Sebagai pengelola keamanan dan ketertiban umum, Polri dibutuhkan bagi stabilitas pemerintahan. Dalam hal ini, kemampuan pengelolaan keamanan menjadi tolok ukur keberhasilan atau kegagalan suatu bangsa dan negara. Kini, cara penanganan polisi atas kasus hukum menuai badai yang berpotensi munculnya krisis kepercayaan.
Kepercayaan adalah modal utama yang dibutuhkan Polri dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya sebagai penegak hukum, penjaga keamanan, dan ketertiban masyarakat. Karena itu, kewenangan mutlak dalam fungsi preventif dan represif seyogianya tidak merepresentasikan kekuasaan dan arogansi.
Memosisikan Polri berhadapan dengan masyarakat akan menjadi kontraproduktif dalam menjaga citra sebagai pelindung dan pengayom masyarakat. Masalahnya kini, munculnya banyak sinyalemen hilangnya simpati masyarakat terhadap polisi.
Kini, aliran dukungan masyarakat kepada Bibit-Chandra kian deras. Ini merupakan cermin belarasa masyarakat terhadap masalah keadilan. Seharusnya suara rakyat (dari mana pun) dijadikan Polri sebagai masukan penting bagi upaya menegakkan hukum dan kepentingan rakyat.
Pengalaman sejarah memberi pelajaran. Di awal Republik, Polri dihadapkan masalah dilematis. Polri dihujat rakyat sebagai lanjutan alat kolonial sekaligus dibutuhkan sebagai penjamin keamanan, pelindung bangsa dan negara dari gangguan keamanan ciptaan Belanda. Di beberapa daerah, rakyat menolak aparat penegak hukum dengan melakukan serangan terhadap polisi yang ditemui. Situasi itu disikapi pimpinan Polri saat itu melalui komitmen membangun kepercayaan rakyat sebagai prioritas kebijakan institusi melalui konsistensi pelaksanaan tugas kepolisian sesuai fungsinya, walaupun dalam suasana perang.
Mengembangkan kepercayaan rakyat merupakan kewajiban pokok kepolisian dalam mencapai efektivitas pelaksanaan tugas dan fungsi Polri. Penyelesaian kasus hukum yang melibatkan perseteruan penegak hukum seharusnya segera dituntaskan secara berkeadilan. Ketidakjelasan penanganan perkara akan berdampak hilangnya kepercayaan publik terhadap polisi.
Krisis kepercayaan pada lembaga polisi menjadikan pelaksanaan tertib hukum menjadi amat membahayakan, seperti sikap masyarakat yang tidak mau patuh pada hukum dan menganggap semua aparat polisi berperilaku buruk.
Akibatnya, prestasi besar Polri dalam memerangi terorisme dan menggerebek pabrik-pabrik ekstasi yang merusak generasi muda seakan tak berbekas dengan mencuatnya ”kasus Bibit-Chandra”. Kekhawatiran lain dengan tidak terpenuhinya rasa keadilan masyarakat dapat menyebabkan munculnya gejolak politik dalam negeri yang dapat memengaruhi dunia perekonomian.
Kini, bangsa Indonesia menjadi miris oleh meningkatnya degradasi moralitas yang mengakibatkan rasa adil dan kebenaran menjadi absurd. Dalam membangun citra, seyogianya polisi mengedepankan komitmen, konsistensi, dan integritas guna merebut kembali simpati rakyat. Peristiwa ini hendaknya dijadikan momen penegasan pelaksanaan reformasi Polri dengan melakukan perubahan mendasar atas kultur yang mendasarkan supremasi hukum dan pengabdian.
Ke depan, tuntutan masyarakat terhadap kinerja Polri kian berat, yang menghendaki adanya keterbukaan dan pertanggungjawaban penjelasan dari tiap tindakan polisi dengan mempertimbangkan asas kepantasan dan keadilan. Selain itu, aktualisasi hubungan kesetaraan antara masyarakat dan polisi sebagai mitra kerja merupakan upaya yang dibutuhkan dalam mendukung terciptanya situasi keamanan yang kian kondusif.
Dalam lingkungan kerja di tengah situasi yang kian kompleks, partisipasi dan dukungan rakyat menjadi hal penting guna mengoptimalkan kinerjanya dalam melindungi dan mengayomi rakyat. Untuk memenuhi kebutuhan itu, diperlukan sosok polisi yang jujur dan kompeten dalam bidangnya. Selain itu juga diperlukan polisi yang profesional dan proporsional dalam mengemban tugas. Ini adalah sisi lain yang diperlukan Polri guna membangun kredibilitas institusinya.
Terciptanya opini publik yang menyudutkan Polri karena proses hukum yang diberlakukan terhadap kedua unsur pimpinan KPK yang dinonaktifkan, Bibit dan Chandra, berlangsung lambat dan tidak transparan. Gonjang-ganjing perkara ”menggelinding tak tentu arah” ini jelas memengaruhi ketidaktenangan masyarakat. Dalam situasi ini, apakah Pembangunan Kepercayaan sebagai Strategi Besar Polri yang dicanangkan sejak 2005 masih ada pada tataran wacana?
Meski demikian, buruknya citra Polri tetap menjadi keprihatinan kita sebab sebagai alat negara, polisi harus tetap eksis dalam negara hukum. Dalam hal ini, masyarakat membutuhkan jaminan keamanan, ketertiban, dan perlindungan hak milik dari polisi. Melalui kontrol dan kritik, rakyat punya andil dalam mendorong Polri yang profesional seperti diharapkan masyarakat.
Opini Kompas, Selasa, 10 Nopember 2009