Muslim
Koordinator Umum Jamaah Mahasiswa Islam Lampung (Jamila), alumnus Jurusan Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Intan Lampung
Upaya membangun karakter bangsa dan kehidupan yang demokratis di negeri ini, mestilah dimulai dengan memperbincangkan dunia pendidikan. Sebab, dalam konsep negara demokrasi, pendidikan menjadi tolok ukur untuk melihat apakah rakyat benar-benar sejahtera dalam pemikiran?
Mengubah cara berpikir manusia menjadi lebih positif dan ideal merupakan dasar gerakan dalam dunia pendidikan karena nalar berpikir akan mengarahkan seseorang untuk bertindak. Jika sistem berpikir tidak baik, meski seseorang berpendidikan tinggi, tetap berpeluang melakukan
tindak kejahatan yang terstruktur.
Buktinya, tidak sedikit dari pejabat publik di negeri ini yang bergelar doktor, bahkan profesor. Namun, kebejatan moral dalam wujud korupsi, penjarahan hutan, dan menggusur rumah rakyat miskin masih tetap saja berlangsung. Ini menunjukkan bahwa ada yang salah dalam sistem berpikir mereka.
Di sisi lain, dalam proses pendidikan, peserta didik kita ternyata belum mampu membedakan antara yang baik dan buruk. Beragam perilaku menyimpang, seperti pemakaian narkoba, seks bebas, dan tawuran antarpelajar telah menjadi identitas yang melekat kuat pada siswa di sekolah. Tragisnya lagi, moralitas tak terpuji ini ternyata juga telah merangsek masuk pada jiwa para guru.
Para pendidik itu terlihat hanya mengejar materi semata. Ini tampak dari meningkatnya kuriositas mereka untuk mengikuti seminar dan pelatihan bertaraf (inter)nasional agar lulus dalam sertifikasi. Padahal, kita semua tahu, tak ada hasil nyata yang mereka peroleh. Ujung-ujungnya, tugas dan peran utama mereka sebagai "pelukis" karakter siswa yang berakhlakul karimah menjadi gagal. Wajar, jika banyak siswa berperilaku menyimpang. Karena mereka mewarisi perilaku yang juga tak terpuji dari gurunya. Kondisi ini kemudian diperparah lagi dengan tetap diberlakukannya ujian nasional (UN). Sebab, dengan adanya UN, bacaan wajib yang mesti dikonsumsi peserta didik menjadi seragam.
Akhirnya, ruang-ruang kritis dalam dunia pendidikan menjadi tertutup rapat. Karena ilmu yang diajarkan telah diasumsikan mencapai titik klimaks. Padahal, proses pencarian ilmu pengetahuan tiap saat bisa berubah sesuai dengan dinamika zaman dan kesesuaiannya dengan realitas yang ada.
Efeknya, ruang-ruang untuk berdialektika menjadi mampat. Jika siswa bertanya, mendedah sebuah teori, atau memiliki kerangka berpikir lain, akan dianggap salah. Terlebih lagi, model yang dipakai juga hanya menguji kemampuan menghafal fakta dan kemampuan berpikir tanpa analisis yang kritis. Sementara berbagai persoalan dalam kehidupan membutuhkan kemampuan berpikir dengan daya analisis tinggi, keterampilan memecahkan masalah, dan kemampuan mendesain.
Mereka tidak dididik menjadi intelektual atau konseptor yang kreatif dan terampil untuk setiap saat melakukan telaah akan beragam masalah yang tengah mengimpit masyarakat bawah; tetapi diukir menjadi robot yang patuh terhadap pelbagai keputusan yang datang dari penguasa.
Tak hanya itu, hubungan antara guru dan siswa yang seharusnya bisa saling melengkapi kekurangan satu sama lain telah menjadi hubungan yang tak harmonis. Guru tak boleh menjadi teman setia bagi para murid. Karena itu semua "akan menjurus ke arah dialog yang dapat menurunkan status hierarkis para guru selaku instruktur dan pihak pemberi kepandaian dan keterampilan yang sudah diseleksi" (YB. Mangunwijaya, Prisma, No.7/1980: 11-12).
Pada aras ini, setidaknya ada beberapa faktor utama yang menyebabkan pendidikan tampak kehilangan arah. Pertama, tenaga pendidik masih belum memadai. Banyak dari mereka yang tingkat pendidikan dan intelektualitasnya tinggi, tapi masih dirundung masalah ekonomi sehingga mereka tidak mampu berkonsentrasi penuh dalam mendidik.
Kedua, dunia pendidikan kita terlalu teoritis dan birokratis. Lebih banyak teori daripada praktek. Ketika lulusan kita dihadapkan pada kondisi di lapangan, ternyata mereka belum terampil dalam mempraktekkan bidang keilmuannya. Ini pulalah yang menyebabkan dunia pendidikan kita belum mampu bersaing dalam kancah internasional.
Ketiga, sistem pendidikan terlihat hanya berjalan di tempat. Hal ini diakibatkan sering terjadinya perubahan-perubahan kurikulum. Setiap kali pergantian pemerintahan, maka terjadi pula perubahan dalam sistem pendidikan. Alhasil, sekolah-sekolah yang ada menjadi kewalahan dan kehilangan arah untuk mencapai tujuan pendidikan (Abdul Gaffar, 2009).
Begitulah, kondisi dunia pendidikan yang kian hari kian memprihatinkan. Sejumput realitas yang tengah terpampang lebar di depan mata kita. Pendidikan ternyata belum mampu menanamkan moralitas terpuji, rasa kemanusiaan, dan sistem berpikir yang bisa menembus segala patologi sosial dalam masyarakat; serta tak dapat merampatpapankan antara teori di sekolah dengan keadaan riil di lapangan.
Alhasil, agenda utama yang mesti diperhatikan: bagaimana pendidikan kita bisa membuat orang sadar dan melek bahwa mereka turut berperan dalam menentukan masa depan bangsa; membuat orang lebih bijak, lebih adil, serta mampu mengenal dirinya bahwa ia adalah subjek dan bukan objek yang bodoh. n
opini lampung post 03 mei 2010