02 Mei 2010

» Home » Kompas » Kanibalisasi UU BHP

Kanibalisasi UU BHP

Pemerintah, ceq Kementerian Pendidikan Nasional, sedang menyiapkan regulasi baru sektor pendidikan sebagai pengganti Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Adapun bentuk regulasi masih bersifat polemis: perpu, UU, atau peraturan pemerintah.
Para rektor perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi badan hukum milik negara (PT BHMN) mengusulkan peraturan itu dalam bentuk perpu yang kelak dapat disahkan menjadi UU sehingga menjadi lebih kuat. Sebaliknya, penulis mengusulkan dalam bentuk PP sebagai turunan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003.
Berdasarkan pemaparan Kementerian Pendidikan Nasional kepada sejumlah rektor PTN dan PT BHMN di Jawa (25/4/2010), apa pun bentuk peraturan yang akan diajukan ke Presiden, roh (substansi)-nya sama dengan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP), hanya bungkus yang berganti. Rancangan regulasi ini merupakan kanibalisasi dari UU BHP yang sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK). Hal itu terlihat dari kerangka (sistematika) perpu/RUU/PP yang dipaparkan.


Istilah kanibalisasi dalam tulisan ini merujuk pada Kamus Bahasa Indonesia yang disusun Em Zul Fajri dan Ratu Aprilia Senja, yaitu pembongkaran bagian-bagian (onderdil dan sebagainya) tidak untuk merusak, tetapi memperoleh bagian-bagian yang masih dapat berfungsi dan dipakai di bagian lain. Apa yang dipaparkan Kementerian Pendidikan Nasional itu jelas merupakan bentuk kanibalisasi dari UU BHP. Hanya ada perubahan redaksional saja, terutama menyangkut pengaturan keberadaan yayasan, perkumpulan, badan wakaf, atau badan hukum lain sejenis yang selama ini menyelenggarakan pendidikan.
Kanibalisasi UU BHP itu menunjukkan pemerintah tak rela atas pembatalan UU BHP oleh MK sehingga berupaya tetap menghidupkan roh (BHP) dengan jasad berbeda. Ini hanya manipulasi terminologi saja. Cara itu ditempuh pemerintah karena di satu sisi tidak mau dituduh melanggar putusan MK, di sisi lain mereka juga tidak ingin dipermalukan atas pembatalan UU BHP. Mereka sudah telanjur teken kontrak dengan Bank Dunia melalui Proyek Pengembangan Relevansi dan Efisiensi Pendidikan Tinggi untuk mewujudkan UU BHP paling lambat tahun 2010.
Kecurigaan akan terjadi kanibalisasi UU BHP sudah muncul sejak 31 Maret 2010 ketika MK memutuskan pembatalan UU BHP. Beberapa SMS yang masuk ke penulis mengingatkan jangan lengah dengan ”kemenangan” karena pemerintah pasti segera akan membuat aturan sejenis, hanya bungkusnya saja yang berbeda. Kecurigaan mereka itu sekarang terbukti di lapangan.
Menolak kanibalisasi
Mencermati pemaparan Kementerian Pendidikan Nasional mengenai draf regulasi baru bidang pendidikan pengganti UU BHP yang akan disodorkan kepada Presiden, yang ternyata berupa kanibalisasi UU BHP, maka usulan regulasi baru tersebut perlu dicermati dan sekaligus disikapi secara tegas sejak dini sebelum telanjur membuang energi yang terlalu banyak dan sia-sia saja. Para penolak UU BHP jelas menolak rencana kanibalisasi tersebut. Diharapkan, Presiden pun perlu hati-hati dalam menentukan pilihan karena kemungkinan terjadi eskalasi penolakan secara masif akan lebih besar dibandingkan dengan penolakan terhadap RUU BHP.
Menghadapi RUU BHP dulu, suara mahasiswa tidak solid karena sangat dipengaruhi oleh seniornya di parlemen. Namun, setelah ada pembatalan UU BHP oleh MK, suara mereka lebih solid sehingga upaya-upaya untuk menghidupkan kembali roh UU BHP akan dihadapi dengan gerakan yang lebih keras dan masif dibandingkan dengan penolakan terhadap RUU BHP dulu.
Mengingat yang terjadi kekosongan hukum hanya pada ketujuh PT BHMN, langkah yang paling bijak adalah mengembalikan PT BHMN menjadi PTN milik publik yang dapat diakses semua warga, yang cukup diatur dengan PP yang merupakan turunan dari UU Sisdiknas, bukan justru menghidupkan kembali roh UU BHP yang sudah dimatikan MK. Menghidupkan kembali UU BHP dengan jasad baru berpotensi menimbulkan ketegangan di masyarakat yang akhirnya membuang energi dan biaya secara sia-sia.
Pemerintah perlu menyadari kekeliruannya dan kemudian membuka ruang dialog dengan masyarakat luas untuk merumuskan regulasi baru sektor pendidikan yang dapat menjamin hak-hak warga untuk memperoleh layanan pendidikan secara baik dan biayanya terjangkau.
Kritik terbanyak terhadap PT BHMN selama ini adalah cenderung merampas hak orang miskin untuk dapat mengakses pendidikan tinggi terbaik di negeri ini akibat dari kebijakan penerimaan mahasiswa baru yang didasarkan pada besaran uang sebagai penentu diterima/tidaknya seseorang di suatu PT BHMN. Oleh sebab itu, langkah pengembalian PT BHMN menjadi PTN itu jauh lebih bijak. Bila kendala pengembangan PTN adalah keterbatasan dana dan kekakuan di dalam penggunaan anggaran negara bukan pajak, pemerintah perlu menambah anggaran khusus untuk PTN dan mengubah UU Keuangan, khususnya yang mengatur mengenai penggunaan anggaran oleh lembaga-lembaga pemerintah yang menjalankan pelayanan umum, seperti pendidikan dan kesehatan, termasuk PTN.
Tak ada salahnya perguruan tinggi yang bagus mendapat alokasi dana besar dari negara karena mereka menjalankan tugas mulia mencerdaskan kehidupan dan menyiapkan calon-calon pemimpin bangsa. Argumentasi bahwa pemerintah tidak mempunyai dana untuk membiayai pendidikan tinggi tidak sepenuhnya dapat diterima. Terbukti dalam RAPBN 2011 subsidi khusus untuk energi saja mencapai Rp 148 triliun, padahal subsidi itu terbesar dinikmati oleh golongan menengah ke atas.
Lebih baik subsidi untuk sektor energi itu dipotong dan dialihkan untuk anggaran pendidikan, termasuk PTN. Dengan menaikkan anggaran pendidikan untuk PTN, semua PTN termasuk PT BHMN yang sudah kembali ke PTN dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi yang berkualitas internasional dan memberikan gaji tinggi kepada dosen, termasuk guru besar, tanpa harus membebani masyarakat lagi dengan uang masuk tinggi. Sungguh ironis di negeri ini, gaji seorang profesor doktor justru jauh lebih rendah daripada gaji tukang pungut (pajak).
Jadi, baik untuk membuat PTN yang bagus dan bertaraf internasional maupun otonom tidak harus mengubah PTN menjadi PT BHMN atau badan layanan umum, apalagi harus membuat UU baru, tetapi cukup dengan kemauan politik yang diimplementasikan melalui PP dan peningkatan anggaran pendidikan dari pemerintah.
Sikap pemerintah yang tetap ngotot menghidupkan roh UU BHP itu menunjukkan komitmen pemerintah bukan pada peningkatan mutu PTN dan penjaminan hak warga atas pendidikan tinggi, melainkan kesetiaan kepada Bank Dunia untuk mewujudkan UU BHP paling lambat tahun 2010 ini. Oleh karena jasad UU BHP sudah dimatikan MK, rohnyalah yang dihidupkan kembali agar tidak dipersalahkan Bank Dunia. Mengingat kesetiaan kepada Bank Dunia lebih diutamakan daripada mengabdi bagi kepentingan warga, kanibalisasi UU BHP itu harus ditolak secara dini.
Darmaningtyas  Penulis Buku ”Tirani Kapital dalam Pendidikan, Menolak UU BHP” dan Pengurus Majelis Luhur Tamansiswa

Opini Kompas 3 Mei 2010