15 Februari 2011

» Home » Kompas » Opini » Tantangan Demokrasi Pasca-Mubarak

Tantangan Demokrasi Pasca-Mubarak

Pengunduran Presiden Hosni Mubarak dari kekuasaan yang telah dipegangnya selama 30 tahun boleh dibilang sangat dramatis. Meski Mubarak berusaha mengulur-ulur waktu dengan memberikan sejumlah konsesi politik, kekuatan rakyat Mesir yang bangkit sejak 25 Januari 2011 terbukti jadi titik yang tidak pernah bisa lagi dimundurkan.
Namun jelas, terdapat potensi luar biasa terjadinya tarik tambang antara kekuatan rakyat dan militer di bawah Dewan Agung Militer pimpinan Jenderal Hussein Tantawi. Saat ini, kekuatan rakyat masih mabuk euforia atas keberhasilan revolusi yang berlangsung relatif damai. Apabila gelombang euforia mulai surut, saat itu pula bermula tarik tambang dan pergumulan yang boleh jadi tidak kurang dramatisnya.
Godaan kekuasaan
Tantangan terbesar kekuatan prodemokrasi pasca-Mubarak adalah mengawal proses transisi ke arah demokrasi, terutama dalam kaitan dengan kenyataan bahwa kini kekuasaan efektif dipegang Dewan Agung Militer. Bukan tidak mungkin militer ”membajak” revolusi rakyat yang telah mengorbankan tenaga, harta, dan nyawa untuk menumbangkan Mubarak. Militer, yang jadi bagian integral kekuasaan rezim Mubarak, tampak bakal tetap tergoda mempertahankan pengaruhnya yang begitu dominan sejak hampir 60 tahun lalu.
Dengan posisinya yang demikian sentral dalam masa pasca- Mubarak, memang bukan tidak mungkin militer Mesir tergoda melakukan ”pembajakan” untuk menguasai politik negara ini dalam proses-proses transisi menuju demokrasi. Dan, itu dapat mereka lakukan tidak hanya melalui tekanan-tekanan militer, tetapi juga lewat rekayasa konstitusional tertentu yang dapat kembali memarjinalisasikan kekuatan-kekuatan prodemokrasi.
Bahwa militer Mesir haus kekuasaan bukan hal baru. Militer negeri Firaun ini punya sejarah panjang dalam dominasi kekuasaan politik, bermula lewat kudeta 1952 yang dilakukan kelompok ”Perwira Bebas” pimpinan Letkol Gamal Abdel Nasser atas Raja Faruk pada 23 Juli 1923. Nasser lalu mengangkat Jenderal Mohammad Naguib sebagai presiden pada 18 Juni 1953. Ironisnya, Nasser malah mengudeta Naguib pada 1954. Nasser lalu membawa Mesir ke kemerdekaan penuh pada 18 Juni 1956 dan memberlakukan Nasserisme, sosialisme ala Mesir, yang dalam banyak hal terus bertahan.
Kini, di tengah transisi menuju demokrasi, jika ada kekuatan paling solid, terorganisasi, dan memiliki kepentingan terbesar pasca-Mubarak adalah militer. Militer Mesir pada masa Mubarak memiliki banyak ”hak istimewa”. Militer praktis mendominasi lanskap politik, juga kehidupan ekonomi, khususnya lewat para purnawirawan yang memanfaatkan program infitah, ”liberalisasi” ekonomi Mesir sejak 1990-an.
Fragmentasi ”civil society”
Bertolak belakang dengan militer, kekuatan-kekuatan prodemokrasi sangat terfragmentasi atas dasar ideologi dan kepentingan masing-masing. Saling curiga sangat kuat antara satu kelompok dan lainnya. Setiap pihak berusaha mengambil kesempatan untuk kelompoknya sendiri, mengabaikan kelompok lain yang mereka curigai.
Dalam pada itu, tidak ada pula figur yang betul-betul menonjol dan memiliki leverage yang kuat. Ada Mohamed ElBaradei, mantan Direktur Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA), tetapi ia dianggap tak berakar di masyarakat Mesir sendiri. Ada pula Amr Mousa, Sekjen Liga Arab, tetapi ia dipandang gagal memimpin Liga Arab. Lalu, ada Ayman Nour, pemimpin Partai Al Ghad, tetapi dipandang ”terlalu” sekuler. Terakhir, ada Muhammad Badie’, pemimpin puncak Ikhwanul Muslimin, tetapi banyak kalangan menolaknya karena dianggap bakal membawa Mesir menjadi negara islamiyyun, fundamentalis.
Pada saat sama, Mesir tidak memiliki civil society yang kuat. Negara ini hanya memiliki LSM advokasi yang amat terbatas karena mereka terpangkas habis semasa Mubarak. Jika ada NGO, itu pun hanya dalam bentuk asosiasi kalangan profesional semacam persatuan buruh, para dokter, atau guru-guru yang umumnya bersikap nonpolitis dan lebih tertarik pada agenda profesi masing-masing. Mereka tidak memiliki sejarah aktivisme politik.
Mesir juga tidak memiliki sejarah aktivisme kampus yang dapat memunculkan figur kepemimpinan alternatif. Hal ini tidak lain karena kampus-kampus sepenuhnya telah terkooptasi. Bahkan, Universitas Al-Azhar, yang sejak akhir abad ke-19 sampai 1950-an menjadi pusat gerakan pembaruan, terkooptasi secara hampir sempurna sejak Presiden Nasser menasionalisasikannya pada 1961. Sejak itu, Al-Azhar lazimnya menjadi kekuatan legitimasi dan justifikasi kekuasaan rezim demi rezim otoritarianisme.
Dengan begitu, transisi Mesir menuju demokrasi bukan proses yang mudah dan sederhana. Tumbangnya kekuasaan Mubarak bahkan hanya awal dari proses transisi yang boleh jadi sangat rumit, sulit, dan melelahkan.
Jika benih demokrasi bisa bertahan, tidak ada alternatif lain kecuali kekuatan-kekuatan pro- demokrasi kembali merapatkan langkahnya. Gerakan rakyat dan civil society, betapa pun lemahnya, seyogianya tetap memantau dan melakukan tekanan seperlunya untuk memastikan tidak terjadinya persekutuan dan konspirasi antara kekuatan politik tertentu dan militer. Jelas pula, kekuatan politik sipil mesti mengupayakan solidaritas di antara mereka. Jika tetap terfragmentasi, mereka berarti melapangkan jalan bagi kelanjutan rezim militer yang kali ini sangat boleh jadi atas nama demokrasi.
Azyumardi Azra Guru Besar Sejarah; Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta
Opini Kompas 16 Februari 2011