Mundurnya dua petinggi Polri dan Kejaksaan Agung itu belum cukup mewakili eksistensi para ”buaya” dalam dua institusi tersebut. Apalagi, tidak segera ditetapkannya Anggodo Widjojo sebagai tersangka dengan alasan tidak cukup bukti memperkuat dugaan, masih ada ”buaya” lain yang bertahan di tubuh institusi penegakan hukum itu. Sementara keterangan Kapolri yang berbeda dengan temuan wartawan yang meliput hingga larut malam di Mabes Polri soal penahanan membuat rasa keadilan masyarakat dicabik-cabik.
Klimaks pembusukan hukum belum berakhir. Tak mengherankan rakyat dari hari ke hari kian muak dengan proses penegakan hukum yang miring. Dalam agenda 100 hari pemerintahan Presiden Yudhoyono, pemberantasan mafia hukum menjadi prioritas program yang hendak dijalankan (5/11). Program ini menjadi penting dan memiliki momentum amat tepat di tengah situasi merosotnya kepercayaan masyarakat kepada proses penegakan hukum, terutama memulihkan dukungan pemerintah terhadap pemberantasan korupsi dan eksistensi KPK.
Lalu, persoalan mendasar apa saja yang harus diselamatkan dalam situasi bobroknya penegakan hukum, khususnya dalam melawan mafioso di republik ini?
Ada sejumlah institusi negara yang harus serius diperhatikan karena terkait sistem pemberantasan mafia hukum.
Pertama, penopang terkuat lahirnya mafia hukum justru dari aparat penegak hukum. Pemberantasan mafia hukum bisa dimulai dari institusi kepolisian dan kejaksaan. Ada banyak petunjuk untuk menelisik eksistensi mafia pada dua institusi ini. Misalnya, menyelidiki dan mengurai isi rekaman sadapan KPK, cukup tepat dipakai sebagai pintu masuk membongkar sejumlah petinggi penegak hukum.
Istilah petinggi ”truno” dalam rekaman itu—menunjukkan keterlibatan aparat hukum dalam konspirasi penyuapan dan korupsi—harus bisa diidentifikasi dan diambil tindakan dan sanksi tegas. Begitu juga dalam dugaan suap yang muncul akhir-akhir ini, dapat diukur dari apakah Susno Duadji dan Ritonga, yang telah mengundurkan diri, akan diproses hukum secara layak, atau sebaliknya, dibebaskan tanpa pertanggungjawaban pidana.
Kedua, pemberantasan dilakukan di pengadilan. Pengadilan selama ini menjadi mata rantai tak terpisahkan bekerjanya mafioso dan makelar kasus hukum yang begitu mudah memperdagangkan putusan hakim. Pembersihan ini amat tak mungkin dilakukan tanpa membuka ketertutupan pengadilan karena keterbukaan menjadi sarana efektif untuk mengontrol dan melawan ketidakjujuran. Pembersihan mafia hukum di Mahkamah Agung adalah mendasar karena ada di pucuk institusi peradilan, dilanjutkan di jajaran lebih rendah. Ini berarti Mahkamah Agung harus bersih, berintegritas, dan jangan dipasok hakim- hakim yang terkontaminasi suap, korupsi, dan aneka putusan tak berkualitas.
Ketiga, korupsi yang begitu kronis dan terjadi sistematik harus dilihat sebagai situasi genting bangsa ini. Karena itu, diperlukan mekanisme khusus di luar kebiasaan dengan terus memperkuat peran dan fungsi KPK. Segala bentuk pelemahan dan perlucutan wewenang KPK melalui revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi harus dilawan karena menghilangkan hakikat menempatkan situasi luar biasa untuk memberantas korupsi.
Tersingkapnya kasus korupsi dan suap yang diikuti upaya pemidanaan pimpinan (nonaktif) KPK, Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah, merupakan peristiwa terburuk yang menampar masa kepemimpinan SBY yang namanya juga dicatut. Maka, SBY seharusnya mengambil langkah hukum, melaporkan pencemaran nama baik. Sayang, Presiden diam, seolah membiarkan untuk tidak mengambil langkah hukum.
Di sisi lain, Presiden baru saja mencanangkan program untuk melaporkan mafia hukum melalui PO Box 9949 Jakarta 10000 dengan kode ”Ganyang Mafia”. Tentu, ia berharap masyarakat percaya akan kesungguhan komitmen SBY dalam memberantas mafia hukum.
Namun, masyarakat Indonesia bukan masyarakat yang cepat percaya dengan simbol-simbol maupun jargon pemberantasan mafia karena yang dibutuhkan dalam situasi sekarang adalah ketegasan dan keberanian lembaga kepresidenan untuk menggunakan kekuasaan eksekutifnya memangkas mata rantai kerja mafioso.
Belajar dari sejarah, Presiden Soeharto dalam pidato kenegaraan (16/8/1970) menyatakan, ”Tidak perlu keraguan lagi, saya sendiri akan memimpin perjuangan melawan korupsi.” Apa yang terjadi? Korupsi justru ditumbuhsuburkan dalam semua lapisan pemerintahan sehingga hampir tidak ada satu pun institusi negara yang tidak terkontaminasi korupsi.
Bila tidak ingin mengulang sejarah itu, Presiden SBY harus membuktikan, memberantas mafia hukum tidak sekadar simbol atau jargon politik, tetapi memastikan jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia dan merawat partisipasi politik demokratis di segala bidang. Presiden tidak boleh anti dan alergi terhadap keterbukaan penyelenggaraan pemerintahan karena akses informasi merupakan dasar bagi upaya menumbuhkan peran masyarakat. Maka, kebebasan berpendapat dan berekspresi, khususnya kebebasan pers, harus diperkuat dan dijamin. Tanpa merawat kebebasan itu, bukan tidak mungkin agenda 100 hari memerangi mafia akan berakhir nihil.
Opini Kompas 10 Oktober 2009