Apa yang terjadi dengan bangsa ini? Kenapa kita tidak mempunyai kepahlawanan kepemimpinan hampir di berbagai bidang di tengah sejumlah peristiwa besar bangsa serta euforia demokrasi?
Masyarakat hampir tidak tahu, mana yang baik dan tidak baik, mana yang perlu dicontoh dan tidak dicontoh? Kita kehilangan panduan berbangsa, kepahlawanan kita adalah tokoh gosip dan tokoh bermasalah, bukan pemecah masalah.Komentar seorang guru ini terkait berita KPK hingga Bank Century. Meski sederhana, sebenarnya merupakan muara dari nilai-nilai dasar kebangsaan, yakni bangunan warga negara terkait kerinduan laku nilai keutamaan berbangsa, sebutlah nilai-nilai pengorbanan, keteladanan, kejujuran, kerja keras, hingga rasa malu.
Kepahlawanan adalah kodrat kemanusiaan terbesar, yang hidup sejak dini, melekat dalam seluruh pertumbuhan manusia dalam upaya membangun peradabannya. Dengan kata lain, kepahlawanan melekat pada kerinduan dari sifat mulia manusia, yang mengontrol sifat-sifat manusia lain, seperti sifat kebinatangan. Sifat-sifat itu muncul pada perilaku kerakusan, jalan pintas, kehilangan rasa malu, dan lainnya.
Maka, penanda terbesar kemerosotan kebangsaan terbaca dengan tidak dihormatinya nilai-nilai kepahlawanan sekaligus tidak lahirnya bentuk-bentuk kepemimpinan aktual hari ini, yang mampu memberi nilai-nilai kepahlawanan dalam berbagai perspektifnya.
Kegelisahan sang guru atas hilangnya nilai kepahlawanan mencerminkan demokrasi kehilangan dua pilar terbesar, yakni manusia dan kemanusiaannya sebagai pelaksanaan kerja demokrasi. Di sisi lain, hilangnya pendidikan warga negara dalam membangun proses berbangsa.
Perlu dicatat, kepahlawanan adalah kitab besar pendidikan warga negara, di dalamnya terkandung dialog falsafah, penegakan prinsip hukum dan kemampuan menciptakan nilai-nilai serta harapan baru dalam ruang sosial masyarakat, yang berbasis pada rasa keadilan.
Bisa diduga, kepahlawanan tumbuh melekat dalam peradaban manusia, dihidupkan dalam dongeng-dongeng, diformulasikan melalui nilai-nilai etika dan hukum, didiskursuskan melalui beragam ilmu pengetahuan, dari humaniora hingga filsafat. Namun yang penting, dihidupkan dalam berbagai kebudayaan manusia di setiap bangsa, melalui cara kerja, berpikir, bereaksi, dan harapan warga negara atas sejumlah peristiwa bangsa.
Karena itu, ratusan pesan di Facebook dan antusias masyarakat atas nasib Bibit dan Chandra hingga kasus Bank Century, peran Anggodo maupun penegak hukum termasuk Presiden, menunjukkan harapan keadilan sebagai oasis nilai kepahlawanan yang dirindukan masyarakat, sekaligus cermin panjang mafia peradilan dalam sejarah yang dipenuhi pameran demokrasi.
Dengan kata lain, jika presiden hingga jajaran penegak hukum tidak mampu menemukan fakta dan menegakkan keadilan, maka seperti dikatakan sang guru kepada penulis, 10 tahun reformasi hanya dijadikan waktu oleh elite politik untuk terampil menggunakan dan memamerkan prosedur demokrasi untuk kepentingan kekuasaan, tetapi bukan untuk keadilan.
Hasil pemilu bukan pelaksanaan demokrasi, tetapi sekadar permainan prosedural demokrasi guna menjaga dan melindungi kekuasaan beserta ekonomi yang mendukungnya. Jika ini terjadi, ini bukan demokrasi, tetapi demo alias pameran sok aksi demokrasi.
”Kita harus membela rasa keadilan masyarakat. Kita harus berani melakukan terobosan hukum, lewat hukum yang progresif.” Ucapan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD itu adalah esensi kerja pelaku kepahlawanan.
Perlu dicatat, dalam sejarah kepahlawanan, baik pahlawan hiburan, ekonomi, hingga politik, senantiasa terbaca kemampuan terobosan di tengah anomali nilai dan peran institusi. Simak dan belajarlah dari kepahlawanan populer yang digandrungi, tokoh- tokoh Superman hingga Batman, senantiasa menerobos prosedur formal penegak hukum karena keadilan masyarakat perlu diselamatkan di tengah krisis.
Dengan kata lain, kepahlawanan adalah geniusitas terobosan pemecahan masalah, yang mengandung penyelamatan atas nilai falsafah bangsa, prinsip hukum, dan kehidupan sosial berkeadilan dalam masyarakat.
Masihkah nilai itu menjadi bagian kerja elite politik, atau hanya tinggal dalam buku-buku fiksi, dan politik kita menjadi dongeng tanpa kepahlawanan, tanpa panduan kebaikan dan keburukan serta hilangnya keteladanan?
Opini Kompas. Selasa, 10 Nopember 2009