Dengan mengetahui kandidat yang bersih sejak awal, lebih mudah bagi rakyat untuk memproyeksikan bentuk pemerintahan yang akan dicapai melalui pilkada langsung
PEMILIHAN kepala daerah (pilkada), yang sudah dan tengah berlangsung di sejumlah daerah kabupaten/kota memerlukan sorotan tersendiri. Kita semua berharap pilkada mampu menghasilkan dampak-dampak positif bagi daerahnya berupa meningkatnya kepercayaan publik yang berujung pada meningkatnya investasi, pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan rakyat. Untuk itu, kepercayaan publik hanya mungkin diraih kalau kepala daerahnya terpilih dari suatu proses yang baik.
Dalam konteks itu, sejak 30 April 2010, ketika UU Keterbukaan Informasi Publik dinyatakan berlaku efektif, transparansi menjadi sangat penting sebagai modal sosial dan perspektif baru dalam melaksanakan pilkada langsung.
Bagi KPU, setiap tahapan pilkada harus didorong ke arah transparan, mulai hal-hal yang menyangkut internal badan publik, maupun dalam memproses hal terkait dengan pemilih, kandidat, dan penghitungan suara.
Penyusunan dan/atau penetapan daftar pemilih (DPT) terkait dengan akurasi dan akuntabilitasnya; kandidat terkait dengan persyaratan pendaftaran yang memang harus dibuka untuk menghindari terjadinya manipulasi dan praktik maladministrasi. Terakhir penghitungan suara yang berkaitan dengan proses penghitungan suara harus didorong ke arah trully open.
Di level panwas, cara-cara pengawasan yang transparan yakni yang objektif dengan tolok ukur yang jelas, serta target-target dan pelaporan progress report kinerja pengawasan yang disampaikan secara periodik di setiap tahapan pilkada perlu dilakukan menjadi modal bagaimana proses pilkada didorong ke arah yang transparan. Begitupun di level parpol, bagaimana rekrutmen internal kandidat, pola-pola fund rising, dan kinerja anggaran di parpol.
Di bagian ini, keterbukaan informasi mengenai kandidatnya menjadi sangat penting dengan tiga alasan. Pertama, cita-cita pembentukan pemerintahan yang bersih itu hanya dapat dilakukan kalau sejak dari awal pemilihan para pejabatnya juga transparan.
Kedua, dengan mengetahui kandidat yang bersih sejak awal, lebih mudah bagi rakyatnya untuk memproyeksikan bentuk pemerintahan yang akan dicapai melalui pilkada langsung. Ketiga, pengetahuan yang cukup mengenai kandidat seharusnya mendorong pemilih untuk ikut bertanggung atas pilihannya. Tetapi, inilah faktanya. Akibat ketidakterbukaan informasi yang terkait dengan kandidat, sejumlah calon kepala daerah yang diindikasikan tidak bersih dan bermasalah tetap terpilih.
Ironi Demokrasi Banyak yang bilang, itulah ironi demokrasi di negeri ini. Yang banyak uang, meski banyak masalah, sanggup menyingkirkan kandidat yang benar. Yang lebih ironis, dari pilkada ke pilkada berikutnya, kejadiannya selalu berulang. Dalam Pilkada 2005, masih banyak ditemukan kepala daerah terpilih justru yang bermasalah.
Gejala terbarunya kini banyak ditemukan ‘’masalah yang tidak disebut masalah’’. Itulah dia kandidat dinasti, yakni kandidat dari satu keluarga. Fenomena ini sesungguhnya sama kurang baiknya dengan kandidat bermasalah karena berpotensi melakukan distorsi demokrasi sekalipun secara hukum tak dapat dijangkau. Bahkan celakanya, juga melebar hingga ke anggota legislatif.
Sebagaimana dicatat Adkhilni M Sidqi (Radar Banten, 20/5/2009), politik dinasti antara lain mulai menggeliat di Banten. Beberapa nama sebagai anggota legislatif, baik tingkat daerah maupun pusat, memiliki hubungan kekerabatan dengan pejabat Banten. Dan keluarga gubernur adalah yang paling banyak terpilih sebagai legislator.
Misalnya Hikmat Tomet (suami, DPR); Andika Hazrumy (putra, DPD); Ade Rossi Khaerunisa (menantu, DPRD Kota Serang); Ratna Komalasari (ibu tiri, DPRD Kota Serang); Heryani (ibu tiri, DPRD Pandeglang); Ratu Tatu Chasanah (adik, DPRD Provinsi Banten); serta Aden Abdul Cholik (adik ipar, DPRD Provinsi Banten).
Selain dari keluarga gubernur, anggota terpilih memiliki hubungan kekerabatan dengan para kepala daerah di Banten. Di antaranya, Tb Iman Aryadi (putra wali kota Cilegon, DPR); Ahmed Zeki (putra bupati Tangerang, DPR); Iti Octavia Jayabaya (putri bupati Lebak, DPR); Diana Jayabaya (anak bupati Lebak, DPRD Prov Banten); Mulyanah (adik bupati Lebak, DPRD Lebak); Agus R. Wisas (adik ipar bupati Lebak, DPRD Banten); dan Irna Narulita (istri bupati Pandeglang, DPR). Tentu saja kita patut bertanya, mengapa kandidat dinasti bisa menang? Apakah karena teknik kampanye dan strategi pemasaran politiknya yang canggih?
Karena kepiawaiannya bermain politik? Seandainya masyarakat selaku pemilih memiliki informasi yang cukup tentang kandidat itu, tentulah mereka tidak akan memilih sekenanya. Itulah salah satu pentingnya keterbukaan informasi publik. (10)
— Amirudin, anggota Komisi Informasi Pusat, dosen Undip
Wacana Suara Merdeka 25 Mei 2010