Euforia. Mungkin, itulah kata yang paling tepat menggambarkan keadaan bangsa ini saat ini berkaitan dengan Kejuaraan AAF 2010.
Memang, itu sangat beralasan. Sudah begitu lama bangsa ini menantikan sebuah tim sepak bola nasional yang pantas untuk dibanggakan. Rakyat Indonesia sudah lama kehausan akan sebuah gelar dari cabang sepak bola, cabang olah raga yang paling populer dan paling merakyat ini.
Hampir semua orang membicarakan sepak bola saat ini, dari anak kecil hingga orang lanjut usia. Laki-laki atau perempuan sama saja semangatnya. Berita mengenai kehebatan tim sepak bola kita ini pun menghiasi hampir separuh halaman depan surat kabar. Televisi dan radio saban hari memberitakannya. Semuanya bercerita mengenai kehebatan. Jadilah pemain dan pengurus tersanjung.
Pujian kepada tim yang dijuluki tim garuda ini mengalir deras. Para pemainnya pun mendadak menjadi selebritis. Tak cukup sampai di situ, keluarganya pun menjadi tak kalah tenarnya.
Undangan untuk wawancara terus berdatangan. Akibatnya, konsentrasi pemain terganggu. Alfred Riedl, pelatih tim PSSI, konon merasa gerah dengan keadaan ini.
Dukungan terus berdatangan. Ada yang mendukung dengan doa. Gencarnya dukungan doa mengesankan kita seolah-olah mendesak Tuhan. Mungkin, ada yang harus menjual sepeda motor agar bisa menonton pertandingan di Malaysia. Ada yang berjanji menyukur bulu ketiak jika tim garuda juara. Ada juga yang sekedar mendukung dengan alasan yang tidak ada kaitannya dengan sepak bola. Si Irfan Bahdin, misalnya, didukung oleh banyak gadis-gadis karena kegantengannya. Semua ini membuat perasaan para jago sepak bola kita makin melambung ke angkasa.
Banyak orang yang berupaya memanfaatkan kesempatan ini. Ada yang berupaya memunculkan kesan bahwa mereka punya andil dalam keberhasilan ini, seperti pahlawan kesianganlah. Konon, histeria sepak bola ini mulai diseret-seret ke urusan politik. Ya, ampun!
Di saat kegembiraan sedang mencapai ubun-ubun, tiba-tiba berita tak enak datang. Tim garuda Indonesia keok dipanah Tim Malaysia. Skornya pun tak tanggung-tanggung, 3-0. Seantero negeri berduka. Teman sekantor saya sampai-sampai tak bisa tidur karenanya. Dan, seperti biasa, tuding-menuding dan salah menyalahkan ramai bermunculan.
Kita lupakan dulu kekalahan yang menyakitkan ini dan kembali ke euforia tadi. Euforia berasal dari kata dalam Bahasa Inggris ‘euphoria’ (well-being). Euphoria sendiri diserap dari Bahasa Yunani Kuno, yaitu ‘euphoros’, yang berarti perasaan atau kebahagiaan besar atau perasaan nyaman.
Lalu, apa kaitannya dengan kekalahan kita di Malaysia?
Dalam bukunya yang berjudul "Good-to-Great", James C Collins mengingatkan para pemimpin perusahaan agar jangan terlena dengan euforia ‘well-condition’. Mereka menjadi puas sendiri. Mereka lupa bahwa para pesaing sedang mengintai.
Analog dengan perusahaan yang disebutkan Collins, tim PSSI saat ini sedang terlena dengan pujian, sanjungan, dan kegembiraan. PSSI sedang menikmati betul posisi nyamannya. Mereka lupa bahwa setiap saat hempasan ombak lawan siap menghanyutkan.
Mungkin, para pembaca pernah mendengar cerita "Katak, si hewan percobaan yang terlena". Ceritanya begini. Seekor katak untuk bahan percobaan dimasukkan ke dalam wadah berisi air dingin. Si katak pun merasa nyaman-nyaman saja. Dia tidak sadar bahwa air dalam wadah sedang dipanasi perlahan-lahan. Sesekali, si katak masih ‘bernyanyi’ dengan suara baritonnya. Dia tidak menyadari
bahwa maut telah mengintai. Apakah tim PSSI kita sedang merasakan seperti yang dialami katak tadi? Silahkan pembaca menimbang-nimbangnya!
Pada dasarnya, manusia memang suka pujian. Karena itulah, manusia berupaya keras untuk mencapai keberhasilan. Salah satu tujuannya adalah, itu tadi, pujian. Akan tetapi, ada kalanya pemberi pujian tidak tahu diri, kebablasan. Pujiannya berlebihan. Akibatnya, yang dipuji jadi lupa diri, terlena. Dalam sepak bola, misalnya, akibat dari semua itu adalah lengah, rasa percaya diri yang berlebihan, atau perasaan sepele terhadap lawan.
Pujian yang berlebihan juga mengakibatkan munculnya kesombongan, perasaan lebih hebat, lebih pintar. Pujian juga menimbulkan kepuasan egois. Seperti pemicu lain bagi euforia, orgasme, para pemain kita merasa nikmat dan puas sendiri, layaknya orang bermasturbasi.
Ketika kepada teman saya yang tidak bisa tidur tadi saya tanyakan mengapa dia sampai-sampai tidak bisa tidur, dia berkata: "Saya tidak bisa terima kita kalah 3-0, kalau 1-0 atau 2-1, bolehlah". "Mereka bertanding seperti bukan tim yang selama ini berlaga", tambahnya lagi.
Menurut saya, teman itu benar. Pemain kita seperti masih diliputi euforia, rasa senang-senang dan nyaman. Akibatnya adalah kepercayaan diri yang berlebihan. Dan, ini adalah buah dari pujian dan sanjungan tadi.
Tim kita memang terlalu banyak mendapat pujian dan sanjungan yang membuat mereka merasa terbang tinggi jauh di angkasa. Mereka pun tidak tahu di mana lagi kaki berpijak. Padahal, kita lupa bahwa Titik Puspa, melalui Eddy Silitonga, jauh-jauh hari telah mengingatkan kita bahwa pujian dapat menghancurkan dan meluluhkan hati yang tiada iman.Opini Analisa Daily 29 Desember 2010