SEBETULNYA saya sudah hampir yakin bahwa pengumuman Mbah Sahal dan Gus Aqil Siradj tempo hari (Senin, 19 April 2010) di kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Jakarta telah menyelesaikan kemelut pembentukan personel PBNU hasil Muktamar XXXII di Makassar.
Bagaimana tidak? Pengumuman tersebut konon sudah mengakomodasi tuntutan yang muncul setelah rapat tim formatur di Ponpes Maslakul Huda, Kecamatan Kajen, Pati, yaitu agar fungsionaris PBNU disusun mengikuti AD/ ART.
Saya menduga bahwa pengumuman di kantor PBNU tersebut sudah ”mematuhi” tuntutan tersebut manakala ternyata di dalam kepengurusan masa khidmat 2010-2015 itu posisi wakil rais aam dan wakil ketua umum tanfidziah PBNU masing-masing satu. Sehingga concern banyak pihak yang muncul di media massa sebelumnya saya kira sudah terakomodasi dan karenanya polemik selesai.
Nyatanya, sebaliknyalah yang terjadi. Justru begitu selesai pengumuman hari Senin, esoknya dan sampai tulisan ini dibuat, protes malah membludak. Puncaknya adalah penolakan salah satu PWNU yang paling besar dan berpengaruh, yaitu Jawa Timur, terhadap nama-nama PBNU yang diumumkan Mbah Sahal dan Gus Aqil.
Sebelum penolakan resmi itu diumumkan, KH Miftahul Achyar, yang juga Rais Syuriah PWNU Jatim dan anggota tim formatur mewakili wilayah Jawa, hari Selasa sudah wara-wara memprotes pengumuman tersebut.
Esoknya, hari Rabu, protes diikuti oleh anggota tim formatur yang mewakili Indonesia wilayah Timur. Bukan itu saja, Wakil Ketua DPD yang juga pengamat NU, Dr Laode Ida juga menyuarakan kritik sama, yakni melihat penyusunan fungsionaris PBNU itu ”diintervensi” oleh kekuasaan.
Terus terang saya sangat kaget karena rasanya baru kali ini ada kejadian seperti itu dalam sejarah NU.
Bukan sekali dua organisasi ini mengalami krisis, namun bahwa keputusan rais aam terpilih lantas diprotes dan ditolak PWNU terbesar, rasanya belum pernah terjadi. Ada apa ini?
Apakah NU sudah benar-benar menjadi parpol semu atau berperilaku seperti parpol sehingga model tolak-menolak secara terbuka dan diketahui publik menjadi hal wajar? Ataukah karena memang ini zaman demokrasi sehingga kebiasaan yang lazim digunakan oleh para kiai sekarang, yaitu sikap muru’ah, dikalahkan karena euforia keterbukaan?
Ataukah memang sejatinya inilah dampak politisasi NU selama 10 tahun belakangan, sehingga intrik-intrik kepentingan politik pribadi dan kelompok dalam elite NU kini muncul dengan sangat transparan ketika kepentingan-kepentingan mereka tak terakomodasi?
Wallahu a’lam. Tapi saya masih mencoba khusnudzan kepada para pengkritik Mbah Sahal dan Gus Aqil, dengan mencoba melihat lagi apakah argumen mereka cukup kuat. Harus saya akui, dari segi legal formal ataupun substansial tampaknya demikian.
Para anggota tim formatur merasa di-fait accompli oleh pengumuman hari Senin karena mereka tak ada yang diikutsertakan. Padahal tim formatur adalah kolegial dan sebagai institusi yang diberi amanat oleh muktamar ia berada ”di atas” rais aam dan ketum tanfidziah terpilih (sebagai pribadi-pribadi) pada saat membentuk kepengurusan itu. Dengan demikian pengumuman dua pimpinan tersebut bukan sebagai formatur, tetapi sebagai pribadi (terlepas dari statusnya sebagai rais aam dan ketum PBNU terpilih).
Berikutnya, secara substansi, saya coba lihat lagi personel yang ada. ternyata benar bahwa masih terdapat politikus yang ditunjuk, selain Pak As’ad yang pejabat lembaga negara yaitu waka BIN.
Jika demikian halnya, janji bahwa NU akan diceraikan dari politik praktis sesuai dengan khitah, menjadi sah untuk diragukan sejak awal. Saya masih bisa memahami posisi Pak As’ad karena memang tidak ada larangan rangkap jabatan itu.
Tetapi bagaimana dengan Saifullah Yusuf, Fauzi Bowo, Wahidi, dn sebagainya yang nyata-nyata merangkap jabatan (Ipul masih Ketua GP Ansor selain Wagub Jatim, Fauzi masih Ketua PWNU DKI selain gubernur, Wahidi masih Ketua PWNU Jabar dan anggota DPR dari PKB).
Jadi gugatan sejumlah kiai dan pengurus NU Jatim, bukanlah sebuah intrik politik atau euforia atau karena hilangnya muru’ah melainkan mereka benar-benar mencoba istikamah terhadap aturan dan substansi serta harapan agar NU benar-benar kembali ke Khitah 1926.
Jika Mbah Sahal dan Gus Aqil mengabaikan protes dan penolakan ini tanpa didasari argumen dan bukti kuat, saya sangat khawatir NU mengalami kemarau panjang dan paceklik kepemimpinan yang punya otoritas dan kewibawaan, baik aturan maupun karisma keulamaan.
Sebelum semua menjadi bubur, lebih baik dilakukan tabayyun di antara mereka berdua dan tim formatur serta para alim ulama lainnya. Sekarang Habib Luthfi dari Pekalongan sudah resmi mundur dari posisi rais syuriah
dengan alasan kesibukan. Tapi betulkah alasan itu? Saya sungguh ingin percaya, tetapi kalau kemelut ini ternyata serius, maka jangan-jangan langkah sang Habib akan diikuti yang lain. Inna Lillahi wainna Ilaihi raji’uun.... (10)
— Muhammad AS Hikam, mantan Menneg Riset dan Teknologi, Kepala BPPT, sekarang Wakil Rektor IV Universitas Presiden, Kota Jababeka, Cikarang, Jabar
Wacana Suara Merdeka 3 Mei 2010