Hadi Aspirin
Anggota Tim Renstra Pendidikan UNICEF, penggiat FMGI
Alumni SMA saat ini adalah cermin profil generasi 10 tahun yang akan datang. Setidaknya 70% indikator tujuan pendidikan minimalnya sudah terlihat pada diri alumni SMA atau yang sederajat. Di negara yang pendidikannya maju, siswa yang dinyatakan lulus dalam proses pendidikan selevel SMA, bisa dibayangkan kompetensi, skill, dan kepribadian siswa yang telah diluluskan. Bagaimana dengan alumni SMA kita?
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjelaskan pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Kenyataannya, belum terlihat tanda-tanda mendekati seperti yang tertulis dalam tujuan pendidikan nasional, meski persentase angka kelulusan terus meninggi. Semua pihak sekarang merasa ketidaknyamanan, ketakutan, kengerian melihat perilaku-perilaku alumni SMA, yang seharusnya sudah memiliki kedewasaan dan pribadi yang matang.
Sosok pelajar pemuda yang cerdas, saleh, disiplin, kreatif, bertanggung jawab, pandai bersyukur, beretika, siapa pun akan merasa nyaman dan sejuk ketika berjumpa dengan pemuda model seperti ini. Model pelajar seperti ini seharusnya sudah tampak pada anak alumni SMA, yang sudah mengenyam pendidikan selama 12 tahun. Faktanya kesenjangan harapan dan kenyataan terlalu tinggi hal ini berarti ada proses pendidikan yang salah, yang mengakibatkan merosotnya moralitas, kepribadiaan, dan kualitas SDM secara keseluruhan.
Persoalan pokoknya adalah tidak jelasnya arah, tujuan, dan proses pendidikan apa sesungguhnya yang seharusnya dibangun pada diri anak anak bangsa. Kata-kata cerdas, takwa, dan terampil hanya sebatas slogan-slogan penghias dinding lembaga-lembaga sekolah, yang miskin ruh dan nilai. Sebelum UN ramai-ramai zikir hingga yasinan, saat UN kunci jawaban bergentayangan, nilai moralitas kejujuran hanya sebatas kognisi saja. Apa jadinya negeri ini dibangun oleh proses dan birokrasi pendidikan yang sarat dengan tradisi kebohongan dan kepalsuan yang menjalar hingga ke proses pembelajaran. Sungguh ironis mencampuradukan yang hak dan batil dalam proses pendidikan yang semesatinya menjaga nilai dan idealisme.
Pengembangan seluruh potensi anak hanya dapat diperoleh melalui proses evaluasi yang berkesinambungan. Proses evaluasi tsb. hanya dapat dilaksanakan oleh guru profesional, setidaknya minimal memenuhi empat kompetensi; profesional, pedagogik, sosial, dan kepribadian.
Artinya, UN yang bukan untuk memetakan pendidikan, melainkan digunakan penentuan nasib anak (kelulusan) merupakan pelanggaran berat dan mendasar terhadap UUD dan UU No. 20 Tahun 2003. Kepentingan anak untuk berkembang dipancung sistem UN dengan beberapa gelintir mata pelajaran yang cenderung kepada kognisi semata, bukan pengembangan pribadi secara menyeluruh yang hanya dapat diperoleh melalui proses evaluasi yang berkesinambungan. Sistem UN juga telah menyerobot hak guru untuk menilai dan ikut menentukan kelulusan, sebagaimana dijamin dalam UU Guru dan Dosen No. 14 Tahun 2005 dan PP 74 Tahun 2008 Pasal 37 Ayat (3).
Penyimpangan kedua, kebijakan pendidikan dalam penentuan pagu indikatif anggaran dari PAUD hingga ke SMA dan sederajat berdasar Permendagri No. 13 Tahun 2006, sebagian besar diarahkan kepada pembangunan fisik, ATK, rehab, pemeliharaan, dan USB yang rentan di KKN. Sementara yang berhubungan dengan moral, budi pekerti, pengembangan potensi hampir tidak disentuh.
Pendiri negeri ini sudah menegaskan yang setiap upacara selalu dibaca dan dengarkan, bahwa pendidikan untuk "mencerdaskan kehidupan bangsa".
Proses pendidikan yang tidak dituntun oleh kerangka filosofi dan ideologi bangsa, idiologi pendidikan, akan ngawur dan menghasilkan lulusan memiliki karakter dan kualitas yang tidak jelas seperti yang sekarang ini.
Kajian Education Forum Jakarta patut dijadikan renungan: Membangun pendidikan harus sungguh sungguh dan komitmen, pendidikan adalah pertaruhan masa depan bangsa. Pendidikan adalah solusi fundamental dari keterpurukan bangsa. Banyak negara yang telah membuktikan, karena itu menyusun politik pendidikan harus secermat dokter mendianogsis pasien, tidak serampangan dan menggampangkan. Seenaknya dalam penganggaran dan penentuan visi-misi pendidikan.
Peningkatan profesionalisme guru seharusnya diikuti dengan peningkatan profesionalisme birokrasi pendidikan nasional dari pusat hingga ke daerah. Seperti digambarkan di atas, banyak kebijakan menyimpang karena tidak didasarkan kepada ilmu pendidikan. Agak aneh dan ironis di Dinas Pendidikan justru tingkat penyimpangan dan korupsi cenderung meninggi, satu per satu masuk bui. Hal ini terjadi salah satu sebabnya karena dewasa ini posisi pengambil kebijakan terutama di daerah-daerah ditempati orang-orang yang tidak punya latar belakang pengalaman pendidikan dan tidak tahu hakikat pendidikan itu apa.
Pendidikan cenderung disamakan dengan dinas yang lain yang cenderung orientasi proyekisme, yang mengabaikan idealisme dan keteladanan. Solusi awal meski harus tertatih bisa dimulai dari guru. Sebab, selain jumlah yang besar, pendidikan tinggi, mereka yang memiliki potensi selama ini akrab dengan idealisme. Potensi itu ada asal guru komitmen dan bersatu untuk tidak menoleransi segala bentuk yang menodai citra pendidikan. Jika ada guru yang mbalelo, kita kepruk sama-sama. Bangkitlah guru Indonesia. n
opini lampung pos 03 mei 2010