18 April 2010

» Home » Okezone » Peniup Peluit versus Pencemaran Nama Baik

Peniup Peluit versus Pencemaran Nama Baik

Bola panas yang digelindingkan Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji, sang “peniup peluit” yang membongkar mafia pajak yang juga melibatkan sejumlah petinggi Polri, terus bergulir dan menimbulkan kontroversi.

Sebagian orang berpendapat bahwa Susno Duadji adalah pahlawan yang mencoba membersihkan institusi Polri yang dicintainya dari mafia hukum. Namun ada juga yang berpendapat bahwa apa yang dilakukan Susno Duadji tidak lebih dari balas dendam atas sakit hati pribadinya yang terpental dalam lakon cicak versus buaya. Bahkan salah seorang jenderal polisi yang dituding Susno Duadji terlibat dalam kasus Gayus Tambunan menyatakan tudingan Susno ibarat “maling teriak maling”.

Mereka pun serta-merta mengadukan Susno Duadji dengan pasal pencemaran nama baik. Bagaimana hukum pidana melihat fenomena membongkar mafia hukum? Tulisan ini mencoba mengulasnya. Kata “mafia” itu sendiri menggambarkan organisasi kejahatan tertua dan terbesar di Italia yang berasal dari Palermo, Sicilia, sehingga sering disebut Sicilian Mafia atau Cosa Nostra.

Kejahatan terorganisasi yang dilakukan para mafioso (sebutan terhadap anggota mafia) bergerak di bidang perdagangan heroin dan berkembang di berbagai belahan dunia sehingga kita mengenal organisasi sejenis di berbagai negara seperti Mafiya di Rusia, Cartel di Colombia, Triad di China, dan Yakuza di Jepang.

Begitu kuatnya jaringan organisasi kejahatan tersebut sehingga orang-orang mereka bisa menguasai berbagai sektor kekuasaan, apakah itu eksekutif, legislatif maupun yudikatif, termasuk aparat penegak hukum. Tidak jarang suatu sindikat bisa terbongkar karena salah seorang dari mereka ada yang berkhianat. Artinya, salah seorang dari mereka berfungsi sebagai “peniup peluit” atau whistle blower untuk mengungkap kejahatan yang mereka lakukan.

Ketika kasus ini mulai bergulir, 18 Maret 2010, kebetulan Fakultas Hukum UGM sedang kedatangan tamu, guru besar hukum pidana Maastricht University, Prof Mr Peter Bal, PhD, selama satu minggu. Bahkan, Susno Duadji sendiri sempat bertemu dengan Prof Peter Bal ketika berkunjung ke Fakultas Hukum UGM 15 Maret 2010 dalam acara diskusi buku Bukan Testimoni Susno dan buku Mereka Menuduh Saya.

Mendengar dan membaca pemberitaan yang begitu gencar tentang mafia pajak yang dibongkar oleh Susno Duadji, Prof Bal sempat berkomentar kepada saya bahwa Susno Duadji dapat dianggap sebagai whistle blower. Menurut Prof Bal, dalam konteks hukum pidana Belanda, ada beberapa hal terkait whistle blower. Pertama, harus sesegera mungkin si whistle blower diberi perlindungan.

Hal ini dimaksudkan agar dia tidak dibunuh oleh komplotannya. Kedua, informasi dari whistle blower dapat dijadikan bukti permulaan yang cukup untuk mengungkap sindikat kejahatan tersebut. Ketiga, jika si whistle blower memberikan informasi sehingga bisa membongkar sindikat kejahatan sampai ke akar-akarnya, hal ini dipakai sebagai hal yang meringankan hukumannya. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu, si whistle blower dapat dibebaskan dari penjatuhan pidana.

In casu Susno Duadji, yang terjadi justru sebaliknya. Alih-alih si peniup peluit dilindungi, dia malah dikenai pasal tindakan indisipliner karena mangkir kerja selama dua bulan lebih. Selain itu, laporan perihal pencemaran nama baik lebih diutamakan untuk ditindaklanjuti daripada isu mafia hukum di lingkungan kepolisian.***

Terhadap laporan pencemaran nama baik yang ditujukan kepada Susno Duadji, ada beberapa catatan penulis. Pertama, delik tersebut sangat bersifat subjektif. Artinya, penilaian terhadap pencemaran nama baik sangat tergantung pada orang atau pihak yang diserang nama baiknya. Oleh karena itu pencemaran nama baik merupakan delik aduan yang hanya bisa diproses oleh polisi jika ada pengaduan dari orang atau pihak yang merasa nama baiknya dicemarkan.

Kedua, pencemaran nama baik merupakan delik penyebaran yang berarti bahwa substansi yang berisi pencemaran harus disebarluaskan kepada umum atau dilakukan di depan umum oleh si pelaku. Ketiga, orang yang melakukan pencemaran nama baik dengan menuduh sesuatu hal yang dianggap menyerang nama baik seseorang atau pihak lain harus diberi kesempatan untuk membuktikan tuduhan tersebut.

Keempat, berdasarkan ketentuan Pasal 310 ayat (3) KUHP, disebutkan bahwa bukan merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis jika perbuatan tersebut dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri. Kembali dalam kasus Susno Duadji, terlalu prematur jika Susno disangkakan melakukan pencemaran nama baik. Bukankah yang dilakukan Susno Duadji adalah upaya untuk membongkar mafia hukum yang terjadi di institusi kepolisian, kejaksaan maupun di Direktorat Pajak Departemen Keuangan?

Artinya, apa yang dilakukan Susno Duadji dapat dikatakan demi kepentingan umum untuk membasmi praktik mafia hukum yang telah terjadi berpuluh-puluh tahun di berbagai institusi tersebut. Dengan demikian tidak dapat dikatakan Susno Duadji melakukan pencemaran nama baik. Kalaupun masalah pencemaran nama baik ini akan ditindaklanjuti, seyogianya yang diproses terlebih dulu adalah laporan Susno Duadji terkait adanya mafia hukum dalam kasus Gayus Tambunan.

Jika tuduhan Susno Duadji tidak terbukti berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, barulah dia diproses karena telah melakukan pencemaran nama baik. Selain itu, jika setiap pelapor dugaan adanya korupsi selalu dilawankan dengan pasal pencemaran nama baik, semangat pemberantasan korupsi oleh Polri patut dipertanyakan.

Berdasarkan United Nation Convention Againts Corruptionatau UNCAC yang telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006, salah satu upaya pemberantasan korupsi adalah partisipasi masyarakat dalam bentuk pengaduan adanya dugaan telah terjadi suatu tindak pidana korupsi.

Kalau laporan dugaan adanya korupsi oleh seorang jenderal bintang tiga saja dapat di–vis a vis–kan dengan pasal pencemaran nama baik, bagaimana dengan anggota masyarakat biasa? Sudah barang tentu masyarakat akan berpikir dua kali untuk melaporkan dugaan adanya suatu tindak pidana korupsi. Dengan demikian UNCAC yang telah diratifikasi tidak akan berlaku efektif di tengah kinerja aparat penegak hukum yang korup.(*)

Eddy OS Hiariej
Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM

Opini Okezone 1 April 201