24 Mei 2010

» Home » Suara Merdeka » Anas dan Energi Elektoral

Anas dan Energi Elektoral

TERPILIHNYA Anas Urbaningrum dalam Kongres II Partai Demokrat (PD) di Bandung  menandai babak baru regenerasi politik. Dari sisi usia, dia paling muda dibandingkan ketua umum parpol lainnya. Terpilihnya dia menunjukkan keberhasilan Demokrat menawarkan figur muda alternatif di tengah mampatnya sistem reproduksi kepemimpinan nasional yang didominasi tokoh-tokoh tua.

Makna politis terpilihnya Anas selalu dikaitkan dengan postur PD yang telah menjelma sebagai partai terbesar yang berhasil menang, baik di pemilu legislatif maupun pilpres tahun 2009. Hal ini berbeda dari Hadi Utomo yang terpilih sebagai ketua umum dalam kongres I di Bali lima tahun lalu saat Demokrat masih partai menengah. Terlebih SBY tidak bisa mencapreskan lagi pada 2014 karena hambatan konstitusi.

Sebagai orang nomor satu, Anas boleh berharap banyak menjadi ’’putra mahkota’’ SBY dan sekaligus kecipratan popularitasnya yang menjulang. Meski belum tentu didapuk sebagai capres, setidaknya tercipta ruang lebar bagi dia untuk tampil sebagai ikon dan magnet elektoral baru yang bisa ditawarkan ke pasar pemilih pada 2014.


Kalau SBY jeli, Anas bisa diorbitkan sebagai energi elektoral baru dengan memodifikasi hukum kekekalan energi. Dalam ilmu alam, kekekalan energi tidaklah hilang tapi hanya berubah menjadi energi dalam bentuk lain. Ketika SBY menularkan kekuatan elektoralnya kepada Anas, energi SBY tidaklah hilang tapi justru akan bertransformasi ke dalam energi-energi baru melalui kekuatan institusional Partai Demokrat dan lahirnya magnet-magnet elektoral baru.

Tapi tampaknya Anas harus bekerja keras untuk pantas dilirik SBY sebagai superstar baru. Alasannya, Anas bukanlah darah biru Cikeas. Anas juga maju ke dalam bursa pencalonan ketua umum dengan hanya bermodalkan restu paling minimal dari SBY.

Lebih daripada itu, kewenangan nominasi capres dari PD  tergantung keputusan majelis tinggi. Majelis ini adalah superbody yang beranggotakan 9 orang yang merupakan representasi DPP, dewan pembina, dan dewan kehormatan yang langsung diketuai SBY. Alih-alih bermimpi menjadi nominasi capres, peran dan otoritas Anas sebagai ketua umum potensial direduksi karena majelis tinggi berwenang memutuskan kebijakan strategis, bahkan bisa membatalkan keputusan DPP.
Ajang Pembuktian Karena itu, lebih baik Anas membuktikan kapasitasnya dengan menjadikan Demokrat sebagai partai modern sebelum bermimpi dipinang SBY sebagai penerusnya pada 2014. Jadi, Anas harus melakukan agenda-agenda berikut: penguatan manajemen dan institusi partai, penguatan kinerja dan performa anggota DPR/DPRD, konsolidasi politik di tingkat pusat dan daerah, regenerasi politik, pemberdayaan think tank professional, serta kesuksesan elektoral di pilkada ataupun Pemilu 2014.

Dibanding agenda-agenda lain, ukuran paling nyata dari berhasil tidaknya kepemimpinan Anas adalah perolehan Demokrat pada 2014. Jika mampu mencapai target 30 persen, atau setidaknya sama dengan prestasi elektoralnya pada 2009, dia dianggap berhasil sebagai ketua umum.

Agar sukses elektoral bisa dicapai tentu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Dia harus segera meluncurkan program aksi yang terencana dan sistematik untuk melembagakan karisma personal dan magnet elektoral SBY menjadi kekuatan partai. Jika Demokrat hanya bertumpu pada SBY maka mudah terhempas oleh gelembung politik (bubble politics).

Di sini peran SBY sangat krusial. Pendekatan sentrifugal seharusnya diinisiasi SBY dengan cara memendarkan kekuatan elektoral yang awalnya berpusat di tubuhnya menjadi kekuatan institusi partai yang dia dirikan.

Karena itu sistem kaderisasi harus dilakukan secara masif. Tolok ukurnya adalah kombinasi antara kebutuhan untuk menciptakan kader-kader partai yang tidak hanya secara kuantitas memadai, tapi juga berkualitas.

Saat yang sama, pengembangan infrastruktur dan mesin partai juga harus diprioritaskan sehingga Demokrat tidak hanya bergantung pada konsultan pemenangan sebagai task-force electoral seperti terjadi selama ini. Sistem kaderisasi organisasi sayap juga harus diperbanyak dan bukan sekadar menyasar segmen pemilih pemuda seperti yang ada saat ini. Jika berhasil, Demokrat mampu menjelma sebagai kekuatan partai yang tidak hanya bertumpu pada personal appeal, tapi juga institutional appeal. (10)

— Burhanuddin Muhtadi MAPS MA, peneliti senior di Lembaga Survei Indonesia (LSI), pengajar Program Pascasarjana Universitas Paramadina

Wacana Suara Merdeka 25 Mei 2010