Ketika Anas Urbaningrum terpilih menjadi Ketua Umum Partai Demokrat, istri saya bertanya, ”Geja- la apa ini?” Dengan ringan penulis menjawab, ”Kita memasuki zaman baru, yaitu era ngomong bener tumindak temen (bicara benar, bertindak jujur dan bersungguh-sungguh).”
Mulai saat ini, siapa pun yang plintat-plintut secara politik akan digilas zaman baru tersebut. Kepingan-kepingan peristiwa yang menandai datangnya trace baru itu sudah terlihat sejak kasus Prita, perlawanan publik terhadap kriminalisasi KPK (kasus Cicak-Buaya), keberanian Susno Duadji untuk menjadi whistle blower praktik mafia hukum, sikap tegas dan perlawanan Sri Mulyani terhadap cengkeraman kartel politik, dan terpilihnya Anas Urbaningrum saat ini.Semua itu bukan gejala tanpa energi. Tiap peristiwa memunyai kekuatan ledakan setara dengan delapan bom neutron. Oleh sebab itu, ia tidak bisa dibendung oleh siapa pun. Kemenangan Anas, misalnya, tidak bisa dibendung oleh politik pencitraan yang dibangun oleh Fox Indonesia. Bahkan, restu SBY terhadap Andi Mallarangeng dan Marzuki Alie pun tidak kuasa menahan ledakan energi tersebut.
Kemenangan Anas Urbaningrum, dengan demikian, bisa dilihat sebagai cermin bening kebangkitan individu-individu otonom di tubuh Partai Demokrat (PD). Mereka ini mencoba melakukan perlawanan agar PD tidak menjadi partai kerdil nantinya. Dalam konteks ini, restu Ibu Sepuh (Ibu Sarwo Eddie) kepada Anas lebih merupakan doa suci yang mengalir tak putus-putus sehingga mampu membendung niat-niat kurang baik.
Kelemahan Andi dimulai ketika ia menjanjikan akan membantu pemenangan para calon kepala daerah dari PD. Ini memicu gosip di warung-warung kopi bahwa pasti ada kekuatan ekonomi besar yang berada di belakangnya. Melihat kampanye Andi yang mewah, spekulasi pun semakin berkembang. Kecurigaan diarahkan kepada Aburizal Bakrie. Diduga ada komitmen di antara mereka untuk bersatu pada Pemilu 2014 di mana Aburizal menjadi calon presiden dan Andi menjadi calon wakil presiden. Posisi Aburizal sebagai Ketua Harian Sekgab Partai Koalisi memperkuat spekulasi tersebut.
Apakah spekulasi dan kecurigaan tersebut benar atau tidak sudah tidak penting lagi kini. Para politisi PD sudah menentukan sikapnya. Proses politik yang relatif bersih, tanpa konflik, sudah mereka tunjukkan dan itu bermakna bahwa mereka tidak mau menjadi kerdil.
Oleh sebab itu, para pemimpin partai politik harus mengawasi dan mempunyai kewaspadaan tinggi pada geliat PD. Apabila mereka lengah sedikit saja dalam melakukan konsolidasi internal ataupun penetrasi ke konstituen, akan digulung oleh PD pada Pemilu 2014.
Jika gelombang politik bergerak linier, secara prediktif, prospek PD pada pemilu mendatang sangat bagus, bahkan akan memimpin kembali perolehan suara dalam pemilu nanti. Hal itu berkaitan dengan lima modal dasar yang saat ini dimiliki partai itu.
Alasan pertama adalah ketua umumnya berusia muda. Ini menimbulkan optimisme baru di tengah kegelisahan dan kebosanan publik kepada tokoh-tokoh senior yang masih memimpin partai politik hingga saat ini meskipun dalam kasus tertentu kehadiran politikus senior tersebut sering kali tak terelakkan demi soliditas partai.
Meski demikian, sesuai dengan karakter bangsa Indonesia yang melodramatik, potensi untuk mudah bosan sangat tinggi. Di sini, wajah baru dan muda (apalagi kalau tampan, santun, dan pandai), ia akan menjadi mimpi baru. Budaya politik yang melihat kekuasaan sebagai sesuatu yang konkret termanifestasi dalam figur tokoh baru tersebut. Sumber kekuasaan bukan lagi pulung (wahyu) dan keris, tetapi ketampanan, kesantunan, dan kecerdasan.
Alasan kedua adalah infrastruktur partai. Sampai saat ini, secara obyektif infrastruktur PD memang belum sekuat PDI-P dan Partai Golkar. Akan tetapi, sebagai partai penguasa, ia akan mudah menancapkan bendera partainya dalam waktu sesingkat-singkatnya. Membangun infrastruktur partai bukan persoalan yang patut dirisaukan.
Berkaitan dengan alasan tersebut, alasan ketiga menunjuk pada dana partai. Sebagai partai berkuasa, tentunya banyak pintu bagi PD untuk bisa melakukan akumulasi kapital demi kecepatan gerak dan putaran roda partai. Dengan dana ini, mereka bisa melakukan penetrasi ke mana saja termasuk ke masyarakat lapis terbawah dan yang tinggal di pinggir hutan. Realitas demikian mempermudah PD dalam melakukan perekrutan politik. Banyak tokoh muda bisa mereka gandeng untuk masuk ke dalamnya. Itulah alasan keempat.
Alasan terakhir, saya harus jujur mengatakan bahwa kondisi partai-partai lain memang kurang menggembirakan. Jika mereka tidak dilanda stagnasi kaderisasi, maka ada pembelahan di tubuh partai atau keterbatasan dana untuk menggerakkan mesin partai. Secara hipotesis, PDI-P, Golkar, PKS, PPP, PKB, PAN, Hanura, dan Gerindra menderita simtom tersebut. Jika kondisi ini berlangsung sampai menjelang 2014, tampaknya memang pantas PD makin PD (percaya diri).
Namun, terlepas dari itu semua, tampaknya kita memang sedang memasuki zaman baru, yaitu era ngomong bener tumindak temen. Orang yang bicara benar dan bertindak jujur akan menang. Tuhan tidak tidur.
Opini Kompas 25 Mei 2010