebut dalam penentuan pemimpin Mesir mendatang memperkeruh sekaligus mempersulit masyarakat Mesir untuk keluar dari jebakan krisis yang masih berlangsung ini.
Ketiga; kondisi sosial ekonomi masyarakat yang buruk. Salah satu pemicu gerakan people power hingga pecah revolusi Mesir saat ini adalah kondisi ekonomi rakyat yang memprihatinkan. Angka kemiskinan mencapai 40% dari sekitar 85 juta jumlah total penduduk, angka pengangguran mencapai 9,4% dari angkatan kerja, dan GNP per kapita hanya 1.700 dolar AS. Keadaan ini kini diperparah dengan turunnya income negara.
Gerakan people power masif selama 18 hari menyebabkan negara (pemerintah) merugi 310 juta dolar AS tiap hari. Terusan Suez yang menjadi sumber utama devisa negara, Januari lalu mengalami penurunan pendapatan 1,6 persen dibandingkan pada Desember 2010.
Jadi, walaupun Mubarak berhasil dilengserkan, jalan revolusi menuju demokratisasi segala bidang kehidupan masyarakat yang lebih baik tidaklah lapang, jalannya masih terjal. Mesir masih mengalami kesulitan serius untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang demokratis, makmur, dan sejahtera. (10)
— Chusnan Maghribi, peneliti pada Center of International Issues Studies (CIIS), alumnus Hubungan Internasional FISIP UMY
Pertama; polarisasi kekuatan politik di negeri itu. Polarisasi setelah mundurnya Mubarak tampak lebih beragam dan kompleks ketimbang sebelumnya. Sebelumnya hanya ditandai tiga kekuatan utama (incumbent, oposisi, dan militer).
Sekarang lebih dari itu, di samping karena terdapat cukup banyak gerakan rakyat yang bergerak di luar partai, seperti Gerakan 6 April, juga karena partai-partai oposisi dipastikan terpecah-belah. Perbedaan ideologi partai (liberal seperti Partai Wafd), sosialis (semisal Nasseris), dan agama (Ikhwanul Muslimin) menjadi sumber perpecahan.
Tentu perpecahan tersebut bisa teratasi bilamana muncul tokoh pemersatu. Masalahnya, akankah tampil tokoh pemersatu yang dibutuhkan itu? Mampukah misalnya, pemimpin Perhimpunan Nasional untuk Perubahan (Mohamed ElBaradei) mempersatukan mereka? Sejauh ini Baradei belum memperlihatkan kemampuannya yang memadai untuk mempersatukan kekuatan-kekuatan tersebut.
Jika kevakuman tokoh pemersatu di kubu oposisi tak segera teratasi, kondisi itu memungkinkan bekas partai incumbent (Partai Nasional Demorat / NDP) melakukan konsolidasi maksimal guna kembali tampil menjadi partai dominan dalam pemilu mendatang.
Di luar itu, militer yang kejatuhan sampur (mendapat limpahan kekuasaan) dari Mubarak menjadi truf yang paling menentukan lapang terjalnya jalan demokratisasi ke depan. Jika militer bijak, Wapres Omar Suleiman ataupun petinggi lain militer Mesir tulus mengemban limpahan kekuasaan tentu mereka mau mencegah kekuatan-kekuatan politik sipil untuk tidak berebut kekuasaan, sebelum penyelenggaraan pemilu demokratis pertama sepanjang sejarah Mesir.
Intervensi Luar
Namun jika sebaliknya, dalam arti mereka tidak bijak, tergoda bermain politik maka militer tak segan memanfaatkan kesempatan kejatuhan sampur sekarang ini sebagai momentum strategis menancapkan kembali taring kekuasaannya. Jelas, hal ini tak diinginkan oleh siapapun.
Kedua; tarik-menarik kepentingan pihak luar terhadap Mesir. Pihak luar yang sudah menonjol memperlihatkan kepentingannya adalah Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE), khususnya terkait upaya mengamankan proses perdamaian Timur Tengah (Timteng), terutama Israel-Palestina. Mesir selama ini jadi mediator yang sangat menguntungkan bagi AS dan UE (di samping Israel) dalam menjaga stabilitas politik dan keamanan Timteng umumnya, dan jalannya perundingan damai Israel-Palestina khususnya.
Karena itu, AS dan UE sangat berkepentingan dalam proses penentuan orang nomor wahid Mesir setelah Mubarak mundur. Tentu, AS dan UE menginginkan penggantinya adalah tokoh yang kebijakan politik luar negerinya pro-AS, UE, dan Israel, persis seperti yang selama ini dipraktikkan Mubarak.
Di luar itu, ada Iran dan Qatar yang kini disebut-sebut sangat bernafsu menjadikan Mesir sebagai mitra strategis membangun kekuatan baru berpengaruh di Timteng. Dengan kemampuan nuklir, batu bara, gas dan minyaknya, kedua negara itu mencoba ikut bermain dalam penentuan pemimpin Mesir ke depan.
Jelas, bermainnya negara-negara tersebut dalam penentuan pemimpin Mesir mendatang memperkeruh sekaligus mempersulit masyarakat Mesir untuk keluar dari jebakan krisis yang masih berlangsung ini.
Ketiga; kondisi sosial ekonomi masyarakat yang buruk. Salah satu pemicu gerakan people power hingga pecah revolusi Mesir saat ini adalah kondisi ekonomi rakyat yang memprihatinkan. Angka kemiskinan mencapai 40% dari sekitar 85 juta jumlah total penduduk, angka pengangguran mencapai 9,4% dari angkatan kerja, dan GNP per kapita hanya 1.700 dolar AS. Keadaan ini kini diperparah dengan turunnya income negara.
Gerakan people power masif selama 18 hari menyebabkan negara (pemerintah) merugi 310 juta dolar AS tiap hari. Terusan Suez yang menjadi sumber utama devisa negara, Januari lalu mengalami penurunan pendapatan 1,6 persen dibandingkan pada Desember 2010.
Jadi, walaupun Mubarak berhasil dilengserkan, jalan revolusi menuju demokratisasi segala bidang kehidupan masyarakat yang lebih baik tidaklah lapang, jalannya masih terjal. Mesir masih mengalami kesulitan serius untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang demokratis, makmur, dan sejahtera. (10)
— Chusnan Maghribi, peneliti pada Center of International Issues Studies (CIIS), alumnus Hubungan Internasional FISIP UMY
Wacana Suara Merdeka 16 Februari 2011