02 Mei 2010

» Home » Kompas » Mimpi Indonesia

Mimpi Indonesia

Tetangga saya di sebuah kota kecil di Jawa Barat memiliki visi sederhana, tetapi agak ganjil mengenai anak laki-lakinya.
Dia berencana menyekolahkan anaknya hingga pendidikan tinggi di kota tempat tinggalnya—ketimbang kuliah di kota besar—sehingga bisa menghemat biaya. ”Penghematan” itu akan digunakan untuk biaya suap jadi PNS jika saatnya tiba. Ada banyak perspektif terhadap fakta di atas. Salah satunya, semakin pudarnya mimpi tentang Indonesia. Hal yang sama juga terlihat dengan terungkapnya mafia pajak dan mafia hukum belakangan ini.
Berbincang dengan masyarakat dari berbagai kalangan, pudarnya mimpi Indonesia ini mudah terasa. Terdapat dua hal yang bertentangan. Pertama, tujuan negara Indonesia—ditambah retorika para pemimpin saat ini—di satu sisi. Kedua, kenyataan berupa eksklusi sebagian besar warga negara dari pencapaian tujuan tersebut, di sisi lain.

 

Pembukaan UUD 1945 menyebutkan salah satu tujuan negara adalah memajukan kesejahteraan umum. Presiden Soekarno dalam pidato ketika kembali ke Jakarta tahun 1949 menyebutkan ”... kepada pegawai, saudara-saudara marhaen, saudara-saudaraku tukang becak, saudara-saudaraku tukang sayur, saudara-saudaraku pegawai yang sekecil-kecilnya, tidak ada satu yang terkecuali...”. Kedua hal menunjukkan ciri inklusif sejarah dan tujuan pendirian Indonesia. Ini yang membedakannya dengan periode kolonialisme di mana terdapat pembedaan terhadap masyarakat dari kelas sosial-ekonomi yang berbeda.
Peran negara
Apa sebetulnya peran sebuah negara bagi kesejahteraan warga negara secara individual? Menurut buku Outliers karya Malcolm Gladwell, keberhasilan seseorang atau kelompok tak melulu ditentukan bakat dan kerja keras. Tak kalah penting adalah keberuntungan karena mereka didukung lingkungannya.
The Beattles memperoleh kesempatan tampil di panggung delapan jam sehari dan tujuh hari seminggu di Hamburg, yang menempa mereka jadi kelompok band berkemampuan jauh di atas rata-rata. Bill Gates ”beruntung” karena saat di kelas tujuh, Mother’s Club di sekolahnya menyediakan komputer yang terbilang canggih saat itu. Kesempatan langka, bahkan untuk mahasiswa sekalipun. Tugas negara adalah menyediakan ”keberuntungan” tersebut secara sistematis dan inklusif bagi warga negaranya. Hasilnya, semua warga negara memproyeksikan mimpi individunya kepada Indonesia.
Semakin menjauhnya mimpi Indonesia disebabkan oleh dua proses yang sudah berjalan lama. Pertama, implementasi ekonomi pasar yang tak tepat waktu dan tak tepat obyek. Pada tahap awal pembangunan, AS, beberapa negara Eropa, Jepang, Korsel, dan Singapura relatif lebih banyak menerapkan ekonomi ”terencana” dibandingkan dengan sekarang. Terkait obyek, AS dan Swiss sangat protektif terhadap produk pertaniannya hingga saat ini. Prinsipnya, ekonomi pasar—melalui insentif dan disinsentif—jadi alat pendinamisasi perekonomian domestik, bukan jadi tujuan.
Kedua, individu pengambil kebijakan yang menyalahgunakan peran pemerintah untuk kepentingan pribadi. Ini bisa terjadi dalam tunduknya Indonesia terhadap kepentingan asing, padahal total bantuan luar negeri bagi Indonesia hanya sekitar 1 persen dari APBN. Singkatnya, bukan negara, tetapi individu tersebut yang tergantung dan memperoleh keuntungan dari berbagai kebijakan yang tak masuk akal.
Mengembalikan mimpi Indonesia yang inklusif bagi semua warga negara mesti dimulai saat ini juga. Tak mudah melakukannya—dan kemungkinan hasil utuh baru dirasakan 30-40 tahun ke depan—tetapi demokrasi dan desentralisasi menyediakan peluang lebih. Ada beberapa langkah prioritas. Pertama, lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif—mencakup pula pemda karena dalam APBN 2010 sekitar 30 persen anggaran dikelola daerah—harus transparan kepada publik. Transparansi merupakan fondasi utama tata kelola pemerintahan yang baik.
Perbaikan kinerja dan demokrasi internal partai politik—sebagai penyuplai pengambil kebijakan—merupakan kunci. Secara indikatif, China dan Kuba mampu menghasilkan kebijakan publik yang relatif menyejahterakan karena hadirnya demokrasi internal pada partai berkuasa meskipun demokrasi sebagai sebuah sistem tidak diterapkan.
Kedua, organisasi masyarakat sipil harus memperkuat peran dalam mengartikulasikan kepentingan warga negara. Termasuk di dalamnya, merumuskan agenda penting secara lebih independen dari lembaga donor. Kemampuan menghimpun sumber daya domestik jadi titik krusial. Hal penting lainnya, melayani kelompok tidak tersuarakan yang saat ini cenderung ditinggalkan.
Ketiga, sektor swasta harus lebih banyak bergerak di sektor yang memberikan nilai tambah, tak tergantung proyek APBN dan bisnis berbasis konsesi. Bersamaan dengan itu, media massa, universitas, dan para cendekiawan harus terus mengingatkan apa yang ”perlu” untuk mengembalikan mimpi Indonesia. Dengan itu, warga negara bisa kembali mempunyai optimisme sekaligus kemauan untuk terus mencapai mimpi Indonesia.
Tata Mustasya Analis Kebijakan Publik

Opini Kompas 3 mei 2010