15 Februari 2011

» Home » Kompas » Opini » Epidemi Tabalbul

Epidemi Tabalbul

Jika menyimak riwayat kehancuran suatu negara, Indonesia sepertinya telah masuk pada ”zona kuning”. Artinya harus hati-hati dan waspada karena fenomena yang terjadi belakangan ini rasanya tak beda jauh dengan apa yang pernah jadi pemicu keruntuhan Babilonia, sekitar lima ribu tahun sebelum Masehi.
Babilonia, sebagaimana kita tahu, dulu adalah negara yang besar dan kuat. Negara ini terletak di lembah Mesopotamia di sepanjang aliran Sungai Eufrat dan Tigris, yang mencapai era keemasan ketika dipimpin oleh Hammurabi. Dialah pencipta Code Hammurabi yang merupakan undang-undang tertulis pertama di dunia.
Namun, sejarah mencatat, negara yang namanya tertulis dalam kitab suci perjanjian lama itu akhirnya roboh hanya gara-gara elite penguasa ”keseleo lidah” dalam menyampaikan informasi (baca: memolitisasi isu/peristiwa). Akibatnya, muncul perbedaan pandangan di tengah masyarakat hingga menyulut lahirnya perdebatan berkepanjangan.
Karena keseleo lidah itu terjadi berulang-ulang, perdebatan pun melantur ke mana-mana dan melenceng jauh dari substansi persoalan utamanya. Berbagai isu ataupun rumor kemudian bertaburan tak jelas sumbernya. Ujungnya, pertikaian terjadi hingga meletus perang saudara. Babilonia akhirnya lenyap sebagai sebuah bangsa.
Menariknya, kehancuran Babilonia ini seolah tak saja meninggalkan tulah bagi negara-negara yang (mencoba) berdiri di bekas reruntuhannya. Penyebab kehancuran itu sendiri menjadi seperti wabah yang menyebar ke sejumlah negara di dunia. Oleh orang Arab, penyebab itu kemudian dinamai penyakit tabalbul. Sementara orang Belanda menyebutnya babylonische taalverwaring.
Bibit pertikaian
Mirip Babilonia—sulit dimungkiri—Indonesia kini juga tengah dilanda silang sengkarut perdebatan. Berbagai isu atau rumor bertaburan, seiring dengan pekatnya nuansa politisasi terhadap suatu peristiwa yang muncul bertubi dan tindih-menindih. Mulai dari kasus Antasari, kriminalisasi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Century, Gayus, Cikeusik, hingga Temanggung.
Bahkan, perdebatan itu menjurus pada saling tuduh hingga memicu polemik yang tak jelas lagi ujung pangkalnya. Simak saja, terkait kritik atau masukan yang dilontarkan para pemuka agama, medio Januari silam. Semestinya, kritik yang berisi 18 kebohongan pemerintah itu bisa dijadikan bahan evaluasi untuk memperbaiki kinerja penyelenggara negara. Akan tetapi, yang terjadi justru kritik itu disikapi dengan serentetan ”serangan balik”.
Apa yang terjadi itu sekilas memang terlihat biasa. Terlebih di alam demokrasi seperti Indonesia yang memang memberi ruang longgar untuk menyampaikan pendapat. Namun, jika kita simak secara cermat, fenomena tersebut adalah tanda-tanda terjangkitnya penyakit tabalbul, yang jika dibiarkan saja ”virusnya” akan menyebar dan semakin luas menggerogoti sendi-sendi kehidupan bangsa.
Satu dampak yang sekarang sejatinya sudah mulai tampak adalah tumbuhnya bibit-bibit pertikaian di antara elite. Kasus Gayus, misalnya. Dalam perkembangannya, kasus ini tidak saja memunculkan aneka rupa spekulasi, tetapi juga telah menempatkan dua pihak dalam kubu yang saling berhadapan dan saling ”serang”, yakni antara (Ketua) Satgas Pemberantasan Mafia Hukum di satu sisi dan (elite) partai politik di sisi lain.
Pertikaian antara Satgas dan partai politik itu tentu tak bisa dibaca dengan kacamata kuda. Sebab, hemat saya, dengan kentalnya nuansa politisasi saat ini, bukan tidak mungkin kasus itu berkelindan dengan persoalan atau juga kepentingan lainnya. Ini artinya, bukan tidak mungkin pertikaian-pertikaian antarelite akan semakin meluas.
Jika demikian yang terjadi, bukan mustahil persoalan di level elite itu akan merembet ke bawah. Rakyat yang selama ini jadi penonton bereaksi. Reaksi yang ditunjukkan memang bisa tetap apatis dengan keadaan. Akan tetapi, bukan tidak mungkin akan muncul ”kemuakan kolektif” terhadap perilaku elite hingga mereka melakukan ”perlawanan”.
Di luar itu, sikap rakyat bisa juga terbelah hingga mereka saling berhadapan dan terjadi benturan. Hal ini dimungkinkan mengingat karakteristik rakyat Indonesia yang belum sepenuhnya melihat keadaan dengan berkiblat pada kenyataan. Masih banyak yang karena fanatik terhadap seorang tokoh, misalnya, mengesampingkan ”benar-salah”. Juga, tak sedikit yang mudah terseret hasutan hanya karena mendapat iming-iming yang tak seberapa.
Benturan antar-rakyat inilah yang amat mencemaskan. Jika kondisi ini tak diantisipasi sedari dini, bayang-bayang kehancuran Babilonia tak pelak akan menghantui negeri ini.
Penguatan demokrasi
Sebagai bentuk antisipasi, ketegasan pemimpin (juga elite-elite penguasa) adalah sebuah keniscayaan. Ketegasan ini tentu harus dibaca dalam konteks luas, tak saja menyangkut ketegasan dalam membela kebenaran, menegakkan keadilan, ataupun dalam konteks melindungi dan memperjuangkan hak dan kepentingan rakyat. Juga ketegasan dalam memperkuat sekaligus menyempurnakan fondasi/bangunan demokrasi sebagai sistem yang sudah menjadi pilihan.
Harus diakui, demokrasi di Indonesia kini sedang tumbuh. Akan tetapi, pertumbuhan itu sendiri sepertinya masih cenderung pada tataran kuantitas dan belum banyak menyentuh pada aspek kualitas. Banyak aturan dibuat, tetapi dalam tingkat implementasi sangat lemah. Bahkan, dalam praktiknya, prinsip-prinsip dalam berdemokrasi justru banyak dikelabui. Kian suburnya praktik politik uang dalam pilkada, atau juga maraknya politisasi isu dengan memanfaatkan kebebasan pers seperti sekarang, adalah indikatornya.
Di luar ketegasan tersebut, tak kalah penting adalah terbangunnya kesadaran nasional untuk secara bersama menentukan langkah, arah, sekaligus tujuan negara ke depan. Harus kita sadari, selain kita tak memiliki cetak biru, nasib negara ini sepertinya hanya bergantung pada visi-misi presiden. Ini tentu amat berisiko, terlebih jika presiden telah terjebak pada soal pencitraan. Mudah-mudahan epidemi tabalbul segera lenyap dari negeri ini.
Pramono Anung Wibowo Wakil Ketua DPR RI
Opini Kompas 16 Februari 2011