02 Mei 2010

» Home » Suara Merdeka » Gelap Gulita Industri Migas

Gelap Gulita Industri Migas

Akibat tertutupnya informasi pengelolaan migas, akhir 2009 BP Migas dibuat pusing karena membengkaknya investasi Blok Cepu dari 2,7 miliar dolar AS menjadi 5 miliar dolar

DIBERLAKUKANNYA Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) mulai 1 Mei lalu  disambut baik oleh kalangan masyarakat sipil. Namun pemerintah sepertinya masih bersikap setengah hati mengingat dengan aturan ini, semua data atau informasi terkait pengelolaan anggaran di tingkat pusat dan daerah, akan dengan mudah diakses publik.


Aturan baru yang menjamin akses publik atas arus informasi ini sejatinya adalah penegasan, bahwa memperoleh informasi adalah hak asasi warganegara. Dalam regulasi ini, setiap warganegara dijamin haknya memperoleh data atau informasi terkait pengelolaan keuangan negara, termasuk pengelolaan keuangan yang bersumber dari sumber daya alam minyak dan gas bumi (migas).


Sebagaimana pengelolaan keuangan di sektor lain, pengelolaan keuangan di sektor migas selama ini juga mengalami ketertutupan dari akses publik. Masyarakat selalu tidak berhasil memperoleh data atau informasi dari badan publik, dalam hal ini Badan Pelaksana Hulu Migas (BP Migas), yang seharusnya mengelola data atau informasi tersebut untuk disampaikan kepada masyarakat.

Masyarakat selalu diberi alasan klasik, bahwa data atau informasi terkait pengelolaan migas yang hendak diakses merupakan rahasia negara yang tidak bisa diinformasikan. Perlakuan ini hampir sama terhadap jenis data atau informasi seputar pengelolaan anggaran, baik di tingkat pusat (APBN) dan daerah (APBD). Masyarakat juga sulit jika menghendaki untuk memperoleh data tersebut.
Penyimpangan Migas Tertutupnya akses publik terhadap pengelolaan keuangan di sektor migas selama ini ternyata berdampak buruk terhadap prinsip-prinsip pengelolaan keuangan yang bersih, profesional, dan tidak koruptif. Gelap gulita informasi di dunia migas menyebabkan penyimpangan demi penyimpangan sangat mudah terjadi karena jauh dari kontrol publik.

Akhir Maret lalu, pengadilan Inggris menetapkan penalti keuangan terhadap Innospec Limited, perusahaan multinasional yang memberikan komisi senilai miliaran rupiah terhadap pejabat-pejabat di Indonesia yang menangani pengelolaan migas yang tersebar di BP Migas, Pertamina, dan Departemen ESDM. Komisi yang lebih pantas disebut suap itu diberikan agar perusahaan Inggris itu bisa dengan mudah membeli zat aditif tetra ethyl lead atau TEL yang dipakai untuk bensin bertimbal. Suap-menyuap ini dilakukan sejak periode 2002 sampai 2006 dengan jumlah suap senilai 11 juta dolar AS.

Sebelum masalah itu mencuat, tahun 2007 BPKP melalui laporan hasil auditnya menemukan indikasi penyimpangan keuangan negara Rp 18 triliun dalam biaya pemulihan dari kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas di Indonesia periode 2002-2005. Dari jumlah tersebut, BP Migas sudah mengklarifikasi penggunaan dana sekitar Rp 9 triliun atau separonya. Selebihnya belum jelas penggunaannya.

Setahun kemudian, Indonesian Corruption Watch (ICW) melaporkan penyimpangan penerimaan keuangan dari sektor migas di Indonesia Rp 194 triliun kepada KPK. Temuan tersebut berdasarkan hasil penelitian ICW dalam pengelolaan keuangan dari sektor migas periode 2000-2007.

Menurut ICW, tahun 2000 terdapat selisih penerimaan keuangan Rp 39,612 triliun, pada 2001 Rp 17,494 triliun, pada 2002 Rp 12,288 triliun, pada 2003 Rp 17,876 triliun, pada 2004 Rp 19,395 triliun, pada 2005 Rp 46,913 triliun, pada 2006 Rp 216,179 miliar dan pada 2007 sebesar Rp 40,733 triliun.

Penyimpangan tersebut terjadi karena angka produksi minyak di Indonesia yang dilaporkan dalam realisasi penerimaan negara jauh lebih rendah dari realisasi produksi sebenarnya.

 Sehingga setiap tahun diindikasikan terjadi selisih penerimaan lebih rendah sebesar 16,102 juta barel. Ini disebabkan, BP Migas hanya berpedoman pada laporan kontraktor dan tidak melakukan pengawasan produksi di lapangan.
Selain itu, akibat tertutupnya data dan informasi seputar pengelolaan migas, akhir 2009 BP Migas juga dibuat pusing karena membengkaknya biaya investasi Blok Cepu dari 2,7 miliar dolar AS menjadi 5 miliar dolar AS.

Pembengkakan nilai investasi tersebut terjadi karena molornya produksi yang berimbas pada naiknya biaya produksi. Dengan kata lain, negara harus mengucurkan cost recovery yang cukup besar, sementara publik tidak pernah tahu biaya pemulihan apa saja yang dikeluarkan oleh pemerintah selama ini.

Saat ini pemerintah sedang menyiapkan Peraturan Presiden tentang Transparansi Pendapatan Negara dan Daerah dari Industri Ekstraktif Migas. Regulasi ini akan mengatur mekanisme transparansi pendapatan negara dan daerah dari industri migas. Mekanisme ini sebetulnya mengadopsi konsep Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) yang sudah banyak diratifikasi oleh negara-negara penghasil industri ekstraktif migas di seluruh dunia.(10)

— Kunarto Marzuki, peneliti LPAW, penggagas Komisi Transparansi Migas di Kabupaten Blora


Wacana Suara Merdeka 3 Mw\ei 2010