Agus Martowardoyo (AM) akhirnya terpilih menggantikan Sri Mulyani Indrawati sebagai menteri keuangan (menkeu) RI 2010-2014. Terpilihnya AM seolah memberikan sinyal tentang apa yang dimaui presiden terkait dengan kebijakan fiskal mendatang. AM adalah seorang bankir berpengalaman dan tentunya terbiasa dengan pelaku usaha di sektor riil. Dengan latar belakang ini, AM tentunya sudah terbiasa dengan pola pikir para pelaku usaha. Ibaratnya, bila menkeu sebelumnya mungkin harus berpikir keras bagaimana menerjemahkan bahasa para pelaku usaha, tidaklah demikian bagi AM. Bahasa sektor riil adalah bahasa keseharian yang ia dengar setiap kali bertemu nasabah yang hendak memperoleh kredit dari bank.
Latar belakang AM sebagai bankir ini memiliki sisi positif, khususnya dalam hal mentransformasikan kebijakan fiskal yang pro dunia usaha. Namun, AM juga perlu membuktikan diri terkait dengan latar belakang kompetensinya, yang dinilai kurang berinteraksi langsung dengan hal-hal yang berhubungan dengan fiskal. Perlu diketahui, kultur kebijakan fiskal sejatinya berbeda dengan kultur kebijakan perbankan. Terlebih lagi, bank adalah institusi bisnis yang orientasinya adalah memaksimalkan laba. Sementara itu, menkeu tidaklah seperti CFO pada sebuah perusahaan. Menurut UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara, selain memerankan selayaknya CFO, menkeu sejatinya lebih merupakan sosok menteri Fiskal. Oleh karena itulah, istilah menkeu di negara lain biasanya disebut sebagai Treasury Secretary atau Ministry of Treasury.
Kelebihan lain dari AM adalah dirinya selama ini dikenal sebagai pekerja keras (work harder), atau bahkan seorang yang 'gila' kerja (workaholic). Salah satu tantangan yang dihadapi AM, sekalipun bukan merupakan tantangan sulit, adalah bagaimana mengarahkan anak buahnya di Kementerian Keuangan agar memiliki budaya kerja yang bisa mengimbangi gayanya tersebut. AM juga dikenal sebagai sosok yang tanpa kompromi dan tak bisa diajak 'neko-neko'. Namun, karena menkeu adalah seorang pejabat politik, tentunya AM kini harus dituntut lebih komunikatif dengan stakeholder politik, khususnya DPR.
Di luar tantangan-tantangan yang sifatnya teknis, sesungguhnya menkeu baru memiliki tantangan ekonomi yang tidak ringan. Pada tahun ini, antara lain kita dihadapkan pada tantangan eksternal yang berpotensi mengganggu stabilitas perekonomian, seperti yang terjadi pada 2008. Tantangan eksternal tersebut adalah adanya ketidakseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan angka pengangguran.
Perlu diketahui, perekonomian dunia saat ini sejatinya telah mengalami pemulihan sejak krisis keuangan 2008. Hal ini setidaknya terlihat dari tajamnya pertumbuhan ekonomi negara-negara yang tadinya mengalami krisis, seperti Amerika Serikat (AS), Eropa, dan negara Asia lainnya. Sayangnya, gejala pertumbuhan tinggi tersebut belum diikuti dengan kemampuan penyerapan tenaga kerja. Kondisi ini menunjukkan bahwa pemulihan ekonomi global yang terjadi saat ini sejatinya belum sustainable. Pemulihan ekonomi dunia saat ini masih merupakan akibat dari kebijakan stimulus fiskal yang digelontorkan oleh pemerintahnya.
Di tengah pemulihan ekonomi yang belum stabil tersebut, kini kita dihadapkan pada krisis baru yang menyerang Eropa, khususnya di PIGS (Portugal, Italia, Yunani, dan Spanyol). Penyebab krisis ini berawal dari tingginya beban defisit anggaran dan beban utang di negara-negara tersebut, yang sejatinya juga berasal dari stimulus fiskal yang digelontorkan negara-negara tersebut sejak 2009.
Beberapa ekonom menyatakan bahwa dampak krisis ekonomi Eropa tidak cukup untuk menggoyang perekonomian kita. Ini mengingat, relasi ekonomi kita terhadap Eropa masih kecil, terutama dari sisi perdagangan internasional. Krisis Eropa diperkirakan hanya akan menggoyang pasar keuangan kita. Itu pun diperkirakan hanya berlangsung sementara. Pendapat ini betul adanya. Namun, penulis mengingatkan agar kita tidak menganggap remeh krisis yang berasal dari jalur pasar keuangan ini. Supaya kita yakin akan pentingnya jalur pasar keuangan ini, ingatlah krisis yang terjadi pada akhir 2008 yang kemudian berbuntut munculnya kebijakan bail out Bank Century senilai Rp 6,7 triliun.
Penulis ingat betul berbagai pernyataan dari otoritas fiskal dan moneter yang waktu itu kerap menyatakan bahwa situasi ekonomi kita relatif baik sehingga tak perlu khawatir, sekalipun ada krisis di AS dan Eropa. Alasannya: (i) kontribusi perdagangan internasional kita relatif kecil, ekspor sekitar 30% dari PDB; (ii) krisis AS dan Eropa hanya akan berimbas pada pasar keuangan kita; dan (iii) kontributor terbesar ekonomi kita dari sisi konsumsi domestik. Tapi, kita tetap saja ketakutan dengan situasi eksternal saat itu karena faktanya, krisis AS dan Eropa telah menimbulkan volatilitas di pasar keuangan kita. Dan, kita saksikan bahwa buntut dari ketakutan itu, kita pun 'terpaksa' mem-bail out Bank Century.
Situasi ini tentunya sudah menjadi tantangan oleh menkeu baru dan harus dijawab melalui implementasi APBN 2010 dan desain APBN 2011. Terkait dengan APBN, satu tantangan penting yang harus dijawab menkeu baru adalah bagaimana mengubah pola realisasi APBN yang selama ini bottleneck. Faktanya, hingga kini banyak dari program stimulus fiskal yang dirancang tidak berjalan dengan baik karena seretnya realisasi APBN. Implikasinya, pertumbuhan ekonomi tidak terjadi secara merata. Padahal, kita menghadapi problem ekonomi yang sama di sepanjang tahun. Selain itu, karena belanja menumpuk di akhir tahun, efektivitas belanja negara juga menjadi berkurang. Bukan rahasia lagi, demi menjaga agar tahun depan masih mendapatkan anggaran yang minimal sama, setiap instansi 'berlomba' membelanjakan anggaran yang semestinya tak perlu.
Karena AM seorang bankir, tentunya pernah merasakan betapa kebijakan pembiayaan APBN melalui penerbitan surat utang negara (SUN) kadangkala sering tidak sejalan dengan kebijakan pengelolaan likuiditas bank. SUN biasanya dijual pada harga (bunga) yang lebih tinggi dibanding bunga deposito. Jika SUN dikeluarkan di saat bank tengah mengejar likuiditas, bank akan mengalami kekurangan likuiditas yang pada akhirnya mengerek biaya dana. Kondisi inilah yang sejatinya terjadi pada pertengahan 2008 hingga akhir 2008 dan kemudian berbuntut pada 'krisis' perbankan.
Pesan yang ingin penulis sampaikan di sini adalah bahwa pembiayaan APBN melalui penerbitan SUN hendaknya dikelola secara baik dan timing yang tepat. Penerbitan SUN yang kurang terkendali dapat menyebabkan crowding out effect yang berbuntut pada ketatnya persaingan likuiditas. Toh faktanya, ketika dana hasil penerbitan SUN diperoleh, juga tak sepenuhnya diserap secara maksimal karena rendahnya daya penyerapan realisasi APBN.
Memang, berbagai kekurangan terkait penyerapan APBN bukanlah semata tanggung jawab menkeu. Banyak hal yang ikut andil dalam melanggengkan pola yang keliru ini, seperti DPR dan kesiapan kementerian pengguna APBN. Hanya, menkeu sebagai institusi strategis, sejatinya bisa menjadi motor untuk mendobrak kebuntuan itu. Tampaknya, menkeu baru akan menghadapi tantangan yang cukup berat. Tentunya, kita berharap bahwa menkeu baru dapat memenuhi ekspektasi yang diharapkan masyarakat.
Opini Republika 25 Mei 2010