Gayus Tambunan bisa saja divonis tujuh tahun dan instruksi presiden dapat saja dikeluarkan. Akan tetapi, siapa yang bisa menjamin Gayus tidak lagi ”mempermainkan” lembaga hukum dan perpajakan hingga kelak menyelesaikan masa hukumannya? Ataukah siapa yang dapat memastikan tindak kejahatan serupa kasus Gayus tidak sedang berlangsung marak di lembaga tersebut?
Sangatlah tepat jika tajuk dari media cetak ini mempertanyakan kelanjutan atas instruksi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar menuntaskan penanganan kasus Gayus. Tajuk juga secara tersirat harus ditafsirkan ingin mempersoalkan apakah pihak lain yang terlibat juga dapat dituntaskan secara hukum. Pertanyaan selanjutnya yang lebih struktural dalam kaitan instruksi presiden adalah apakah instruksi presiden dapat jadi pintu masuk untuk menyelesaikan mafia pajak dan mafia hukum, bukan sekadar kasus Gayus semata?
Salah satu hal penting dalam instruksi presiden adalah penerapan pembuktian terbalik yang bertujuan meningkatkan efektivitas penegakan hukum. Tulisan ini hendak mengelaborasi berbagai hal penting agar penerapannya dapat dilaksanakan sesuai tujuan pembentukan serta instruksi presiden.
Pada sebagian diskursus mengenai pemberantasan korupsi, frasa kata ”pembuktian terbalik” senantiasa diajukan sebagai suatu metode dan prasyarat meningkatkan upaya dan hasil pemberantasan korupsi. Untuk itu, perlu diajukan beberapa prasyarat dan diintegrasikan dalam suatu sistem pemberantasan korupsi yang tepat agar pembuktian terbalik dapat benar-benar efektif.
Secara umum, strategi pemberantasan korupsi harus bertumpu pada beberapa hal. Pertama, kontrol atas penggunaan wewenang, khususnya kewenangan diskresionari yang potensial menciptakan penyalahgunaan kekuasaan. Kedua, menggunakan metode mengikuti aliran uang sehingga akan diketahui pergerakan uang hasil kejahatan. Ketiga, membuat kebijakan untuk mengikuti aliran aset. Dengan demikian, kelak diketahui apakah peningkatan kekayaan seorang penyelenggara negara sesuai penghasilannya secara material dan relevan.
Ada dua fakta yang secara diametral berjalan berlawanan. Di satu sisi, ketentuan pembuktian terbalik telah dikemukakan dalam UU No 20 Tahun 2001 dan bersifat ”premium remedium”. Ini mengandung prevensi khusus terhadap pegawai negeri dan penyelenggara negara. Pembuktian dimaksud adalah prasyarat untuk melakukan perampasan harta benda milik tersangka dan/atau terdakwa yang berasal dari gratifikasi dan/atau tindak pidana korupsi tertentu lainnya.
Di sisi lain, kendati ketentuan dimaksud telah ada jauh sebelum instruksi presiden, ternyata sangat tidak efektif digunakan untuk memberantas korupsi.
Harus lebih diefektifkan
Perlu beberapa upaya lain agar pembuktian terbalik efektif diterapkan. Caranya, satu, Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) harus dapat diakses. Selain itu, KPK, sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Huruf a UU No 30 Tahun 2001, seyogianya tidak hanya berwenang melakukan pendaftaran dan LHKPN, tetapi juga memiliki wewenang pemeriksaan sebagaimana wewenang yang dimiliki Komisi Pemeriksa Kekayaan penyelenggara Negara (KPKPN).
Wewenang itu, antara lain, melakukan pemantauan dan klarifikasi atas harta kekayaan penyelenggara negara serta melakukan penyelidikan atas inisiatif sendiri mengenai tidak sekadar laporan, tetapi harta kekayaan penyelenggara negara berdasarkan petunjuk adanya KKN (lihat Pasal 17 Ayat 2 Huruf a dan c UU Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN yang sudah dicabut). Presiden harus mendukung KPK agar menjalankan wewenang dalam konteks LHKPN sesuai tafsir di atas.
Kedua, perlu diatur suatu ketentuan yang merumuskan secara tegas mengenai batas minimum tertentu pada semua transaksi yang harus menggunakan sistem transaksi perbankan dan jasa keuangan. Pengaturan dimaksud tidak hanya ditujukan kepada penyelenggara negara, tetapi juga transaksi yang dilakukan oleh korporasi dan seluruh kalangan profesional.
Lembaga penegak hukum dengan dukungan pemerintah melakukan mutual legal assistance (MLA) dengan negara dan lembaga perbankan lain agar dapat mengakses lembaga perbankan di luar negeri terhadap pihak yang diduga melakukan transaksi yang mencurigakan dan diduga melakukan KKN.
Ketiga, lembaga PPATK ditingkatkan kemampuannya agar mempunyai sistem yang lebih canggih untuk melacak transaksi keuangan yang mencurigakan. PPATK juga perlu wewenang lebih untuk melaporkan Laporan Hasil Analisis (LHA) tidak hanya kepada kepolisian, tetapi juga kepada lembaga penegak hukum lain yang punya otoritas memeriksa kasus-kasus tindak pidana korupsi. PPATK juga sebaiknya melaporkan secara berkala kepada publik penggunaan kewenangannya sesuai konteks di atas, meminta konfirmasi perkembangan pemeriksaan LHA yang dikirim ke lembaga penegak hukum, serta melaporkan kepada DPR bila mendapat konfirmasi dari penegakan hukum tersebut.
Keempat, perlu ketentuan yang mengatur bahwa penyelenggara negara yang tidak melaporkan harta kekayaannya secara jujur dalam LHKPN, bila kelak ditemukan harta kekayaan lain di luar yang sudah dilaporkan, maka harta kekayaan dimaksud dapat segera dirampas untuk negara. Oleh karena itu, KPK sebagai lembaga yang punya kewenangan melakukan pendaftaran dan pemeriksaan LHKPN perlu diperluas kewenangannya untuk merampas harta kekayaan yang tidak dilaporkan.
Kelima, pembuatan LHKPN harus bersifat mandatori dan berpengaruh langsung terhadap sistem dan pemberian remunerasi, promosi, dan mutasi dari seorang penyelenggara negara. Dengan cara demikian, akan dapat dihasilkan tingkat kepatuhan yang tinggi.
Jika saja instruksi presiden ditindaklanjuti dengan pembuatan perppu atau perundangan lain dan peraturan dimaksud dapat mengakomodasi dan melegalisasi berbagai gagasan di atas, maka dapat dipastikan pembuktian terbalik dapat segera diterapkan secara faktual dan konsisten, tidak sekadar menjadi daftar keinginan atau bahkan jargon belaka.
Audit kinerja
Selain itu, penerapan pembuktian terbalik harus diintegrasikan dengan berbagai hal penting lain, antara lain ada audit kinerja, pelaporan secara berkala atas hasil audit, pemberian sanksi bagi pihak atau pimpinan lembaga yang sengaja melakukan pelanggaran, serta pengamanan aset dan kekayaan negara.
Maksudnya, audit kinerja sudah diinstruksikan pada lembaga tertentu saja, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan Direktorat Jenderal Pajak. Untuk itu, audit kinerja diprioritaskan pada sektor pemeriksaan pajak dan Bareskrim atau Direktorat Reserse. Jika perlu, difokuskan pada pihak yang tidak melaporkan LHKPN atau melaporkan tetapi tidak secara benar dan/atau laporannya mencurigakan. Juga pada penyelenggara negara yang ditugaskan menangani kasus perpajakan. Dengan demikian, dapat dipastikan pihak yang menangani kasus perpajakan di lembaga penegak hukum relatif amanah dan bukan dari kelompok yang koruptif dan kolusif.
Audit kinerja juga disertai audit sistem dalam penggunaan wewenang pemeriksaan, khususnya penggunaan kewenangan yang bersifat diskresi untuk melihat, mengkaji, dan melacak apakah sistem pengelolaan wewenang dan administratif dimaksud potensial bersifat koruptif dan kolusif. Hal ini dapat dilakukan pada lembaga kepolisian, kejaksaan, dan perpajakan.
Seluruh proses di atas hendaknya mendapat limit dan tenggat yang jelas. Instruksi presiden kelak harus berisi tiga hal penting. Pertama, siapa melakukan apa, dengan menuliskan secara jelas, lingkup tugas, dan penanggung jawab pekerjaan. Kedua, ada jadwal kerja yang jelas sehingga ada kepastian, kapan pekerjaan akan selesai. Ketiga, perlu ada rumusan jelas, siapa yang bertanggung jawab bila suatu kinerja tidak optimal.
Seluruh uraian ini ditujukan untuk mengoptimalkan hasil dan keluaran dari instruksi Presiden SBY belum lama ini. Oleh karena itu, perlu ditopang perppu atau perundangan lain yang mengatur hal-hal di atas serta rincian langkah dan cakupan kerja yang jelas.
Bambang Widjojanto Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti; Legal Advisor Kemitraan untuk Tata Pemerintahan yang Baik
Opini Kompas 16 Februari 2011