SAAT Tim Nasional (Timnas) Indonesia membabat Malaysia 5-1 di fase grup Piala AFF 2010, euforia kemenangan begitu membahana di seantero negeri.
Saat Timnas maju ke babak final, mabuk kemenangan seakan terjadi. Ada pimpinan partai politik yang berupaya mendompleng ketenaran dengan menjamu Timnas. Lucunya lagi, menurut seorang suporter Timnas yang menonton langsung pertandingan final leg pertama antara Indonesia melawan Malaysia di Stadion Nasional Bukit Jalil, Kuala Lumpur Malaysia, Minggu (26/12/2010), ada spanduk-spanduk ketua umum parpol yang terpampang di stadion tersebut. Pemberitaan pers nasional atas masuknya Timnas ke final Piala AFF 2010 memang gegap gempita.
Harian Seputar Indonesia (SINDO) akhir pekan lalu bahkan membuat judul berita utama yang membuat bulu kuduk merinding: ”Siap Tempur demi Harga Diri”(Sabtu, 25/12) dan ”Kami Datang, Kami Menang” (Minggu, 26/12) mirip dengan semboyan Alexander The Great di masa lalu yang menyatakan, ”Saya Datang, Saya Lihat, dan Saya Menang!” (Vini, Vidi,Vici).Tak salah memang karena judul-judul itu ditujukan untuk memompa semangat Timnas kita yang akan bertarung di Malaysia. Namun, begitu Indonesia dikalahkan Malaysia 3-0 pada pertandingan final pertama di Kuala Lumpur, Minggu (26/12/2010), judul-judul berita media cetak pun pada Senin (27/12/2010) berubah. Harian SINDO masih dengan semangat melalui judul ”Duel Penentuan di Gelora Bung Karno”, Media Indonesia memberi judul yang agak hati-hati, ”Timnas Mencemaskan,” sedangkan Kompas dengan headlinenya, ”Indonesia Perlu Belajar."
Presiden Minta Masyarakat Tetap Dukung Timnas. Tak ada euforia kemenangan, yang tertinggal adalah kesedihan akibat Timnas kita kalah. Pertarungan sebenarnya belumlah berakhir. Itu juga bukan ”kiamat” bagi Timnas kita. Timnas kita, seperti anjuran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tetap membutuhkan dukungan masyarakat secara sportif. Kita harus belajar dari kekalahan di Kuala Lumpur. Mari kita tunjukkan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang berbudaya, dapat tetap sportif di kala kita menjamu Timnas Malaysia pada laga kedua di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Rabu (29/12/2010).
Becermin dari Bola
Antara bola dan politik memang ada persamaannya. Ada beberapa butir penting yang bisa kita pelajari dari persepakbolaan kita. Pertama, masyarakat persepakbolaan kita dan masyarakat Indonesia pada umumnya merindukan ada pengurus PSSI yang benar-benar dapat diteladani. Kisruh mengenai kepengurusan di tubuh PSSI masih terus saja berlangsung.
Sampai saat ini masih terus dipertanyakan apakah Nurdin Halid masih pantas dan layak sebagai Ketua Umum PSSI? Pertarungan untuk memperebutkan kursi Ketua Umum PSSI juga belum berakhir. Ada elite politik yang juga memiliki kekuatan ekonomi memadai akan bertarung untuk memperebutkan posisi tersebut, termasuk dalam menyelenggarakan kompetisi tandingan liga sepak bola kita. Karut-marut manajemen persepakbolaan kita juga dapat menjadi cermin dari karut-marut pengelolaan politik negeri ini yang aktor-aktor politiknya sulit untuk bersatu menyatukan visi dan langkah untuk mencapai tujuan bersama bangsa kita. Kedua, pengurus PSSI dan elite politik negeri ini begitu mudah mabuk kemenangan atau keberhasilan, padahal negara-negara lain sudah melangkah lebih cepat dari kita.
Kita memang haus kemenangan karena selama sepak bola nasional kita tidak memiliki prestasi di tingkat regional dan dunia yang dapat dibanggakan. Masuknya Timnas Indonesia ke final Piala AFF seolah-olah sudah menjadi sesuatu yang membanggakan walaupun perjuangan sesungguhnya belum berakhir. Ketiga, masuknya Timnas kita ke final telah dijadikan ajang untuk mendompleng ketenaran, bukan saja bagi pengurus, melainkan juga bagi aktor-aktor politik nasional kita. Ini berarti terlalu mudah kita mencari ketenaran politik dari hasil yang telah dilakukan sekelompok kecil orang yang berusaha mati-matian untuk meningkatkan prestasi diri dan kelompoknya.
Kita juga mengabaikan prestasi kelompok olahraga lain seperti tim perahu naga Indonesia yang meraih prestasi tingkat Asia yang sangat membanggakan di Asian Games di Ghuangzhou, China, beberapa waktu lalu. Keempat, kemenangan Indonesia atas Malaysia 5-1 di fase grup menyebabkan kita lupa diri bahwa Timnas Malaysia dapat membenahi dirinya untuk tampil lebih baik lagi dalam melawan Indonesia, terlebih lagi di kandangnya sendiri. Ini dapat menjadi pelajaran bagi kita untuk juga secara cepat membenahi Timnas kita agar mampu mengembalikan kemenangan 5-1 pada laga final kedua nanti di Senayan, seperti yang pernah terjadi pada babak penyisihan lalu. Kekalahan Timnas kita di Kuala Lumpur pada Minggu (16/12) bukan akhir dari segalanya.
Kita masih dapat bangkit kembali untuk meraih kemenangan. Kalah atau menang melawan Malaysia nanti juga jangan diartikan sebagai hilangnya harga diri bangsa kita. Kita harus menjamu Timnas Malaysia bukan dengan balas dendam melakukan kecurangan dengan sinar laser atau berpakaian seronok yang dapat mengganggu konsentrasi lawan, melainkan dengan cara-cara sportif dan penuh persaudaraan. Malaysia bukan saja negara tetangga sesama anggota ASEAN, melainkan juga sepertiga rakyat Malaysia dan nenek moyangnya berasal dari Indonesia.
Mari kita dukung Timnas Indonesia untuk meraih kemenangan yang hakiki melawan Timnas Malaysia. Janganlah gara-gara kalah pada laga pertama, lalu kita tak berani lagi menyanyikan lagu Garuda di Dadaku. Kita tak boleh larut dalam kesedihan akibat kekalahan yang lalu. Mari bangkit dan tunjukkan bahwa Timnas kita adalah yang terbaik di Asia Tenggara. Kalaupun kalah, jangan emosi lalu melempari Timnas Malaysia dengan kayu atau benda-benda lain. Tunjukkan bahwa rakyat Indonesia adalah bangsa yang beradab.
Opini Okezone 29 Desember 2010
28 Desember 2010
Antara Bola dan Politik
Thank You!