18 April 2010

» Home » Lampung Post » Penguatan ”Civic Education”

Penguatan ”Civic Education”

Oleh Muh. Khamdan

HASIL musyawarah antara PT Pelindo II dan ahli waris Habib Hasan bin Muhammad Al-Hadad atau Mbah Priok di Balai Kota DKI Jakarta pekan lalu, berkaitan dengan keberadaan makam sekaligus bangunan pendukung di kawasan terminal peti kemas Pelabuhan Tanjung Priok, begitu menyejukkan. Meski ada beberapa pengalihan posisi bangunan agar terminal tetap memenuhi standar internasional, semua pihak dapat menerima dengan bijaksana.


Hal itu tecermin dari penerimaan ahli waris dan masyarakat dengan pengalihan akses jalan menuju makam, khususnya pada sisi jalan masuk terminal. Demikian pula Direktur PT Pelindo II, R.J. Lino yang berkomitmen akan memberikan kompensasi untuk ikut memberdayakan masyarakat di kawasan sekitar terminal peti kemas, Koja, Jakarta Utara.

Atas kenyataan itu, penguatan civic education (pendidikan kewarganegaraan) menjadi penting agar konflik-konflik dapat diminimalisasi bahkan ditiadakan karena nilai-nilai kekeluargaan akan dikedepankan. Tingkat ketegangan hubungan masyarakat yang memiliki kepentingan berbeda dapat diselesaikan oleh masyarakat itu sendiri, seperti keberhasilan proses musyawarah sebagai media komunikasi efektif penuh nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.

Kekeluargaan adalah tema inti dari demokrasi pancasila yang merupakan pemeliharaan tradisi demokrasi khas bangsa Indonesia. Pemeliharaan tradisi demikian tidak bisa diwariskan begitu saja, tetapi harus disosialisasikan, diajarkan, dan diaktualisasikan kepada masyarakat. Untuk itulah, pendidikan kewarganegaraan mendesak ketika kekerasan telah mewarnai berbagai lini kehidupan masyarakat. Kecenderungan kekerasan sebagai langkah menyelesaikan masalah pada masyarakat setidaknya disebabkan dua alasan.

Pertama, merebaknya gejala dan kecenderungan ketidaktahuan masyarakat terhadap cara kerja demokrasi dan proses hukum. Hal ini bukan hanya akan membuat masyarakat menjadi pihak tertindas oleh kekuasaan dominan, tetapi juga akan menjadi aktor yang menghalalkan segala cara karena memahami bahwa segala sesuatu harus diperoleh dengan kekuasaan. Tentu konsekuensi sosial yang harus dihadapi adalah konflik yang tiada berujung.

Dalam hal ini bisa saja kisah ”Dialog Melian” dalam buku History of the Peloponnesian War yang ditulis oleh Thucydides pada 423 SM menjadi pelajaran. Untuk meluaskan wilayah kekuasaan imperium Athena, penduduk Melian dipaksa militer Athena untuk memilih dua pilihan, yaitu menyerahkan wilayah Melian atau siap dihanguskan. Dengan begitu, selanjutnya manusia yang memakan manusia (homo homini lupus) akan berkembang dan kokohlah hukum rimba di masyarakat.

Kedua, meningkatnya apatisme hukum (law aphatism) yang terlihat dengan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum. Berbagai prahara permainan uang atau kekuasaan terhadap penegakan hukum telah menjadi tontonan sehari-hari. Kasus ”cicak vs buaya” yang merepresentasikan permainan kekuasaan antara KPK dengan kepolisian, disusul  dengan gemuruh kasus Bank Century yang akhirnya memasung kinerja Menteri Keuangan Sri Mulyani. Belum tuntas, masyarakat  dikejutkan dengan adanya pembongkaran korps korupsi di semua instansi penegak hukum melalui pengakuan mantan Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri Komisaris Jenderal Susno Duadji.

Harus disadari bahwa hukum tidak dapat berlaku efektif manakala aparat hukum yang terdiri atas kepolisian, kejaksaan, lembaga-lembaga lain semacam Satpol PP, bersama rakyat belum terjalin pemahaman yang sama mengenai isi hukum, mengapa hukum harus begini dan begitu. Ini pula yang mengharuskan adanya komunikasi hukum agar bahasa hukum lebih populer dipahami masyarakat umum, bukan sekadar konsumsi mahasiswa hukum atau pelaku hukum. Gegar budaya (cultural shock) masyarakat yang berhadapan dengan hukum modern justru mengakibatkan semacam hilangnya kepercayaan karena banyaknya kekuatan di luar hukum yang memengaruhi hukum.

Dalam kepentingan inilah, mempersepsi hukum sebagai bentuk kehidupan sosial yang khas menjadi suatu keniscayaan seiring dengan penguatan civic education. Dalam proses pendidikan ini, sekurangnya akan mencakup empat aspek dalam membangun masyarakat yang tertib dan aman. Hal tersebut adalah pemahaman dasar tentang cara kerja demokrasi dan hukum, pemahaman tentang konsepsi hukum dan HAM, penguatan keterampilan partisipatif dalam menyelesaikan konflik sosial, dan mengembangkan kesadaran budaya demokrasi serta perdamaian.

Program civic education juga pada akhirnya akan mendukung keberadaan kampung hukum yang mengedepankan kesadaran masing-masing warga masyarakat untuk taat hukum, yaitu menjunjung hak pribadi dan orang lain dengan melaksanakan kewajiban sebagai bagian dari masyarakat bernegara. Pelaksanaan-pelaksanaan hak tidak boleh merugikan orang lain serta konflik yang ada dapat diselesaikan dengan nilai-nilai hidup kesopanan.

Sesungguhnya, kampung hukum menghendaki suatu bangunan masyarakat yang taat terhadap hukum karena timbul pada kesadarannya sendiri (self motivating law awareness). Kesadaran hukum memang harus dimulai dari diri sendiri dan akan menjelma menjadi gerakan keluarga sadar hukum hingga terwujudnya ketertiban, keamanan, dan ketenteraman di suatu kampung secara meluas. Dalam hal ini, civic education memainkan peran untuk dapat mengintegrasikan antara budaya kesopanan bangsa dan peta hukum nasional.***

Penulis, fungsional Widyaiswara BPSDM Kementerian Hukum dan HAM RI.
Opini Pikiran Rakyat 19 April 2010