28 Desember 2010

» Home » Kompas » Opini » Menteri Harus Refleksi?

Menteri Harus Refleksi?

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengingatkan para menteri untuk melakukan evaluasi dan refleksi akhir tahun. Evaluasi dan refleksi adalah sebuah frase yang sarat dengan arti mendalam dan menantang jikalau mau dimengerti dengan sungguh-sungguh.
Pernyataan Presiden sangat fundamental dan mengandung konsekuensi yang tidak ringan. Pasti para menteri yang cerdas dan arif, lantaran diajukan oleh partainya atau dipilih oleh Presiden, memahami seluruh konsekuensi yang tersirat.
Evaluasi adalah sebuah kata yang sangat lazim didengar. Seseorang biasa diminta membuat evaluasi atas kinerjanya demi perbaikan lebih lanjut. Kurang lebih melalui evaluasi akan diketahui segi positif, negatif, rintangan, dan tindak lanjut yang perlu dilakukan demi perbaikan atau pencapaian sebuah tujuan. Seseorang yang cerdas akan dengan sangat mudah dan jeli menyusun dan melaksanakan sebuah penilaian semacam itu.
Refleksi lain dengan evaluasi. Refleksi mengandalkan usaha serius untuk mengandalkan peran hati. Refleksi menuntut keterbukaan hati pelaku bagi keberlangsungan proses mencecap setiap makna yang muncul atas kinerja yang sudah dilakukan. Mencecap dan menemukan makna terdalam kinerja itulah inti sesungguhnya dari refleksi. Jadi, refleksi bukanlah semata-mata sebuah usaha melihat kembali apa-apa yang telah diperbuat seperti yang telah biasa terjadi selama ini.
Membuka hati
Karena refleksi mensyaratkan kesediaan diri membuka hati seluas-luasnya atas kinerja, maka diperlukan kerelaan menciptakan suasana yang diperlukan untuk mendukung terlaksananya kegiatan refleksi. Suasana yang termaksud adalah keheningan. Hening bukanlah berarti tidak ada suara atau sepi. Hening artinya berdiam diri memusatkan perhatian untuk mendengar nuraninya.
Pertanyaan reflektif yang dapat membantu berefleksi antara lain: dari kinerjaku selama ini, makna kemanusiaan atau kemasyarakatan manakah bagi bangsa Indonesia? Motivasi atau dorongan atau keinginan mana yang mendasari kinerjaku selama ini? Pertanyaan reflektif semacam itu dapat diperluas tentunya. Namun, yang pokok adalah bahwa kegiatan refleksi bukanlah kegiatan yang mengandalkan peran akal budi. Yang harus lebih dikedepankan adalah peran nurani. Jujur mendengarkan nurani.
Tantangan berefleksi tetap ada. Bahwa untuk mahir berefleksi, seseorang mesti mempunyai kebiasaan berefleksi. Kegiatan ini tidaklah serta-merta dapat dijalankan begitu saja. Refleksi menuntut kebiasaan berlatih. Pelatihannya, ya, melalui refleksi itu sendiri.
Jika jadi kebiasaan
Refleksi akan dirasakan bermanfaat jikalau ia menjadi kebiasaan. Jikalau seseorang tidak biasa mendengarkan nuraninya, bagaimana mungkin dia dapat mengenalinya. Meskipun belum pernah menjalankan refleksi, seseorang akan merasa perlu meningkatkan kinerjanya demi perwujudan dari jabatan yang disandangnya.
Sewaktu penulis menjabat sebagai direktur sebuah sekolah swasta di Jakarta, setiap jam setelah pulang sekolah setiap peserta didik diajak pelatihan refleksi di dalam ruang kelas. Peserta didik diajak hening mendengarkan nuraninya dengan jujur untuk mencecap seluruh pengalaman pada hari itu.
Peserta didik diajak menarik makna pengalaman pada hari itu. Maksudnya adalah agar makna atau arti dari pengalaman yang berharga pada hari itu tidak terbuang percuma atau berlalu begitu saja.
Makna yang mereka dapatkan lantas dikaitkan dengan peran Yang Ilahi. Maksudnya adalah agar peserta didik tidak asing dengan ”embusan napas” Yang Ilahi yang mereka imani. Singkat kata, melalui refleksi, peserta didik diajak akrab dengan sentuhan Yang Ilahi dalam hidupnya. Dengan begitu, diharapkan nuraninya semakin terdidik dan pada akhirnya mereka akan tertata dalam berpikir, berbicara, mengambil keputusan, dan bertindak.
Para menteri bukanlah peserta didik. Mereka adalah pribadi yang matang dalam segala hal. Oleh karena itu, ajakan Presiden agar mereka berefleksi tidaklah akan menyulitkannya. Malahan bolehlah berharap bahwa selanjutnya mereka akan menjadi pribadi reflektif yang arif bijaksana.
Pantas juga ditambahkan kepada para menteri bahwa Presiden SBY pastilah tidak memaknai refleksi dengan refleksologi. Maksud saya, agar jangan sampai ada pelesetan yang tidak perlu.
Baskoro Poedjinoegroho Pendidik dan Pengamat Pendidikan, Tinggal di Jakarta

Opini Kompas 29 Desember 2010