Those who die for a cause awaken to life the dead among the living." (Syed Hussein Alatas, 1999)
Maraknya pemberitaan mengenai korupsi selama beberapa pekan terakhir ini mungkin menandakan telah bangkitnya kesadaran kolektif bangsa ini terhadap gelombang korupsi. Berbagai analisis ditawarkan narasumber yang merupakan ahli dalam bidang mereka masing-masing. Secara awam dapat disimpulkan, korupsi tidak dapat dihapuskan begitu saja dengan implementasi hukum dan pendirian badan super seperti KPK. Antikorupsi harus menjadi sebuah gerakan masyarakat sipil dan hal itu terutama sangat penting dilakukan sejak dini sejak dalam lingkungan sekolah dan keluarga.
Namun jika melihat dari praktik yang berlaku di sekolah-sekolah kita saat ini, sangat sulit untuk menemukan bibit penanaman gerakan antikorupsi sejak dini. Perilaku tidak jujur dalam hal-hal mendasar seperti mengerjakan pekerjaan rumah yang dilakukan sendiri terus berlaku. Perilaku itu bahkan menjadi sesuatu yang diterima dalam melaksanakan ujian nasional. Kejujuran dalam melakukan UN yang seharusnya menjadi tolok ukur awal keberhasilan pelaksanaan UN hilang ditelan kepentingan kelulusan siswa itu sendiri. Maraknya kasus plagiarisme yang dilakukan dosen di perguruan tinggi hanya menegaskan kembali bahwa kejujuran telah hilang dari lembaga yang seharusnya menyemai bibit kejujuran sejak dini.
Dari pengalaman penulis, sangat sulit untuk memutus mata rantai perilaku tidak jujur ini. Bahkan ketika kejujuran telah menjadi bagian dari budaya sekolah dan diimplementasikan secara konsisten dalam kegiatan sehari-hari baik untuk siswa, guru, maupun kepala sekolah. Hal itu hanya dapat dipertahankan hingga menjelang UN berlangsung. Kenyataannya, 'imunisasi' kejujuran yang telah diberikan belum mampu melawan 'virus' curang yang telah menyebar dalam masyarakat hingga tahap yang sangat mengerikan.
Gerakan antikorupsi di sekolah
Banyak faktor yang menyebabkan 'virus' curang ini sangat sulit untuk dibasmi, bahkan untuk di sekolah. Banyak pihak menuding kekurangan pada proses belajar yang disebabkan ketimpangan kemampuan guru, sarana, dan prasaran adalah salah satu alasannya. Dari pengalaman penulis, jika hal-hal tersebut diminimalkan serta lingkungan jujur diterapkan di sekolah, itu ternyata tidak cukup untuk membuat siswa menyadari bahwa kejujuran adalah di atas segalanya. Diperlukan kerja sama yang baik dengan orang tua dan stakeholder sekolah lainnya yang mempunyai misi yang sama, agar lingkaran kejujuran juga dapat diciptakan di rumah. Namun jika berkaca dari hasil terakhir UN di sekolah, masih banyak yang tidak berani menghadapi kenyataan bahwa kegagalan adalah bagian dari hidup. Sebagian pendidik yang memiliki idealisme pasti akan merasa gagal dalam mengadvokasi kejujuran sebagai 'way of life' di lingkungan sekolah, baik disebabkan persoalan relasi sekolah-masyarakat yang kurang baik, juga disebabkan sistem pendidikan kita yang tidak pro pada praktik kejujuran.
Hal itu tentu saja dapat menjadi tolok ukur sejauh mana bangsa ini akan dapat melepaskan diri dari jeratan korupsi di masa depan. Syed Hussein Alatas dalam bukunya Corruption and the Destiny of Asia (1999) menggambarkan efek korupsi terhadap individu dan masyarakat ketika mereka harus berhadapan dengan pelayanan publik yang korup. 'The first effect is the rise of a pessimistic attitude. The future is full of uncertainty. The law and ethical norms are not there to protect the individual. Honesty, hard work and self development do not help to increase happiness, security and welfare'. Efek awal korupsi adalah timbulnya sikap pesimistis. Masa depan penuh dengan ketidakpastian. Hukum dan norma etis tidak dapat melindungi individu. Kejujuran, kerja keras, dan perbaikan diri tidak meningkatkan rasa bahagia, aman, dan kesejahteraan. Beliau menekankan jika hal itu berlangsung selama beberapa tahun, keadaan korup menjadi fenomena seperti iklim itu sendiri, sesuatu yang mutlak dan di luar kemampuan manusia untuk dapat mengubahnya. Ketika hal ini menyebar di antara populasi satu negara, masyarakat menjadi pasif dan lembam. Mereka menerima kehidupan yang didominasi kejahatan.
Keadaan tersebut menggambarkan dengan tepat keadaan Indonesia saat ini. Jika kita tidak dapat memutus mata rantai ketidakjujuran ini sedini mungkin melalui gerakan sipil, perubahan tidak akan terjadi. Sekolah seharusnya berada di garda depan gerakan ini. Namun jika melihat dari maraknya beredar kunci jawaban UN dan praktik kecurangan dalam pelaksanaannya, masih adanya keluhan orang tua akan pungutan liar di sekolah sendiri, tidak transparannya penggunaan dana bantuan yang disalurkan hingga transparansi dalam penilaian pencapaian siswa sendiri menjadi indikasi bahwa sekolah juga telah terjangkit virus ini. Hal itu menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi sekolah. Ketidakpercayaan inilah yang menyebabkan sulitnya virus 'curang' untuk hilang dari dunia pendidikan kita.
Apa yang dapat dilakukan pendidik?
Kejujuran tetap harus menjadi falsafah integral dari proses pendidikan, hal itu tidak dapat ditawar-tawar lagi jika kita ingin hidup bebas dari korupsi. Kejujuran tidak hanya diterapkan kepada siswa, tetapi juga berlaku untuk guru, kepala sekolah, serta masyarakat sekolah pada umumnya. Imunisasi 'kejujuran' harus berlaku untuk semua komponen sekolah untuk mendukung pembentukan karakter yang jujur.
Dimulai dari transparansi akan proses sekolah termasuk mengenai dana, penilaian siswa dan proses belajar di kelas itu sendiri. Jadikan akuntabilitas sebagai bagian dari proses pengelolaan sekolah. Berikan siswa keyakinan bahwa mendapat nilai rendah, tetapi jujur, lebih dapat diterima daripada mendapat nilai bagus, tetapi curang. Guru harus transparan mengenai penilaian dan proses belajar sehingga siswa dapat mengukur kerja keras dan hasil setimpal yang didapatnya dari proses belajar. Hal itu akan menumbuhkan etos kerja keras dan kepercayaan akan diri sendiri.
Guru harus dapat menerima jika sumber pembelajaran tidak hanya dari dirinya semata, tetapi secara jujur menerima dan mengakui bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi telah demikian majunya hingga terus-menerus belajar adalah keniscayaan jika ingin terus berkiprah dalam pendidikan. Kepala sekolah harus jujur dalam mengelola keuangan, mempertanggungjawabkan penggunaan dana, dan proses manajemen sekolah lainnya. Kepemimpinan sekolah harus memberikan model dari perilaku yang ingin ditanamkan. Kejujuran adalah syarat mutlak dari kepercayaan dan komunikasi yang baik agar proses pendidikan dapat dilakukan dengan maksimal untuk membentuk karakter jujur.
Kampanye dari budaya sekolah yang mengedepankan kejujuran juga harus senantiasa dilakukan, baik dalam pertemuan internal sekolah, dengan orang tua murid dan komite sekolah. Galang kerja sama dengan stakeholder sekolah untuk menanamkan kejujuran tidak hanya di dalam, tetapi juga di luar lingkungan sekolah. Lakukan kegiatan dengan nilai kejujuran menjadi salah satu tolok ukur berhasil-tidaknya kegiatan tersebut. Berikan reward dan apresiasi kepada semua warga sekolah yang dapat memberikan contoh kejujuran. Jadikan mereka model dari budaya sekolah yang jujur. Hal itu harus dilakukan secara terus-menerus karena model korupsi yang diberitakan di media telah telanjur tertanam dalam benak masyarakat kita, dengan proses terhadap kasus korupsi tidak pernah berakhir dengan kejelasan. Hal itu menyiratkan melakukan korupsi tidak apa-apa dan jika ketahuan pun, hukuman yang diberikan tidak akan terlalu berat.
Pada akhirnya, perang melawan korupsi dan menanamkan kejujuran adalah perang yang akan terus-menerus dilakukan hingga akhir hayat. Panggilan untuk kejujuran tidak akan pernah hilang dan akan selalu hidup. 'Man is freer than he is commonly thought to be. He is greatly dependent upon his environment, but not to the degree of being subjugated to it. The greater part of our destiny lies in our own hands--provided we understand this and do not let it go (Alexander Herzen)'--manusia sebenarnya memiliki lebih banyak kebebasan dari yang dia perkirakan. Manusia bergantung kepada lingkungannya, tetapi tidak sampai tahap dia ditaklukkan lingkungan itu sendiri. Sebagian besar masa depan kita ada di tangan kita sendiri--selama kita memahami ini dan tidak melepaskannya. Sebagai penyemai bibit masa depan, sudah seharusnya para pendidik percaya akan hal ini sehingga sekolah dapat menjadi tempat 'imunisasi' kejujuran dapat diberikan sejak dini dan sepanjang masa. Semoga ada keberanian pihak otoritas pendidikan kita untuk memikirkan pendekatan dan strategi yang lebih berorientasi pada pembangunan karakter jujur siswa dan pengelola sekolah.
Oleh Satia Prihatni Zen Direktur Sekolah Sukma Bangsa Bireuen, Aceh
opini media indonesia 03 mei 2010