Menilai kebebasan pers sepanjang tahun 2010, tentu tak cukup hanya dengan mengukur indeks kebebasan pers, yang biasanya menggunakan parameter frekuensi tindak represi fisik maupun upaya–upaya kriminalisasi karya jurnalistik.
Sepanjang tahun 2010, Komnas HAM mencatat setidaknya telah terjadi tindak kekerasan sebanyak 46 kali terhadap para jurnalis. Kekerasan itu mulai dari tindak intimidasi, penganiayaan, pembunuhan, hingga kekerasan massa dalam konteks konflik dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah. Sedangkan kasus gugatan hukum yang paling fenomenal terjadi ketika delapan media, yakni Kompas, Kompas.com, RCTI, Republika, Detik.com, Seputar Indonesia, Warta Kota, dan Suara Pembaruan, digugat perdata oleh Raymon Teddy sebagai buntut pemberitaan atas peristiwa penggrebekan Raymon oleh polisi pada 24 Oktober 2008 di Hotel Sultan, Jakarta. Raymon merasa namanya dicemarkan karena dirinya disebut sebagai "bos judi" oleh pemberitaan delapan media tersebut. Nilai gugatan yang diajukan Raymond tidak main-main, antara US$ 10 juta sampai US$ 30 juta.
Kekerasan terhadap jurnalis tentu saja mengancam kebebasan pers. Soalnya ketika jurnalis mengalami tekanan, maka sedikit banyak akan berpengaruh terhadap karya jurnalistik yang dihasilkan. Sedangkan gugatan hukum perdata, dengan menggunakan dalil pencemaran nama perdata (civil defamation) yang kerap dituntut dengan nilai ganti rugi yang tidak proporsional, juga dapat menimbulkan efek ketakutan yang meluas (ceiling effect) yang pada ujungnya membuat pers melakukan swasensor (self-censorship). Selain itu, gugatan dengan nilai kerugian yang terlalu besar juga berpotensi membangkrutkan perusahaan media.
Namun menilai kebebasan pers juga dapat dilihat dari sejauhmana profesionalisme media pers dalam pemberitaan mereka. Hal ini tak lain karena kebebasan pers selalu mengandung dua dimensi, yaitu bebas dari (freedom from), dan juga bebas untuk (freedom for).
Abai terhadap Etika Liputan
Namun acapkali, aktivis kebebasan pers, termasuk jurnalis sendiri, kurang mau merefleksi kebebasan pers dengan meneropong secara objektif kinerja mereka dalam menjalankan kaidah pers bebas, atau ketika mereka menjalankan tugas jurnalistiknya. Yang dimaksud tugas jurnalistik di sini adalah metode kerja jurnalis mulai dari proses mencari, melakukan observasi, wawancara, sampai proses mengolah fakta menjadi informasi jurnalisme.
Proses mengumpulkan fakta di lapangan oleh jurnalis, dalam prakteknya kerap memunculkan persoalan-persoalan etis antara jurnalis dengan narasumber. Misalnya soal sikap jurnalis yang kerap kurang mengindahkan etika atau sopan-santun ketika "memburu" narasumber. Atau perilaku jurnalis yang tidak mengindahkan aturan yang berlaku pada institusi yang menjadi objek liputan. Persoalan etika seperti itu sering mengakibatkan salah paham antara jurnalis dan narasumber, bahkan tak jarang menimbulkan konflik kekerasan.
Tentu saja hak jurnalis untuk mencari fakta, karena hal itu memang dijamin UU Pers No. 40 Tahun 1999. Namun jaminan konstitusi itu tak lantas membuat jurnalis abai terhadap aturan institusi yang menjadi objek liputan, atau bisa bertingkah laku seenaknya atas nama klaim kebebasan pers! Yang dibutuhkan adalah masing-masing pihak bisa saling memahami aturan main yang ada, sehingga bisa saling menghargai otonomi mereka.
Akurasi Yang Kedodoran
Jurnalis jelas bukan malaikat. Karena itu wajar jika mereka bisa melakukan kesalahan. Yang paling sederhana kesalahan teknis. Misalnya salah menulis kata "bisa" menjadi "basi". atau yang pernah membuat heboh dan menimbulkan amuk massa ke sebuah kantor media. Kata "nabi" tercetak "babi".
Bersihar Lubis, Pemimpin Redaksi Medan Bisnis, punya jawaban. Hampir setiap hari redaktur harus "mempelototi" puluhan ribu kata di layar komputer. Tentu saja ada satu atau dua kata yang lolos. Apalagi jika mata redaktur sudah rabun.
Tapi seperti keledai yang tak mau masuk ke lubang dua kali, hal itu tak serta merta dijadikan pembenar untuk mengulangi kesalahan sama di lain waktu. Intinya, pers harus mau koreksi diri agar akurasi tak kedodoran.
Mari ambil contoh sederhana, tapi maha penting. Misalnya penulisan orang yang divonis oleh pengadilan karena kasus hukum tertentu. Surat kabar kerap menulis dengan judul berita "Si A Divonis 1,5 Tahun". Dalam tubuh berita diuraikan bahwa akibat perbuatannya si A dihukum selama 15 bulan. Sekilas tak ada yang salah antara lama vonis dalam judul dengan yang terdapat dalam tubuh berita judul. Tapi jika dicermati, 1,5 tahun itu sebenarnya 12 bulan plus 5 bulan, atau 17 bulan.
Kenapa? Karena angka 0,5 di belakang angka 1 artinya 5/12, atau sama dengan 5/12 kali 12, atau 5 bulan. Itu karena satu tahun ada 12 bulan, bukan 10 bulan. Ini adalah contoh akurasi sederhana. Kelihatannya sepele, tapi bisa membingungkan pembaca. Sayangnya, beberapa surat kabar di Medan, terus-menerus mengulang kesalahan yang sama.
Soal lain adalah menyangkut berita kriminalitas, khususnya peristiwa pembunuhan. Acap ditemukan, berita pembunuhan hanya bersumber dari keterangan polisi semata. Tapi canggihnya, pers dapat menggambarkan secara detil tubuh korban kekerasan. Bahkan terkadang sampai menabrak etika soal larangan memberitakan sadisme. Contohnya kutipan teks berita berikut: "mendapat hujaman parang dan cangkul, akhirnya korban terkapar bersimbah darah di lantai".
Lebih dari sekedar menimbulkan sadisme, berita kriminal semacam ini juga sering menimbulkan pertanyaan etis lainnya: darimana jurnalis mengetahui bahwa korban mendapat hujaman parang dan cangkul?
Tentu saja jurnalis tak hadir ketika peristiwa pembunuhan terjadi. Keterangan polisi, adalah sumber utama berita jurnalis. Di sinilah persoalan akurasi bisa muncul. Bagaimana seandainya korban meninggal bukan karena disebabkan ayunan cangkul dan parang?
Itulah. Sekalipun polisi adalah aparat yang memiliki otoritas memeriksa tersangka, dan informasi polisi berasal dari hasil pemeriksaan, namun menyangkut kebenaran fakta, jurnalis harus tetap melakukan verifikasi! Yang paling sederhana adalah dengan mendatangi ruang jenazah dan menanyakan kepada dokter yang ahli otopsi. Dari informasi tersebut, jurnalis baru bisa mendapatkan akurasi soal kondisi tubuh korban.
Bingkai Pemberitaan
Aktivitas jurnalisme bukanlah sekedar proses memindahkan realitas sosiologis menjadi realitas atau informasi media. Aktivitas jurnalisme, lewat cara pandang jurnalis terhadap peristiwa, mengakibatkan pers juga berperan mendefinisikan bagaimana realitas seharusnya dipahami. Dalam pandangan kaum konstruksionis, pilihan narasumber, pilihan kata (diksi), kalimat, foto, termasuk penempatan posisi berita, merupakan bagian dari politik pemberitaan yang menunjukkan arah keberpihakan pers. Dengan kata lain, lewat bahasa, media tidak sekedar menggambarkan realitas, namun bahasa juga menentukan gambaran-gambaran atau citra tertentu yang hendak ditanamkan kepada publik (second reality).
Mari simak pemberitaan beberapa surat kabar ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), melakukan penahanan terhadap H. Syamsul Arifin pada 22 November silam. Penahanan Syamsul Arifin sehubungan dengan langkah KPK yang telah menetapkan H. Syamsul Arifin sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dana APBD Langkat senilai Rp 102,7 miliar.
Peristiwa penahanan Syamsul Arifin oleh KPK, ternyata dimaknai secara berbeda-beda oleh surat kabar Medan. Ada surat kabar yang memandang penahanan tersebut sesuai dengan kewenangan (prosedur) hukum yang dimiliki KPK, tapi ada juga yang memaknai sebagai bentuk kejengkelan KPK terhadap sikap Syamsul yang dipandang tidak kooperatif selama pemeriksaan, serta ada juga surat kabar yang memaknai penahanan tersebut sebagai bentuk kesalahan prosedur yang dilakukan KPK.
Begitulah, bingkai pemberitaan terhadap satu peristiwa yang sama, tidak terlepas dari konteks politik-ekonomi yang melingkupi ketika fakta itu dikonstruksi. Media pers karenanya memang bukan lagi cermin dari realitas. Ia sudah menjadi kontruksi realitas. Lengkap dengan subyektifitas jurnalis, pengelola news room dan pemilik modal terhadap subjek berita yang diliputnya!
Kepentingan Publik
Sejatinya menurut Bill Kovach dan Tom Rosentiel yang menulis buku "Sembilan Elemen Jurnalisme", loyalitas utama jurnalisme adalah pada warga negara (publik). Dengan demikian, publik adalah "tuan" bagi jurnalisme. Jurnalis harus bekerja untuk kepentingan publik, bukan untuk kepentingan kekuasaan tertentu. Jurnalis harus jujur kepada publiknya. Keberpihakan terhadap seseorang karena kedekatan politik atau ekonomi, hakikatnya merupakan pengkhianatan terhadap kepercayaan publik. Karena dengan begitu, publik ditipu dengan sajian informasi-informasi yang telah dimanipulasi.
Begitulah, kebebasan pers memang tak melulu harus dinilai dari sisi bebas dari (freedom from) saja. Memang benar represi dan kriminalisasi karya jurnalistik harus dilawan. Namun kualitas kebebasan pers juga harus dilihat dari sisi bebas untuk apa (freedom for). Inilah kaca diri tahun 2010 yang harus dijawab komunitas pers pada tahun 2011.Opini Analisa Daily 29 Desember 2010