28 Desember 2010

» Home » AnalisaDaily » Opini » Pelajaran dari Bukit Jalil

Pelajaran dari Bukit Jalil

Di Balik kekalahan Pasukan Garuda di Stadion Bukit Jalil, ada beberapa faktor yang menyebabkannya. Tiga faktor diantaranya: euforia kemenangan, media, dan disiplin pemain.
Ditengah karut-marutnya persoalan dalam negeri yang datang bertubi-tubi, menyebabkan masyarakat menjadi kehilangan kepercayaan kepada Pemerintah. Rasa frustasi atau rasa haus akan suatu kebanggaan kolektif yang dapat ditonjolkan, apalagi perbaikan kesejahteraan, tidak masyarakat dapatkan dari kinerja semua lembaga-lembaga baik legislatif, eksekutif, yudikatif, kepolisian, kejaksaan dan bahkan yang terakhir.
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang masih dipercayai masyarakat, juga ditimpa isu korupsi. Rasa haus akan kebanggaan kolektif yang telah lama tidak didapatkan, akhirnya bermuara ketika tim PSSI mengukir prestasi yang luar biasa dalam babak penyisihan di Piala AFF ini.
Bangkitnya rasa bangga, gembira, suka cita disertai dengan bangkitnya semangat nasionalisme adalah sesuatu yang wajar, baik dan perlu. Rasa bangga dan nasionalisme situasional ini merupakan luapan emosi yang terpendam bertahun-tahun dalam lubuk hati masyarakat Indonesia yang haus akan prestasi
Sepakbola Indonesia. Ditambah dengan rasa haus dan frustasi terhadap kinerja lembaga Pemerintah, yang tidak mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat banyak. Semuanya bermuara pada kesebelasan PSSI. Luapan emosi kegembiraan ini, gagal dimanage dengan baik. Akhirnya, energi yang positif ini berubah menjadi euforia yang menjadi energi negatif.
Media Memberi Andil Kekalahan PSSI?
Faktor kedua, kekalahan pasukan PSSI adalah media. Media, selain berperan meningkatkan rasa bangga, meninggikan rasa nasionalisme dan menyatukan seluruh energi bangsa untuk mendukung kemenangan kesebelasan PSSI, tidak dapat dimungkiri-secara langsung atau tidak langsung- berperan juga di dalam kekalahan pasukan Garuda.
Media juga ditengarai, sangat euforia memberitakan kemenangan-kemenangan spektakuler pasukan Garuda yang membantai Malaysia 5-1 dan Laos 6-0 di babak penyisihan. Euforia media tidak berakhir dalam pemberitaan itu saja, euforia itu berlanjut dengan mengekspos dan memburu para pemain-pemain Indonesia saat latihan bahkan sampai di kamar hotel.
Pengejaran media terhadap pemain-pemain sampai ke kamar hotel, tentu saja menganggu konsentrasi dan waktu istirahat pemain. Konsentrasi pemain akan buyar dan tidak fokus kepada pertandingan karena dimabuk wawancara dan euforia kemenangan yang akan mengangkat dan melambungkan nama pemain yang diekspos.
Kebugaran pemain di lapangan juga akan terganggu dengan wawancara di kamar hotel, karena di kamar hotel itulah, seharusnya pemain relaks dan beristirahat sehingga mereka akan memiliki stamina yang baik ketika bertanding. Euforia media ini telah berkali-kali mendapat komplain dari pelatih Alfred Riedl yang bersikap tegas dalam menegakan disiplin pemain.
Displin Pemain
Euforia media dalam mengekspos pemain-pemain Indonesia, tidak dapat kita salahkan begitu saja. Sebab, media tugasnya adalah menerbitkan berita dan membentuk opini masyarakat. Berita-berita yang istimewa, eksklusif dan ter update tentu akan meningkatkan oplah media tersebut. Persaingan media akhir-akhir ini sangat keras dan berat. Oleh karenanya, media berlomba-lomba mencari berita-berita yang terbaru untuk menarik minat pembaca agar menoleh ke medianya.
Profesionalisme pemain, dalam hal ini, juga memberi andil di dalam kekalahan Indonesia di stadion Bukit Jalil. Pemain profesional akan membatasi dirinya untuk diberitakan berlebih-lebihan agar tidak mengganggu keutuhan, kekompakan dan konsentrasi tim.
Selain itu, pemain profesional juga akan menolak wawancara yang dapat mengganggu waktu istirahatnya. Waktu istirahat ini sangat perlu bagi pemain untuk meningkatkan kebugaran dan konsentrasi di lapangan nantinya.
Dalam hal profesionalisme, kita perlu menengok pelatih Alfred Riedl yang berani mengambil sikap untuk menolak undangan dari Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) untuk bersantap malam. Alfred Riedl menunjukkan sikap profesionalisme, meskipun mungkin sikapnya dapat menyinggung perasaan orang yang ditolaknya.
Sikap Alfred Riedl adalah sikap profesionalisme, bukan sikap arogan karena dimabuk kemenangan. Riedl mencoba menjaga konsentrasi dan kebugaran pemain agar dapat meraih kemenangan dalam pertandingan. Seandainya, Riedl tidak bersikap tegas, barangkali kesebelasan kita tidak akan melaju ke partai final.
Kekalahan Kesebelasan PSSI sedikit banyak juga dikarenakan sikap tidak seportifnya para supporter kesebelasan Malaysia. Supporter Malaysia menunjukkan sikap yang kurang terpuji dengan mengganggu konsentrasi pemain Indonesia dengan menyorotkan sinar laser ke mata pemain Indonesia.
Diantaranya yang tertangkap kamera adalah menyorot mata penjaga gawang kita, Markus. Markus sempat memprotes dua kali dan protes ini ditanggapi oleh wasit yang sempat menghentikan pertandingan pada menit ke-54.
Namun, tindakan ini tidak perlu kita balas ketika kesebelasan Malaysia bertandang ke Stadion Gelora Bung Karno, tanggal 29 Desember untuk melanjutkan pertandingan Piala AFF Leg 2 atau putaran kedua.
Kemenangan memang kita impikan dan dambakan, tetapi kita mendambakan kemenangan yang sportif, jauh dari sikap curang, dan kemenangan yang elegan dan berwibawa. Kemenangan itulah, yang patut kita raih dan kebanggaannya tidak akan dicemari atau dinodai oleh perilaku penonton yang tidak terpuji.
Garuda Tegakkan Kepalamu
Garuda tegakkanlah kepalamu, perjuanganmu dalam mengharumkan nama bangsa dan Negara Indonesa, kami puji dan kami bangga padamu. Engkau telah berjuang semaksimal mungkin dalam membela merah Putih. Jasamu akan kami kenang selalu.
Apapun hasilnya pertandingan pada putaran kedua, kami tetap bangga padamu. Berjuanglah sampai titik darah penghabisan. Jangan kendor semangatmu, jangan surut nyalimu selangkahpun. Kami, bangsa dan masyarakat Indonesia akan mendukungmu.
Kami, 235 juta penduduk Indonesia berada di belakangmu. Terima kasih juga kepada Alfred Riedl, engkau juga telah mengajarkan kepada kami, apa arti dari kata: "DISPLIN". Kendati banyak orang yang telah kau sakiti hatinya, karena sikapmu yang tegas dalam menegakan disiplin.
Ayo, Garuda masih ada 90 menit lagi..! ***

Opini Analisa Daily 29 Desember 2010