02 Mei 2010

» Home » Suara Merdeka » Wajah Suram Pelajar di Warnet

Wajah Suram Pelajar di Warnet

PERSONEL Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) menemukan pelajar melakukan perbuatan kurang terpuji di dalam warnet dengan lawan jenisnya. Mereka terjaring razia untuk menertibkan anak sekolah di Kudus (SM, 01/04/10). Rasa pesimistis tentang masa depan pendidikan muncul tatkala melihat kondisi pelajar yang menyimpang dari rel pendidikan.

Warnet sebagai sarana pencarian informasi dan media keilmuan disalahartikan oleh beberapa pelajar. Fenomena ini juga terjadi di kota lain. Indikasi penyimpangan di warnet telah tercium oleh masyarakat, karena didapati selalu penuh oleh pelajar-pelajar. Ketika masuk bilik dengan lawan jenisnya. Beberapa teman juga pernah memergoki perbuatan asusila oleh pelajar dengan terang-terangan. Namun sebagai sesama user tidak dapat berbuat banyak, selain berbisik di dalam hati tentang buruknya perbuatan tersebut.


Kasus itu menyiratkan ironi bagi pelajar dalam konteks dunia pendidikan. Setidaknya ada tiga sebab terjadinya hal itu. Pertama, tiadanya ketaatan pelajar kepada etika pendidikan. Etika diartikan K Bertens (2004: 6) sebagai sebuah sistem nilai yang mempunyai fungsi mengatur perilaku manusia. Dalam hal ini etika pendidikan yang dimaksud adalah ketaatan menjalankan misi sekolah sebagai medan transformasi keadaban.

Sekolah mengajarkan keluhuran akhlak dan keadaban. Di dalamnya terdapat aktivitas pemahaman tentang keluhuran perilaku manusia yang diukur tidak hanya oleh tampilan fisik, seperti wajah cantik atau ganteng.
Lebih dari itu, takarannya adalah pada perangai yang santun, berbudi pekerti, dan tata krama. Nilai-nilai etika pendidikan seperti ini diabaikan oleh pelajar.

Penyebab kedua, adalah adanya contoh yang buruk. Pelajar sebagai remaja mempunyai kondisi kejiwaan yang masih labil. Di titik ini contoh yang muncul di sekitarnya akan segera ditiru sebagai identifikasi diri. Mereka akan meniru perilaku dengan alasan tidak mau dinilai oleh temannya ketinggalan zaman. Di luar itu, televisi dan teknologi internet lahir sebagai alat bagi mereka untuk mengetahui hal-hal baru, dan mreka tergoda melihat, kemudian mempraktikkannya.

Teknologi internet hakikatnya untuk aksesbilitas transformasi keilmuan kepada masyarakat. Tetapi, di sini berbalik menghantam diri mereka sendiri. Seperti sebuah pistol yang dipegang orang yang belum tahu cara menggunakannya dan untuk apa, maka bisa berbalik menembak diri sendiri. Warnet sebagai sarana transformasi dipandang dengan kacamata nafsu.

Beri Pengawalan

Orang tua dan keluarga menjadi sebab ketiga terjadinya tindakan kurang terpuji itu. Karena tanggung jawab yang melekat untuk mendidik sepenuhnya berada pada pundak mereka. Sekolah sebenarnya hanya tempat “penitipan” untuk mengajarkan luhurnya budi pekerti dan ilmu pengetahuan. Tetapi terkadang, sekolah tak bisa menjawab tumpuan harapan itu. Maka, orang tua harus berada di depan memberikan pengawalan anaknya secara sungguh-sungguh.

Sudah saatnya orang tua memberlakukan aturan-aturan ketat terhadap anaknya. Sebab saat ini nilai-nilai negatif terus mengincar anak-anak. Lingkungan sehari-hari selalu mengajaknya untuk menerobos aturan-aturan moral sosial. Zaman modern menghendaki anak tercerabut dari akar moralnya. Untuk itu, konservatisme perlu diterapkan dengan cara yang komunikatif dan mendidik.

Pendidikan berbasis moral adalah jalan keluar yang perlu ditempuh oleh pihak-pihak terkait untuk menuntaskan. Dalam hal ini kita coba mengembalikan pelajar pada konteks tanggung jawabnya yakni sekolah. Kita perlu optimistis memercayakan sekolah untuk mengubah paradigma tindakan pelajar menuju tingkat moralitas yang diharapkan.

Di sisi lain, reformasi warnet perlu dilakukan. Bagaimana menjadikan usaha yang memasukkan nilai-nilai moral. Tidak sekadar mengejar laba, sembari membiarkan tindakan tidak terpuji secara susila. Warnet perlu menjadikan dirinya sebagai medan transformasi keilmuan sekaligus moralitas bagi pengunjungnya, khususnya pelajar.
Berikankah peringatan untuk tidak membuka situs asusila serta memperbaiki bentuk bilik menjadi transparan.

Bahkan jika diperlukan setiap warnet dipasang CCTV, agar semua  aktivitas pengunjung terekam, tanpa mengurangi privasinya berselancar di dunia maya. (10)

— Zakki Amali, peneliti di Lembaga Studi Sosial dan Budaya Sumur Tolak, Kudus

Wacana Suara Merdeka 3 Mei 2010